1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hadapi Polarisasi, NU Kadang Bermain di Dua Kaki

25 Mei 2019

Bagaimana tantangan yang dihadapi Presiden Joko Widodo dalam masa jabatan kedua dan bagaimana pula peran organisasi Islam?

https://p.dw.com/p/3J1aq
BdTD  Indonesien Jakarta Protest
Foto: Reuters/W. Kurniawan

Pemilu 2019 dianggap sebagai pemilu yang mempolarisasi masyarakat. Menurut cendikian muslim Paramadina, Luthfi Assyaukanie, ada beberapa faktor yang menjadi faktor polarisasi tersebut yakni kepentingan ekonomi politik dan agama. Kepada Deutsche Welle ia menyampaikan beratnya tantangan yang akan dihadapi Presiden Joko Widodo dalam lima tahun ke depan.

DW:   Pemerintahan baru di depan mata. Tantangan apa yang akan dihadapi pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode kedua ini?

Luthfi Assyaukanie: Tantangan pertama yang akan dihadapi oleh Jokowi adalah menyatukan masyarakat kita, pemilih kita yang terpolarisasi akibat pemilu, baik sebelum dan menjelang pemilu. Kita tahu bahwa masyarakat kita terbelah antara pendukung Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Saya kira tantangan terbesar adalah itu, bagaimana ia memberikan gestur yang positif untuk merangkul lawan-lawan yang selama ini di kubu Prabowo. Saya melihat Jokowi sudah berusaha melakukan itu, jadi dia dalam siaran pers, media sosial yang saya ikuti, Jokowi berusaha merangkul orang-orang yang selama ini tidak memilihnya. Saya kira itu tantangan pertama yang harus ia hadapi.

Pengajar di Universitas Luthfi Assyaukanie
Pengajar di Universitas Paramadina Luthfi AssyaukanieFoto: DW/A. Purwaningsih

Tantangan berikutnya adalah, bagaimanapun dengan approval rating Jokowi yang lumayan tinggi, kalau kita lihat dari survei kepuasan publik terhadap kerja Jokowi cukup tinggi, 60-70% puas, tetapi 60-70% ini tidak berkorelasi dengan pilihan massa terhadap dia. Meskipun angkanya cukup tinggi, 55%. Kalau di Amerika ini sudah disebut dengan kemenangan telak, lebih dari 10%, atau 10%. Namun, angka ini lebih kecil dari approval rating yang Jokowi dapatkan.

DW: Pertanyaannya adalah, ke mana itu orang-orang yang puas?

LA: Ada beberapa penjelasannya, salah satunya adalah bahwa berita-berita palsu itu bermain intens di sosial media, di masyarakat, di rumah-rumah ibadah itu yang melatari orang-orang pada satu sisi menyukai Jokowi, tetapi pada sisi lain dia tidak memilih Jokowi. Itu tantangan terbesar.

Saya tidak tahu cara mengatasinya, tetapi aspek-aspek seperti bagaimana kanal-kanal informasi berjalan itu harus diperhatikan. Kedua adalah solusi umum mendidik dan mencerahkan masyarakat agar mereka tidak menelan mentah-mentah begitu saja informasi yang mereka dapatkan. Tantangan-tantangan seperti ini sangat riil.

DW:  Jokowi diharapkan menjadi  sosok yang lebih tegas, namun malah mengambil langkah yang yang bertentangan dengan hak asasi, misal soal hukuman mati, lalu membatasi kebebasan, pembubaran ormas, kemudian yang terakhir adalah pembatasan media sosial? 

LA: Ini adalah dilema besar yang dihadapi Jokowi sekarang ini. Di satu sisi, negara diminta untuk tegas menindak dan mengantisipasi tindak kerusuhan yang akan meluas. Tidak ada jalan lain kecuali polisi dan aparat keamanan untuk bertindak jelas. Aturannya jelas, misalnya setelah jam 18.00, massa tidak boleh berkumpul melakukan demonstrasi. Kalau masyarakat tetap melakukan itu, berarti melanggar hukum. Daripada nanti lahir potensi kesemrawutan, itu harus ada tindakan tegas. Menurut saya, apa yang dilakukan polisi kemarin sudah benar, bahkan itu standarnya lumayan lunak, cara pendekatan, dll. Di negara demokrasi-demokrasi yang sudah mapan, kalau ada demonstrasi seperti itu, aparat langsung sikat, karena pertama itu akan mengganggu ketentraman umum, bukan 10.000 atau 1.000 orang yang melakukan demonstrasi itu yang menjadi perhatian, tetapi bagaimana menyelamatkan 10 juta warga Jakarta agar tetap hidup dengan aman dan nyaman. Itu yang harus lebih diperhatikan. Dasar tindak kepolisian yang agak represif adalah menyelamatkan warga yang lebih besar, di samping melanggar hukum.

DW: Kalau dilihat dari bagaimana pengaruh politisasi agama dalam pemilu ke depan, gerakan Islam sendiri di Indonesia akan seperti apa?

LA: ini tantangan berikutnya yang harus dihadapi Jokowi, harus diakui bahwa gelombang politik identitas itu semakin menguat selama 5-6 tahun terakhir. Ekspresi politiknya itu memuncak pada kontes-kontes demokrasi, pemilu baik itu tingkat nasional seperti pemilu kemarin atau lokal, seperti pilkada 2017. Sebenarnya ini fenomena yang terjadi di banyak negara.

Dalam kasus Indonesia, yang harus kita lakukan adalah mungkin organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah harus lebih aktif lagi, lebih terlibat dalam kegiatan mencairkan mengentalnya politik identitas yang muncul. Dari pihak pemerintah adalah semacam peringatan bahwa agama itu juga harus dikelola. Ingat tidak ketika Jokowi naik ke pemerintahan, salah satu alasan dia tidak mau mengurusi agama, karena dia ingin fokus pada kerja, kerja, kerja. Menurut dia saat itu, agama ada yang mengurus tapi ternyata apa yang dia bayangkan itu berbeda di realitas sosial. Itu harus dikelola. Orang-orang yang ada pada zaman SBY itu diakomodasi, tiba-tiba menjadi liar karena tidak diakomodasi negara. Ekspresinya macam-macam dari yang tidak puas, ada yang selalu mengecam pemerintah. Ini adalah bagian dari pengabaian Jokowi, yang tidak ia sangka bahwa pengabaian itu berdampak negatif. Ke depan mungkin harus ada strategi bagaimana mengelola persoalan –persoalan yang ada, mendekati NU misalnya. Seperti yang kita tahu dalam pemerintahan awal-awal Jokowi itu tidak dilakukan, itu baru dilakukan setelah ada 212, setelah ada kasus Ahok, dst. Baru belakangan Jokowi menyadari hal itu.

DW: Anda melihat dari Nahdlatul 'Ulama sendiri kurang melakukan sesuatu dalam rangka perdamaian dan meredam gerakan-gerakan ekstremisme ini?

LA: NU sebagai organisasi kadang-kadang bermain di dua kaki, sebagai organisasi jamiyah, organisasi sosial, NU pada dasarnya netral, lembaga Islam yang cukup moderat, yang percaya demokrasi adalah sistem yang harus didukung Pancasila adalah platform negara yang final, dst. Persoalannya adalah ada aspek-aspek di dalam NU yang bersifat politis, kita tahu bahwa NU pada tahun 2014 mendukung Prabowo, sekarang mendukung Jokowi. Itu merupakan tindakan politis orang yang sama, tapi bisa switch begitu berubah. NU sebagai gerakan sosial menjadi moderat tetapi tokoh-tokoh elit politiknya bisa menjadi sangat politis.