1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Pendidikan

Hak Warga Negara Diabaikan Bila Jumlah Sekolah Kurang

Zaky Yamani
Zaky Yamani
30 November 2019

Jika tidak semua anak mendapatkan pendidikan dasar gratis, berarti negara ini telah dengan sengaja melanggar konstitusinya sendiri. Ikuti ulasan menarik Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/3Tll8
Schülerin in Indonesien
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham

Setiap tahun, para orang tua selalu sibuk mencarikan sekolah untuk anaknya. Sebagian besar berlomba-lomba memasukkan anak ke sekolah negeri demi mendapatkan pendidikan gratis. Yang tidak kebagian tempat di sekolah-sekolah negeri terpaksa memilih sekolah swasta dengan biaya sendiri. Walau ada juga orang tua siswa yang tidak mau repot, dan sejak awal sudah memilih sekolah swasta.

Perebutan kursi yang terbatas di sekolah negeri berarti di sana ada kompetisi. Persoalannya: apakah untuk mendapatkan hak pendidikan dari negara, setiap anak harus berkompetisi dengan menggunakan berbagai cara? Bukankah seharusnya negara menjamin hak pendidikan setiap warga negara tanpa memberlakukan penyaringan dan kompetisi?

Frankfurter Buchmesse 2017 Indonesien
Zaky Yamani, penulisFoto: DW/A.Purwaningsih

Dalam melihat persoalan ini, kita harus merujuk pada aturan tentang hak pendidikan bagi warga negara, seperti yang tercantum di dalam pasal 31 UUD 1945, terutama ayat 1: setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat 2: setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Negara melanggar konstitusinya sendiri

Jika negara, melalui konstitusi, sudah berikrar bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan negara wajib membiayainya, lalu kenapa masih ada kompetisi untuk mendapatkan pendidikan di sekolah negeri? Karena jika kompetisi masih ada, jika tidak semua anak mendapatkan pendidikan dasar gratis, berarti negara ini telah dengan sengaja melanggar konstitusinya sendiri—melanggar ikrar yang telah ditetapkan sebagai hukum tertinggi di negara ini.

Persoalan hak pendidikan ini seakan rumit, padahal seharusnya tidak. Di dalam pasal 31 juga ditetapkan bahwa negara minimal harus menyediakan anggaran untuk pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD. Kata "minimal” berarti acuan sebagai batas terendah anggaran pendidikan yang harus disediakana negara. Artinya jika ternyata angka 20 persen itu belum mencukupi kebutuhan pendidikan, maka anggarannya harus ditambah, bukan dibiarkan di angka 20 persen itu—apalagi sampai diotak-atik dengan segala cara agar terlihat seperti telah mencapai 20 persen padahal tidak.

Komitmen pemerintah pada pendidikan rendah

Komitmen pada anggaran pendidikan itu akan memperlihatkan keseriusan pemerintah terhadap persoalan pendidikan. Dan kita bisa menilai, komitmen itu cukup rendah. Kenapa? Karena selama bertahun-tahun, kita melihat pemerintah membiarkan perbandingan jumlah sekolah negeri yang tidak proporsional dengan siswa yang harus sekolah.

Ambil contoh, misalnya di Kota Bandung. Di kota itu jumlah SD negeri 276 buah, jumlah SMP negeri 59 buah, jumlah SMA negeri 29 buah, dan jumlah SMK negeri 16 buah. Jumlah lulusannya pun tidak seimbang jika dibandingkan dengan jumlah kursi yang tersedia. Misalnya, tahun lalu jumlah total lulusan SD hampir 37 ribu siswa, sementara daya tampung SMP negeri hanya untuk 14 ribu siswa.

Artinya, sebagian besar lulusan SD (sekitar 23 ribu siswa) harus bersekolah di SMP swasta—semakin jauh dari pembiayaan pemerintah. Hal yang sama terjadi kepada lulusan SMP yang akan melanjutkan ke SMA atau SMK.

Dari contoh itu, kita bisa melihat pemerintah mengabaikan hak pendidikan bagi warga negara tanpa kecuali, karena sebagian besar siswa harus masuk ke sekolah swasta dengan biaya sendiri. Selama jumlah sekolah tidak seimbang dengan jumlah siswa yang harus sekolah, selama itu pula pemerintah melanggar konstitusi, karena pendidikan itu hak bagi warga dan kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakannya, seperti ditegaskan di Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945.

Sayangnya, alih-alih menuntut pemerintah melaksanakan amanat konsitusi, di setiap tahun ajaran baru lebih banyak orang tua siswa yang mengikuti permainan pemerintah dalam menerapkan pola kompetisi dalam akses kepada pendidikan, bahkan sampai saling sikut dengan sesama orang tua siswa. Padahal yang harus dituntut itu jumlah sekolah yang merata dan sanggup menampung seluruh siswa.

Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.