1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

300709 Moldau Wende

30 Juli 2009

Dalam pemilu baru di Republik Moldova, partai oposisi pro-Eropa mengalahkan partai Komunis yang masih memerintah. Pemilu baru merupakan penentu penting haluan politik Moldova. Apakah cenderung ke Rusia atau Uni Eropa?

https://p.dw.com/p/J0Oo
Aksi protes di Moldau pasca pemilu April 2009Foto: AP

Hingga Kamis sore (30/7) lebih dari 98 persen suara pemilih telah dihitung dan nampaknya hasil penghitungan akhir tidak akan berubah banyak. Jika dibandingkan dengan hasil pemilu April lalu, dalam pemilu kali ini suara yang diperoleh partai komunis merosot menjadi 45 persen. Itu berarti, partai komunis hanya memperoleh 48 kursi di parlemen. Utusan khusus pemerintah Jerman untuk Republik Moldova, Manfred Grund memprediksi:

"Perasaan saya mengatakan, kita akan menjadi saksi sebuah perubahan di Moldova. Partai Komunis kini tidak dapat menentukan sendiri kemana negara itu akan mengarah. Lebih dari 50 persen pemilih memilih salah satu partai demokrasi dari pihak oposisi, yang secara jelas-jelasan menginginkan haluan ke Eropa.“

Partai demokrasi yang berorientasi ke Uni Eropa diperkirakan akan memperoleh 53 kursi di parlemen baru. Secara teoretis mungkin saja satu atau dua partai berkoalisi dengan partai komunis. Namun sebelum pemilu digelar, kebanyakan partai oposisi sudah menyatakan tidak bersedia berkoalisi. Pakar politik luar negeri asal Moldova, Vladislav Kulminski memaparkan:

"Terlalu dini untuk mengatakan, sistem pemerintahan apa yang akan dibentuk. Tapi sudah dapat dipastikan, setelah pemilu ini Moldova memerlukan sebuah parlemen yang berfungsi, juga sebuah pemerintah dan lembaga pemerintah yang berfungsi. Artinya, semua partai yang berhasil masuk ke parlemen harus melupakan segala permusuhannya, kampanye pemilu terakhir yang merupakan yang paling buruk di negara ini dan harus mulai untuk berunding.“

Jika partai demokrasi membentuk pemerintahan, karena suara mayoritasnya mencukupi, tetap harus dilakukan perundingan dengan partai komunis. Karena untuk memilih presiden baru diperlukan 61 suara.

Pemilihan Rabu lalu (29/7) memang harus digelar, karena suara yang diperoleh partai komunis dalam pemilu sebelumnya, yakni 49 persen, kurang satu suara untuk bisa menetapkan seorang presiden baru. Menurut kubu oposisi, partai komunis menang besar-besaran pemilu April lalu lewat manipulasi. Para pendukung oposisi akhirnya turun ke jalan menentang hasil pemilu tersebut dan terjadi bentrokan dengan aparat keamanan.

Dalam pemilihan baru kalangan oposisi kembali mengeluhkan, bahwa pihaknya dirugikan oleh media yang diawasi pemerintah dan para pemilih mendapat tekanan dari pemerintah. Laporan pengamat pemilu dari organisasi untuk keamanan dan kerjasama di Eropa OSCE membenarkan keluhan tersebut. Namun dikatakan, bahwa pemilu baru terorganisir dengan baik dan tidak terjadi kecurangan berat, demikian tutur Manfred Grund yang bertugas sebagai pengamat pemilih OSCE di Moldova.

Apakah pendukung partai pro-Eropa akan menerima hasil pemilihan baru atau kembali berdemonstrasi untuk menentangnya? Pakar politik asal Moldova Vladislav Kulminski mengatakan:

"Menurut saya, potensi digelarnya aksi unjuk rasa sangat minimal. Kampanye habis-habisan pada pemilu lalu merugikan partai komunis dan tidak membantu partai itu secara menentukan, yang sebelumnya dicemaskan banyak orang. Nampaknya, pemilu baru justru mendukung oposisi, sehingga kubu oposisi secara keseluruhan memperoleh suara lebih banyak daripada dalam pemilihan sebelumnya. Selain itu, karena hasil mereka lebih baik dan partai komunis memperoleh kursi lebih sedikit di parlemen, maka potensi terjadinya aksi protes sangat kecil“.


Esther Hartbrich / Andriani Nangoy

Editor: Agus Setiawan