1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hari Buku Nasional & Pemberangusan

ap/hp16 Mei 2016

#DWNesia hadir pekan ini dengan tema peringatan hari buku nasional dan pemberangusan kebebasan berekspresi berkaitan dengan peristiwa 1965.

https://p.dw.com/p/1ImAc
Buch über das Massaker Buch über das Massaker von 1965 in Indonesien von 1965
Foto: DW/H. Pasuhuk

Tiap 17 Mei diperingati sebagai hari buku nasional. Tanggal itu dipilih untuk bertepatan dengan didirikannya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1980. Tanggal tersebut dapat menjadi refleksi, seberapa besar perkembangan dunia literasi di tanah air.

Survei World Most Literate Nations menunjukkan minat baca di Indonesia masuk ke peringkat nomor dua paling buncit dari 61 negara. Sedikitnya minat baca di Indoensia itupun diakui oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, Anies Baswedan yang mengutip data UNESCO dimana, persentase minat baca Indonesia hanya 0,01 persen.

Terbitan buku Indonesiapun masih kalah jauh dibanding negara-negara Asia lainnya seperti India dan Jepang. Data IKAPI menyebutkan, tahun 2014, jumlah buku yang terbit hanya 30 ribu buku, Jumlah tersebut tergolongs sedikit, mengingat populasi Indonesia mencapai sekitar 250 juta jiwa. Sementara jumlah penerbit buku pun yang aktif tidak sampai 1000.

Terpilihnya Indonesia sebagai tamu kehormatan pameran buku internasional Frankfurt Book Fair, memberikan semangat baru akan pntingnya pengembangan dunia literasi. Sejauh ini baru sekitar 200-an judul buku yang diterjemahkan ke bahasa asing. Dengan semakin seringnya Indonesia berpartisipasi di pameran-pameran buku internasional diharapkan buku Indoensia bisa mulai mendunia.

Secercah harapan justru muncul di masyarakat di pelosok-pelosok tanah air. Perpustakaan bergerak yang diinisiasi Muhammad Ridwan Alimuddin, semakin menularkan semangat baca. Semakin banyak perpustakaan-perpustakaan kecil yang mulai menunjukkan bahwa semangat membaca masih ada, bahkan di masyarakat-masyarakat terpencil.

Di kota-kota besar, keprihatinan dalam dunia literasi malah amat terasa dengan banyaknya pemberangusan buku dan acara sastra. Pemberangusan buku yang dilakukan justru oleh aparat pemerintah, pelarangan dan teror terhadap acara sastra—yang notabene erat kaitannya dengan dunia perbukuan—di berbagai kota di Indonesia ini menjadi kritikan tajam Anton Kurnia dalam opininya: Pramoedya, Srigala Jahat, dan Pemberangusan Buku.

Pemberangusan buku menjadi salah satu hal menakutkan dalam pengembangan dunia ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan, pemberangusan buku menjadi tindakan barbar dalam demokrasi yang mendukung kebebasan berekspresi. Apalagi jika sampai menutupi sejarah sebuah bangsa.

Di Indonesia kini telah muncul desakan untuk pengungkapan sejarah sesungguhnya dalam peristiwa 1965/1966. Setengah abad berlalu, pemerintah amsih belum bergerak maju untuk meluruskan sejarah dan malah meneruskan praktik-praktik yang berusaha menutupi sejarah tersebut. Stigmatisasi terhadap PKI dan komunisme, yang sudah berlangsung selama 50 tahun, sulit untuk dihapuskan. Lewat opininya Fobia 1965, Made Supriatma menyentil bagaimana di era reformasi ini kegamangan masih amat terasa, jika publik disodorkan fakta yang berbeda.

Demikian topik #DWNesia pekan ini. Kami tunggu tanggapan Anda di Facebook DW Indonesia dan twitter @dw_indonesia. Seperti biasa, sertakan tagar #DWNesia dalam mengajukan pendapatmu.

Salam #DWNesia