1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hentikan ‘Tradisi’ Penghakiman Korban Pelecehan Seksual

Kusumasari Ayuningtyas
29 Juni 2021

Mulai dari intimidasi, hingga dipermalukan teman-teman dekat. Risiko penghakiman ini harus ditanggung pelapor pelecehan seksual. Tidak semua orang kuat hadapi trauma berlipat setelah mengalami pelecehan.

https://p.dw.com/p/3vgS9
Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan
Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuanFoto: picture-alliance/Photoshot

Beberapa minggu lalu, seorang publik figur tiba-tiba jadi trending di Twitter. Saat itu pemilik akun @quweenjojo membuat pengakuan dalam rangkaian thread tentang pelecehan seksual yang ia alami dari sang publik figur sekitar tiga tahun lalu. Postingan tersebut mendapat reaksi beragam, publik antara lain menyoroti lamanya jarak waktu dari kejadian hingga posting.

Memang masih banyak yang berpendapat bahwa pelecehan seksual adalah salah korban. Mulai mempertanyakan alasan korban datang ke tempat kejadian yang merupakan tempat hiburan malam, cara berpakaian yang dianggap terlalu hot, hingga sikap korban yang dinilai telah lalai menjaga diri.

Sebelumnya, pada akhir 2018 juga mencuat kasus mahasiswi di Yogyakarta yang mengalami pelecehan seksual saat menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dia butuh waktu 1,5 tahun sebelum akhirnya memutuskan bersuara dan meminta keadilan.

Mahasiswi yang memantik munculnya gerakan #KitaAgni tersebut sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan keadilan sejak hari-hari pertama setelah mengalami pelecehan seksual oleh mahasiswa di universitas yang sama. Ibarat bumerang, mencuatnya kasus ini justru berbalik membuat korban diintimidasi, mengalami teror, cemoohan, dan pengasingan.

Tidak semudah "tinggal lapor saja"

Cornelia Natasya, aktivis perempuan yang turut mengadvokasi kasus 'Agni' mengatakan biasanya korban butuh waktu untuk bisa membawa kasus kekerasan seksual ke ranah hukum. Rumitnya membangun sistem dukungan atau support system dan menyiapkan diri secara mental sering jadi hambatan untuk melangkah ke arah ini.

"Penyintas memiliki hak untuk menuntut, dan juga memiliki hak untuk diam dengan alasan keamanan," tutur Natasya kepada DW Indonesia.

Natasya mengaku bahwa ia juga penyintas yang memilih tidak membawa kasusnya ke ranah hukum karena tidak punya support system yang memadai. Memang berdasarkan pengamatannya di lapangan, sering kali korban hanya mendapatkan dukungan atau pendampingan yang sifatnya formalitas. Seringnya, para pendamping ini tidak punya kapasitas cukup sehingga sering mengabaikan kondisi mental korban.

Padahal yang kerap terjadi adalah setelah korban memutuskan bersuara, dia justru mengalami kekerasan dalam bentuk lain, yakni kekerasan mental: Pihak-pihak yang merasa dirugikan akan mempersalahkannya. Orang-orang, termasuk lingkaran pertemanan dekat, cenderung mempermalukannya. Tidak ada pendampingan dan penguatan mental korban untuk menghadapi hal-hal ini.

Cornelia Natasya menggambarkan bahwa selama mendampingi kasus 'Agni', korban juga mengalami intimidasi, teror, pengasingan, perundungan. Selain itu, "pihak ketiga dalam penyelesaian kasus juga tidak bisa bersikap objektif dan adil," ujar Natasya sambil mencontohkan pelaporan kasus 'Agni' yang sempat berkali-kali tidak digubris.

Korban juga dipaksa menceritakan kronologi kasus di depan keluarganya ketika salah satu orang tuanya tengah sakit parah. Namun setelah itu 'Agni' justru mendapatkan dukungan penuh keluarganya, sebuah privilege yang jarang dimiliki penyintas pelecehan dan kekerasan seksual.

Menuk dianggap aib dan disembunyikan

Belasan tahun lalu, Menuk (bukan nama sebenarnya) banyak menghabiskan waktu mengurung diri di kamar. Sehari-hari, Menuk yang difabel memang kerap disembunyikan oleh keluarganya. Tapi bukan itu yang membuat Menuk, 42, waktu itu mengurung diri. Dia telah dilecehkan secara seksual oleh orang dekat keluarganya.

Dia memilih tidak menceritakan pelecehan ini kepada siapa pun hingga suatu hari seorang sahabat mencarinya. Barulah ia bercerita kepada sahabatnya itu, tapi Menuk memilih untuk tidak memproses kasusnya secara hukum. Sahabatnya kemudian menguatkan, memintanya tetap bersabar, dan menerima kejadian ini sebagai musibah.

Menuk bahkan merahasiakan kejadian ini dari keluarganya dengan alasan bahwa keberadaannya saja sudah seperti aib bagi keluarga mana mungkin dia mampu menceritakan kejadian buruk yang dia alami. "Saya simpan sendiri, saya tidak cerita ke keluarga, keluarga saya tidak akan mendukung," ujar Menuk.

Menuk yang hidup dengan polio ini memang sering kali merasa dirinya adalah beban keluarga dan diperlakukan berbeda dengan adik-adiknya. Ia mengatakan dirinya tidak mendapatkan pendidikan seperti adik-adiknya. Dia juga cenderung disembunyikan oleh orang tuanya, kalau ada tamu Menuk diminta keluar dari rumah tidak boleh masuk.

"Dilecehkan secara seksual itu sakit sekali, traumanya tidak satu dua hari, bertahun-tahun bahkan sampai sekarang," kata Menuk kepada DW Indonesia. 

Dari korban pelecehan menjadi aktivis

Tidak mau berhenti sebagai korban, Atik Tri Wahyuni, seorang penyintas kini menjadi relawan untuk Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), sebuah lembaga swadaya masyarakat di Solo, Jawa Tengah, yang bekerja di bidang perempuan dan hak asasi manusia.

Atik mengakui bahwa luka dan rasa sakit akibat pelecehan dan kekerasan seksual tidak akan bisa sembuh meski sudah bertahun-tahun. Namun ia tidak mau terpuruk di sana. Atik memilih mendedikasikan diri sebagai pendamping korban kekerasan seksual.

Atik Tri Wahyuni, aktivis pendamping korban pelecehan dan kekerasan seksual
Atik Tri Wahyuni mendedikasikan diri sebagai pendamping korban kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Solo dan sekitarnyaFoto: K. Ayuningtyas/DW

Menurutnya, terkadang seorang penyintas hanya membutuhkan dukungan moral. Banyak dari mereka yang merasa cukup dengan adanya perasaan memiliki teman senasib dan saling menguatkan tanpa berkeinginan untuk menuntut keadilan atau bahkan menyelesaikan masalahnya.

"Mereka ke sini untuk berkeluh-kesah, mencari dukungan, setelahnya pulang lagi dan menghadapi masalahnya lagi, begitu terus," ujarnya.

Natasya, Menuk dan Atik. Ketiganya memilih perjuangan panjang untuk berdamai dengan luka masa lalu dan tidak menuntut keadilan dengan pertimbangan masing-masing.

Korban ketimpangan relasi kuasa

Fitri Handayani, Manajer Penanganan Kasus di Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), mengatakan bahwa masyarakat cenderung melihat kekerasan seksual, utamanya perkosaan bukan sebagai kejahatan kemanusiaan, tetapi justru masalah moral korban. Mereka kemudian membandingkannya dengan nilai moral yang mereka anut seperti perempuan tidak seharusnya keluar malam, tidak berpakaian terbuka, tidak menantang lelaki, dan harus bisa menjaga keperawanan.

Korban pelecehan seksual usia muda di kisaran 15-25 tahun sering kali memilih diam bahkan tidak bercerita kepada orang tua karena takut. Takut dipersalahkan, takut ketahuan kalau sudah tidak perawan, dan takut menghadapi cemoohan teman-teman. 

"Selain mungkin tidak tahu harus meminta pertolongan ke mana, pelaku (seringnya adalah) orang yang dianggap punya pengaruh di masyarakat," ujar Fitri.

Defirentia One Muharommah, Direktur Rifka Annisa Women's Crisis Center, mengatakan perempuan memang sangat rentan menjadi korban dalam relasi kuasa timpang. Ia mencontohkan kasus Baiq Nuril di tahun 2018, yang justru terjerat pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ketika korban mencoba bersuara, tidak hanya disalahkan tetapi juga dianggap apa yang terjadi atas dasar suka sama suka.

"Edukasi ke masyarakat menjadi penting karena seringkali masyarakat malah victim blaming dan melakukan bullying terhadap korban," pungkasnya.

Fitri Handayani, dari Yayasan SPEK-HAM, mengatakan alih-alih menyalahkan, beri korban motivasi, kuatkan mentalnya, dan buat komunitas untuk saling menguatkan. (ae)