1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hidup Sunyi Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Uly Siregar Blogger
Uly Siregar
12 Oktober 2019

Apakah ada anggota keluarga Anda yang mengalami gangguan jiwa atau mental? Uly Siregar berbagi kisah hidup bersama mendiang kakaknya yang mengalami ganguan mental. Apa yang bisa kita lakukan bagi mereka?

https://p.dw.com/p/3MBha
Indonesien Java Psychiatrie Patienten Fixierung
Foto: HRW/Andrea Star Reese

Penyakit gangguan mental atau sering juga disebut penyakit gangguan jiwa merupakan penyakit yang mempengaruhi otak dan mengganggu keseimbangan kimiawi. Mereka yang mengalami kondisi ini dikenal dengan sebutan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Contoh penyakit gangguan mental adalah depresi, bipolar, anxiety (kecemasan), stres pasca trauma (PTSD), gangguan obsesif kompulsif (OCD), skizofrenia, dan banyak lagi.

ODGJ kategori berat biasanya menderita gejala psikosis, seperti delusi, halusinasi, dan paranoid. Gejala psikosis yang tampak pada penderita gangguan mental membuat penderita kadang melakukan hal-hal di luar kewajaran, seperti bicara sendiri, berteriak ketakutan, menangis, atau bahkan mengamuk yang sifatnya destruktif.

Di Indonesia, hal ini seringkali dilihat orang awam sebagai hal yang aneh dan mereka dengan enteng memberi label "orang gila” pada penderita gangguan mental yang mengalami episode gejala psikosis. Selain diberi label ‘orang gila', diasingkan jauh dari orang-orang yang mereka cintai, mereka kerap diperlakukan secara tak manusiawi. 

Belajar dari pengalaman

Yang memprihatinkan, karena kurangnya pengetahuan, untuk mengatasi gangguan ini penderita gangguan mental biasanya dibawa berobat ke dukun, tabib, atau justru ke pemuka agama untuk didoakan.

Khusus soal ini, saya punya pengalaman pribadi. Mendiang kakak saya mengalami penyakit gangguan mental. Sepanjang hidupnya, kedua orangtua saya mengira dia anak yang "sulit” dan selalu membuat masalah.

Uly Siregar, Blogger
Penulis: Uly SiregarFoto: Uly Siregar

Begitu berat penyakit gangguan mental yang diderita, ia kerap mengalami gejala psikosis yang membuat resah kedua orangtua, dan tak jarang membuat malu keluarga. Ketika mencapai puncaknya, tanpa pengetahuan yang memadai, ia bukannya dibawa ke rumah sakit jiwa, tapi dibawa ke semacam rumah peristirahatan bagi orang-orang mengalami luka batin yang dikelola oleh seorang pendeta.

Di sana ia diberikan layanan religi dan spritual disertai obat-obatan namun tak dilakukan diagnosa yang cermat dan mendalam oleh dokter ahli jiwa. Hingga akhirnya ia meninggal karena stroke, terasing di tempat jauh dari keluarga. 

Di berbagai tempat di Indonesia, penderita gangguan mental kerap mengalami nasib yang jauh lebih buruk dibandingkan mendiang kakak saya. Banyak ODGJ yang menjalani hidup dengan cara dipasung.

Pasung adalah praktik merantai ODGJ dan mengurungnya di dalam ruangan. Cara ini dilakukan agar ODGJ yang dipasung tidak berkeliaran dan mengganggu. Hingga Juli 2018, menurut catatan Kementerian Kesehatan ada 12.382 ODGJ yang hidup dalam pemasungan. Angka tersebut belum termasuk dengan pasung yang terjadi di wilayah-wilayah terpencil. Belum lagi banyak terjadi ODGJ yang telah bebas pasung kembali dipasung karena tidak adanya layanan pendukung.

Praktik pasung ini jelas sangat tidak memanusiakan dan melanggar hak asasi manusia. Menurut catatan Human Rights Watch, pemasungan yang paling lama di Indonesia terjadi pada seorang wanita yang dikurung dan dipasung selama 15 tahun! Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan praktik pasung sebagai penanganan ODGJ yang tak manusiawi, dan sempat melancarkan kampanye "Indonesia Bebas Pasung 2014”. Sayangnya, karena pemahaman yang kurang soal kesehatan mental, praktik pasung ini masih bisa ditemui di Indonesia.

Sikap mengasingkan ODGJ karena ada stigma bahwa "kegilaan” mereka terjadi karena adanya beragam pandangan buruk, misalnya ada keyakinan kondisi tersebut terjadi karena kerasukan setan, atau karena dosa-dosa yang dilakukan orangtuanya, atau karena pernah melakukan tindakan amoral, atau sesederhana karena tak memiliki iman yang kuat.

Karena adanya pandangan buruk ini, keluarga yang memiliki ODGJ cenderung merasa malu dan berusaha untuk menyembunyikan ODGJ dari interaksi dengan orang lain. Apalagi bila terjadi di keluarga yang tinggal di daerah terpencil dengan tingkat pendidikan yang rendah, pasung akhirnya menjadi solusi akhir bila dukun atau tabib tak bisa mengubah keadaan. 

Penyakit Serius

Penyakit gangguan mental merupakan penyakit serius yang bisa berakibat fatal bagi si penderita. Di Indonesia sendiri kondisi penanganan kesehatan mental masih belum menjadi isu yang teramat penting dibandingkan dengan penyakit-penyakit yang mengancam keselamatan nyawa lainnya.

Padahal menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun mencapai 14 juta orang, atau 6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu, prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia tercatat 400 ribu.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti dikutip Republika (16/10/2018), angka bunuh diri di Indonesia mengalami tren peningkatan. Tahun 2010 tercatat 1,8 per 100 ribu jiwa atau sekitar 5.000 per tahun, sedangkan pada 2012 meningkat menjadi 4,3 per 100 ribu jiwa atau sekitar 10 ribu per tahun. Secara global, setiap tahun lebih dari 800 ribu orang meninggal akibat bunuh diri atau satu kematian setiap 40 detik. 

Untuk mengetahui apakah seseorang menderita penyakit gangguan mental, tentunya diperlukan konsultasi dengan dokter atau ahlinya. Namun, ada beberapa faktor yang bisa membuat kita lebih awas terhadap kemungkinan terkena gangguan jiwa. Misalnya, penyakit mental berpotensi menyerang mereka yang berusia akhir remaja hingga usia awal 20-an.

Sebenarnya gejala penyakit mental sudah bisa ditemukan pada anak-anak usia 9 atau 10 tahun, namun gejala itu tertutupi dengan tingkat stres yang lebih kecil dibandingkan saat menginjak usia awal dewasa. Beberapa gejala lainnya adalah perasaan murung yang berkepanjangan, cemas berlebihan, paranoid, dan banyak lagi. Bagi anak-anak usia remaja, gejala yang patut diperhatikan adalah adanya kecenderungan untuk mengisolasi diri dari pergaulan sosial. 

Menghadapi ODGJ
Apa yang bisa kita lakukan bila memiliki anggota keluarga ODGJ? Yang terpenting tentunya berkonsultasi dengan dokter ahli jiwa. Terapi dan obat-obatan bisa membantu kualitas hidup ODGJ agar gejala psikosis bisa ditekan atau dihilangkan sama sekali.

Selain itu tentunya dengan menerima dan menghargai ODGJ sebagai manusia yang memiliki kondisi tertentu sehingga kadang sulit dalam berinteraksi, terutama saat gejala psikosis menyerang. 

Yang pasti, jangan langsung mengasingkan ODGJ dan menganggap mereka sebagai sebuah kutukan yang harus dihindari. Cobalah memahami keadaan mereka, karena sama seperti semua orang, ODGJ juga membutuhkan interaksi dengan sekelilingnya. Malah, mungkin lebih membutuhkan dari mereka yang tidak mengalami kondisi tersebut.

Dukungan merupakan hal yang sangat krusial bagi ODGJ. Bila ia anggota keluarga, pelajari lebih jauh tentang jenis gangguan mental yang ia miliki. Luangkan waktu untuk mengenali gejala psikosis dan bagaimana cara menghadapinya saat episode psikosis berlangsung. Kasih sayang dan dukungan akan membuat ODGJ merasa nyaman dan membantu dalam proses pemulihan dari gejala psikosis.

Hal itu juga berlaku dengan sikap kita di ruang publik. Janganlah menjadikan ODGJ sebagai olok-olokan di media sosial. Contohnya, dengan membuat meme-meme yang menjadikan ODGJ sebagai obyek. Atau langsung nyinyir ketika kebetulan membaca di media sosial ada yang mengaku depresi dan punya keinginan bunuh diri.

Meski kedengarannya seperti dramatisasi dan bernuansa caper, bisa jadi mereka memang punya penyakit gangguan mental. Sikap kita yang memojokkan berpotensi membuat mereka melakukan tindakan yang fatal, hingga sampai titik terendah akhirnya mengambil jalan bunuh diri. Dan ini bukannya tak pernah terjadi. 

Penyakit gangguan mental banyak mengambil korban jiwa, salah satunya lewat jalan bunuh diri. Yang menyedihkan, banyak juga mereka yang bunuh diri mencari "pertolongan” di tempat yang salah, seperti di ruang publik yang disediakan media sosial seperti Facebook dan Twitter. Sayangnya, tetap berakhir tragis dengan bunuh diri.

Salah satunya yang terjadi bulan Januari lalu, pria berusia 21 tahun berstatus mahasiswa mengakhiri hidupnya dengan menenggak arsenik di kamar kosnya di Tangerang. Sebelum bunuh diri, pria berinisial ADA ini sempat mengungkapkan curahan hatinya di Twitter. Selama beberapa hari, ADA menuliskan kesedihannya, dari soal kehilangan kekasih hati hingga perasaan ditinggal oleh semua teman-temannya. Catatan terakhirnya adalah tentang bagaimana ia tak ingin menjadi benalu dan merasa lebih baik untuk enyah dari muka bumi. 

Bagi penderita gangguan mental, kesunyian menjadi teman akrab yang menyertai hidup mereka. Hidup mereka sulit untuk dipahami, bahkan oleh mereka sendiri. Janganlah kita menjadi hal yang menjadikan hidup mereka lebih sarat kesedihan. 

@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.