1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hildegard Ürtz-Retzlaff Berjuang Tegakkan Keadilan

29 Oktober 2009

Proses pengadilan terhadap mantan pemimpin Serbia Radovan Karadzic dimulai Senin (26/10) di Mahkamah Kejahatan Perang Internasional PBB, dan hari itu langsung ditunda karena tertuduh tak bersedia hadir di ruang sidang.

https://p.dw.com/p/KIK9
Gedung Mahkamah Kejahatan Perang Internasinal di Den Haag, BelandaFoto: picture-alliance/ dpa

Menghadapi hal itu pemimpin tim jaksa penuntut, Hildegard Ürtz-Retzlaff sempat emosi ketika mengecam ketidakhadiran Karadzic.

Rambutnya yang pirang dipangkas pendek, matanya menyala ketika mengritik Radovan Karadzic karena tak hadir di pengadilan. Suaranya yang bergetar menunjukan kemarahan yang membara di bawah jubah hitam yang dikenakannya. Perempuan berusia 58 tahun ini sudah sejak 1985 bekerja di Den Haag. Sebelumnya di kejaksaan Bochum, Jerman, tugasnya adalah memastikan bahwa koruptor dan penjahat sektor ekonomi mendapat hukuman yang pantas.

Bagi Hildegard Ürtz-Retzlaff, menjalankan proses pengadilan terhadap penjahat perang seperti Radovan Karadzic merupakan tugas akbar bagi pengadilan. Meski tak boleh membicarakan proses yang berlangsung, ia cukup terbuka membicarakan pengalamannya. Misalnya, mengenai kunjungan ke lokasi kejadian untuk mecari saksi mata dan bukti seperti di Goraschde pada tahun 1996, atau di Sanski Most musim dingin 1997.

Namun baginya salah satu masa yang paling penting adalah masa proses pengadilan terhadap Slobodan Milosevic. Semua mata publik menyorotnya ketika ia menyampaikan pleidoi pembukaan. Suksesnya yang terbesar adalah proses Foca. Pada proses itulah untuk pertama kalinya dalam sejarah hukum, tindak perkosaan dalam peperangan berhasil ditempatkan dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. 25 perempuan Bosnia beragama Islam tampil memberikan kesaksian dalam sidang pengadilan. Dan ketiga perwira tinggi Serbia Bosnia yang terdakwa itupun masing-masing dijatuhi hukuman penjara antara 12 tahun hingga 28 tahun, karena secara sistematis telah menggunakan kekerasan seksual, perbudakan dan penyiksaan untuk meneror penduduk.

Hildegard Ürtz-Retzlaff yakin bahwa tribunal Yugoslavia sangat berfungsi dan menguatkan keadilan. Kenyataan, bahwa para korban bisa menceritakan nasib dan penderitaannya saja, sudah merupakan hal yang amat penting. Meski begitu, pada awalnya jaksa penuntut dari Bochum yang pemberani ini merasa sedikit ragu. Tahun 1996 di Srebenica terjadi pembunuhan masal. Hampir 8000 ribu lelaki etnis Bosnia dari usia 12 hingga 77 tahun dibunuh. Peristiwa ini berlangsung satu tahun setelah dakwaan terhadap Radovan Karadzic dan jenderalnya, Ratko Mladic.

"Ketika itu saya berpikir, apa sih yang saya lakukan di sini, tak ada gunanya, orang-orang ini sudah dihukum tapi hal seperti itu masih terjadi,“ ungkap Hildegard Ürtz-Retzlaff.

Saat itu Hildegard Ürtz-Retzlaff sempat pulang ke rumah, namun ia diingatkan suaminya bahwa bila satu orang saja di antara penjahat ini berhasil diadili, maka itu sudah merupakan sebuah sukses besar. Karena itu jugalah, Hildegard Ürtz-Retzlaff segera kembali aktif di Mahkamah Kejahatan Perang Internasional PBB.

Karin Schweighöfer/Edith Koesoemawiria

Editor: Yuniman Farid