1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Homegrown Terrorism" Musuh Dalam Selimut

7 Juli 2010

"Homegrown terrorism", hingga lima tahun lalu istilah ini sama sekali tidak dikenal publik. Istilah itu populer setelah terjadi serangan bom terhadap kereta bawah tanah dan bus tingkat di London pada 7 Juli 2005 silam.

https://p.dw.com/p/ODLg
Foto: DW

Hal istimewa dari homegrown terrorism itu, berbeda dengan pelaku Serangan 11 September 2001, adalah, pelakunya lahir dan tumbuh di negara tujuan serangannya. Di negara tujuan serangannya itu juga mereka bersekolah. Sebagian besar teroris itu berasal dari keluarga migran yang berhaluan sekuler, dan dibesarkan dengan hanya sedikit pengaruh agama.

Mereka tampak dapat berintegrasi dengan baik dengan masyarakat sekitarnya, hingga akhirnya berhubungan dengan provokator Islam radikal. Beberapa dari teroris itu bahkan bukan berasal dari keluarga muslim, namun pindah memeluk agama Islam ketika berusia dewasa.

Salah satu pelajaran penting yang dipetik oleh Inggris setelah serangan di London, adalah mencegah polarisasi masyarakat, demikian dikatakan Magnus Ranstorp dari Akademi Pertahanan Swedia di Stockholm

"New Scotland Yard sangat efektif dalam menyebarkan pesan ini dengan satu suara, tidak ada manipulasi informasi. Pada akhirnya masyarakat menjadi bersatu. Terutama setelah serangan. Tapi juga sebelum serangan, banyak tindakan yang bisa dilakukan, yaitu memberdayakan masyarakat. Mungkin itu kuncinya,“ Ranstorp menjelaskan.

Pentingnya Kerja Sama Pemerintah dengan Masyarakat Muslim

Großbritannien London Terrorismus Bus
Serangan bom terhadap bus tingkat di London, Inggris, 2005.Foto: AP

Kerja sama erat antara aparat keamanan dan kelompok masyarakat yang wilayahnya berpotensi memunculkan pelaku dipandang penting oleh Ole Schröder, seorang pejabat kementerian dalam negeri Jerman.

"Hal penting adalah, kami bekerja sama dengan lingkungan yang memiliki kecenderungan radikalisasi. Misalnya organisasi mesjid atau siapa pun yang tinggal di lingkungan yang menjadi radikal," kata Schröder.

Pencegahan terbaik adalah membentengi masyarakat muslim di negara barat dari pemikiran ekstremisme. Di Jerman, penyebarluasan nilai-nilai bersama dilakukan pemerintah Jerman dengan menggelar Konferensi Islam. Menurut Ole Schröder, hal itu dilakukan guna mengaktifkan masyarakat muslim dalam mengenali masalahnya dan siap untuk mengatasi kecenderungan radikalisasi di lingkungannya.

Ole Schröder juga menekankan pentingnya pendidikan para imam di Jerman guna menyalurkan nilai-nilai bersama tersebut.

Spanyol yang sudah berpengalaman dengan imigran Maroko membagi pengalamannya dalam hal pendidikan para imam. Inggris juga berusaha mencegah radikalisasi remaja muslim dengan bekerja sama dengan mesjid.

Siapa yang kebal terhadap ideologi ekstrem, ia tidak akan menjadi teroris. Judith Sunderland dari organisasi pembela hak asasi manusia Human Rights Watch mengingatkan agar tidak terjadi stigmatisasi muslim dalam masyarakat barat. Misalnya, larangan pembangunan menara mesjid atau larangan penggunaan kerudung justru memicu radikalisasi.

Negara-negara juga harus berhati-hati dalam memperlakukan orang yang dicurigai sebagai teroris. Menurut Judith Sunderland, ada beberapa negara Uni Eropa yang memberlakukan pengecualian bagi mereka yang dicurigai sebagai teroris. Orang-orang itu dipersulit dalam memperoleh akses hukum atau ditahan pra peradilan.

Tapi itu justru berdampak berlawanan. Judith Sunderland mengatakan, "Tindakan anti teror, yang berujung pelanggaran hak asasi manusia, lama-kelamaan menumbuhkan perasaan ketidakadilan yang memicu radikalisasi.“

Fabian Schmidt/Luky Setyarini

Editor: Anggatira Gollmer