1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hubungan Arab-Amerika Retak?

Kersten Knipp14 Mei 2015

Arab Saudi kirim putra mahkota dan anggota Dewan Kerjasama Teluk lain kirim politisi lapis dua ke KTT yang digagas presiden AS Obama. Sebuah indikasi dari retaknya hubungan Arab-Amerika? Perspektif Kersten Knipp.

https://p.dw.com/p/1FPcF
Foto: Reuters/K. Lamarque

Bagaimana sebenarnya? Apakah raja Arab Saudi Salman Ibn Abd al-Aziz sakit? Merasa bertanggung jawab mengawasi gencatan senjata dengan Yaman? Atau benar-benar marah?

Apapun alasan atau motiv yang diajukan raja Arab dalam menanggapi undangan presiden AS Barack Obama untuk menggelar KTT dengan Dewan Kerjasama Teluk di Camp David itu, akan tetap memicu spekulasi terkait hubungan diplomatik kedua negara yang tegang belakangan ini. Kepercayaan Arab terhadap Amerika yang selama beberapa dekade dianggap sebuah keniscayaan, kini goyah. Bahkan lebih lugas lagi, skeptisme kini meningkat.

Di Riyadh, Manama dan Abu Dhabi yang mendominasi adalah pertanyaan kritis terhadap Washington. Apa sebetulnya yang diinginkan Amerika? Atau lebih tegas lagi, apa yang dikehendaki oleh Obama? Sebenarnya jawabannya juga sudah diketahui oleh mayoritas kepala negara Dewan Kerjasama Teluk. Obama sudah mengisyaratkan apa yang diinginkannya, yakni hubungan baru yang lebih baik dengan Iran, musuh bebuyutan negara-negara Teluk.

Kehendak Obama itu merupakan cerminan dari sukses pertama dalam perundingan sengketa atom dengan Teheran. Sekaligus juga pengakuan Amerika akan peranan besar Iran dalam sukses aliansi strategis melawan teror para jihadis di Suriah dan Irak.

Jadi, masalahnya sudah jelas. Tapi negara-negara Arab di kawasan Teluk ingin tahu lebih banyak dari Obama. Terutama, seberapa besar imbalan yang siap dibayar oleh Obama terkait hubungan baru dengan Iran itu?

Memang semua bisa menuding negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi, menjalankan politik regional yang Chauvinistik dan punya hubungan yang seringkali agak ganjil dengan kelompok teror jihadis. Tapi dalam satu hal, pendapat negara-negara Teluk juga benar. Yakni: apakah citra politik luar negeri baru Iran akan berdampak menguntungkan? Sejauh ini jawabannya jauh dari meyakinkan.

Politik Teheran yang ngotot mempertahankan kekuasaan Diktator Bashar al-Assad di Suriah, memberi kontribusi penting bagi terus berlangsungnya perang saudara yang kini memasuki tahun kelima. Tidak salah jika para kepala negara Teluk mempertanyakan, apakah Obama tidak bisa berbuat lebih banyak, untuk mengakhiri perang di Suriah itu?

Knipp Kersten Kommentarbild App
Kersten Knipp redaktur DW

Tapi juga dipertanyakan, apakah sikap Riyadh atau Abu Dhabi itu benar dilantarbelakangi rasa cinta damai? Jawabannya tegas: tidak! Sebab Suriah atau Yaman, merupakan ajang perang sektarian memperebutkan pengaruh regional, di antara perwakilan kaum Sunni melawan kaum Syiah. Negara Arab yang Sunni terus berusaha mencegah meluasnya pengaruh Syiah Iran di Suriah dan Yaman.

Juga negara-negara Teluk merasa berang, karena tidak ikut dilibatkan langsung dalam perundingan sengketa atom dengan Iran. Hal ini sekarang tercermin dari tanggapan mereka terhadap undangan Obama. Sebagian besar negara Teluk hanya mengirimkan politisi di lapis dua, bukan tokoh puncak kepala negara atau kepala pemerintahannya.

Jika aksi ini betul dianggap sebagai sinyal protes, semua pihak harus menafsirnya dari sisi lain. Yakni sebagai pengakuan, bahwa dalam tema perdamaian di kawasan itu, semua tidak akan berjalan baik tanpa keikutsertaan Amerika Serikat. Pasalnya, baik dewan Teluk maupun Iran menganggap Washington sebagai mediator tidak langsung. Tapi ini juga bukan bukti pragmatisme tanpa emosi. Sebab, baik negara Teluk maupun Iran masih amat jauh dari predikat lulus kematangan berpolitik.