1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

280909 Ausblick Klima Bangkok

28 September 2009

Di sela-sela SU PBB, Sekjen PBB Ban mendesak negara dunia untuk segera merumuskan kesepakatan iklim yang mengikat dan menyeluruh. Kini, perundingan persiapan digelar di Bangkok, Thailand sampai 9 Oktober mendatang.

https://p.dw.com/p/JsEr
Foto: AP

Achim Steiner, direktur program lingkungan PBB UNEP tampak kuatir bila membahas peluang kelanjutan kesepakatan iklim di Kopenhagen.

“Ada dua tantangan yang harus diatasi sebelum kesepakatan tercapai seperti yang dituntut Sekjen PBB. Dan dua tantangan ini ada kaitannya dengan dua faktor mendasar, pertama bagaimana negara industri memimpin debat mengenai pengurangan emisi. Dan kedua: adakah paket keuangan yang meyakinkan agar negara berkembang dan industri baru siap ikut serta dan tidak memilih untuk melangkah sendiri."

Sampai saat ini, para pemain penting belum mengajukan angka yang konkret. Cina dan India di SU PBB hanya berjanji untuk berupaya lebih keras mengurangi emisi CO2-nya dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Pemain penting lainnya, yaitu Amerika Serikat juga belum menyebutkan persentase pengurangan emisi yang konkret. Pasalnya, walau AS berambisi memikul tanggung jawab lebih besar tapi semua kebijakan harus disetujui oleh Kongres dan Senat. Menurut Martin Kaiser, pemimpin delegasi organisasi lingkungan Greenpeace, tanpa Amerika Serikat dan Cina tidak akan tercapai kesepakatan iklim yang berarti di Kopenhagen.

"Amerika Serikat dan Cina memegang peranan kunci untuk tercapainya sukses di Kopenhagen. Amerika Serikat adalah penyebab polusi terbesar atmosfer bumi, di bawah pimpinan George Bush, Amerika Serikat berulang kali menjegal proses perundingan iklim PBB. Bagi AS yang penting adalah menggandeng Cina. Karena Cina adalah adidaya ekonomi baru yang akan mendominasi ekonomi global bersama AS di abad ke-21 ini."

Saat ini, AS dan Cina secara bersama memproduksi 40 persen emisi CO2 seluruh dunia.

Masalah kedua yang masih menghambat proses pencapaian kesepakatan adalah soal pendanaan untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Para pakar sudah lama memperingatkan bahwa negara miskin, negara kepulauan kecil dan negara yang memiliki garis pantai panjanglah yang paling terancam oleh naiknya permukaan air laut. Karena itu, semua pihak menyadari bahwa kesepakatan Kopenhagen harus menyeluruh dan mengikat, bukan hanya kesepakatan untuk negara-negara besar, kata ketua Sekretariat Iklim PBB Yvo de Boer:

“Kesepakatan di Kopenhagen tidak akan berarti tanpa Cina dan Amerika Serikat. Sebaliknya, kesepakatan ini juga tidak akan berhasil tanpa negara kepulauan kecil."

Tapi, selama negara industri tidak menetapkan target pengurangan emisi yang konkret, negara miskin dan berkembang menolak untuk melakukannya. Dan ini adalah salah satu faktor penyebab mandegnya perundingan iklim saat ini.

Sampai tanggal 9 Oktober, 4.000 delegasi dari 192 negara mencoba untuk menggodok naskah perundingan yang dihasilkan pertemuan sebelumnya di kota Bonn. Artinya, membuat naskah tersebut se-konkret mungkin dan menjawab sejumlah pertanyaan kunci. Perundingan persiapan terakhir sebelum digelarnya KTT Iklim Internasional akhir tahun ini di Kopenhagen akan digelar di Barcelona, awal November.

Helle Jeppesen/Ziphora Robina
Editor: Agus Setiawan