1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Impian Rekonsiliasi Nasional Al-Maliki

26 Juni 2006

Perdana Menteri Irak ingin menggulirkan program rekonsiliasi nasional untuk mendorong pendekatan kaum Syiah-Sunni. Namun bagaimana peluangnya menghadapi kenyataan yang justru berlawanan?

https://p.dw.com/p/CPDY
Bush dan Al-Maliki. Mencari celah di antara cengkraman AS
Bush dan Al-Maliki. Mencari celah di antara cengkraman ASFoto: AP

Kelompok kriminal dan teroris setidaknya tetap akan menjadi pihak yang dikucilkan dari pemberian amnesti dalam program rekonsiliasi nasional yang diumumkan oleh Perdana Menteri Irak, Nuri Al-Maliki. Melalui program tersebut, Maliki hendak mendorong pendekatan antara masyarakat Irak yang terpecah setelah invasi Amerika Serikat. Termasuk memberikan peluang bagi kaum Sunni untuk lebih terlibat dalam proses pembangunan kembali Irak.

Namun masih dipertanyakan, mekanisme seperti apa yang akan digunakan sang Perdana Menteri untuk dapat merealisasikan mimpi indahnya. Karena desakkan pemberian amnesti tak lain dari tuntutan pembebasan anggota kelompok radikal yang dikategorikan sebagai pemberontak. Dan tidak pernah menetapkan definisi yang jelas mengenai perbedaan antara mereka yang memberontak menentang invasi Amerika, melawan pemerintahan Irak atau hanya melawan warga Irak. Sementara Pemerintahan Al-Maliki dan terutama Amerika Serikat sudah jelas akan mengecap aksi aksi tersebut sebagai kegiatan terorisme.

Namun Al-Maliki tidak akan dapat memenuhi tuntutan pemberian amnesti penuh, jika dia menginterpretasikan serangan terhadap keberadaan AS sebagai aksi pemberontakan yang legitim. Tidak dapat dibayangkan, seorang pemimpin pemerintahan Irak melakukan hal tersebut selama negaranya masih bergantung kepada kerjasama dengan Amerika Serikart.

Menurut Maliki yang merupakan pemeluk Islam Syiah, rehabilitasi mantan anggota partai Baath pun harus dimasukkan ke dalam program dialog nasional yang direncanakannya. Amerika telah menghapus keberadaan partai Saddam itu dan menjauhkan setiap anggotanya dari jabatan penting dalam tubuh pemerintahan Irak. Walaupun juga harus diakui, bahwa tidak semua anggota memikul tanggung jawab terhadap kejahatan sang diktatur.

Bagi kebanyakan kaum Sunni, program rehabilitasi akan menjadi langkah awal yang penting. Namun sebaliknya, dari kelompok Syiah, akan timbul perlawanan yang ditandai dengan penolakan keras terhadap rencana itu. Karena mayoritas kaum Syiah Irak belum merasa siap untuk melakukan rekonsiliasi atau islah dengan orang-orang dari rezim Saddam yang telah terlalu lama menindas mereka.

Yang juga menjadi poin penting dalam program rekonsiliasi nasional ini adalah kesediaan dan tekad bulat pemerintahan Maliki untuk mengangkat tema seputar penarikan pasukan dari Irak di setiap perundingan dengan pemerintahan Bush. Sang perdana Menteri telah berulangkali berjanji untuk memprakarsai penarikan pasukan Amerika secepatnya dari Irak.

Namun yang jelas, realisasinya akan sangat bergantung kepada keampuhan langkah diplomasi Al-Maliki dan kondisi politik dalam negeri Amerika. Juga berangkat dari kenyataan, bahwa bagi semua pihak, penarikan mundur pasukan AS dari Irak secara besar-besaran merupakan hal yang mustahil, karena hal tersebut akan menimbulkan kekacauan yang lebih dahsyat dan seluruh dunia akan mengiinterpretasikannya sebagai simbol kegagalan Amerika di Irak.

Keraguan terhadap suksesnya program rekonsiliasi nasional ala Maliki semakin jelas terasa ketika kita harus berhadapan dengan kenyataan di atas. Impian itu memang mencerminkan satu hal penting, bahwa rakyat Irak harus bersatu padu. Namun ia tidak menunjukkan, bagaimana cita-cita itu bisa terealisasikan.