1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia Ancam Tutup Facebook

3 April 2018

Pemerintah memperingatkan Facebook untuk mencegah terulangnya kasus Cambridge Analytica. Jika tidak, Indonesia tidak segan-segan mencabut izin operasi buat raksasa media sosial tersebut.

https://p.dw.com/p/2vOci
Symbolbild Smartphone-Nutzer vor Facebook Logo
Foto: Reuters/D. Ruvic

Kegagalan Facebook melindungi data pengguna dari propaganda politik selama Pemilu Kepresidenan AS dianggap menjadi ancaman buat Indonesia. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, mewanti-wanti raksasa media sosial itu untuk menjaga data pribadi pengguna dari praktik manipulasi dan meredam penyebaran berita palsu. Jika tidak, pemerintah mengklaim tidak segan-segan untuk menutup Facebook.

Peringatan tersebut dilayangkan jelang Pilkada serentak 2018 dan Pemilu Kepresidenan 2019. Pemerintah mengkhawatirkan, media sosial bisa disalahgunakan untuk menebar ujaran kebencian dan kabar hoax buat memenangkan pemilu.

"Jika saya harus menutupnya, maka saya akan melakukannya,” ujar Rudiantara seperti dilansir Bloomberg. Ia mengingatkan pemerintah sebelumnya pernah memblokir aplikasi layanan pesan Telegram. "Saya melakukannya. Saya tidak segan untuk melakukannya lagi,” imbuhnya.

Facebook saat ini berada di bawah tekanan menyusul kasus Cambridge Analytica yang membeli data pribadi 50 juta pengguna buat keperluan propaganda Donald Trump selama Pilpres AS 2017.

Baca:Skandal Cambridge Analytica: Mark Zuckerberg Akui “Kesalahan” Facebook

Baca:Ancaman Ekstremisme Negara-negara Muslim Menguat di Media Sosial

Terutama di Asia Tenggara, raksasa medsos asal California itu dianggap gagal menghadang ujaran kebencian anti Rohingya yang marak di Myanmar atau meredam upaya sistematis kelompok pro pemerintah yang mobilisasi massa buat merundung oposisi dan aktivis HAM di Filipina. Situasi serupa terjadi di Kamboja, di mana pemerintahan Hun Sen aktif menebar propaganda anti oposisi di Facebook.

"Setidaknya di Amerika mereka bisa memanggil Mark Zuckerberg ke Kongres jika merasa terganggu. Di sini kami tidak bisa melakukannya," keluh Clarissa David, Professor Komunikasi Massa di University of Philippines, kepada Financial Times.

Meski berjanji bakal menangani masalah tersebut, Facebook juga mengakui perbaikan ini akan memakan waktu bertahun-tahun. Platform media sosial yang saat ini dihuni oleh lebih dari dua miliar pengguna aktif itu juga berkomitmen untuk tetap melindungi konsumen di Asia Tenggara. Namun janji tersebut dinilai belum cukup.

Kepada Financial Times, Phil Robertson, Wakil Direktur Asia di Human Rights Watch, menilai Facebook hanya memiliki kepentingan bisnis. "Mereka mendulang keuntungan berlimpah dari ekspansi besar-besaran (di Asia Tenggara), tanpa mengemban tanggungjawab sama sekali kecuali ketika ditekan," ujarnya.

rzn/yf (bloomberg, ft, tirto)