1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan Hak

Ketimpangan Gender di Bidang Iptek di Indonesia

Arti Ekawati
21 April 2021

Di Indonesia, hanya sekitar 30% perempuan yang belajar di bidang iptek di perguruan tinggi. Selebihnya didominasi oleh laki-laki. Apa dampaknya dan bagaimana cara mengatasinya?

https://p.dw.com/p/3sIvR
Gambar ilustrasi perempuan bekerja di bidang industri
Gambar ilustrasi perempuan bekerja di bidang industriFoto: Imago/Blickwinkel

"Anak perempuan jangan ambil jurusan teknik, itu jurusan laki-laki." Anda pernah dengar perkataan macam ini? Ternyata sudut pandang seperti ini menjadi salah satu penyebab ketimpangan gender di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di Indonesia. Kaum perempuan masih banyak yang tidak bisa berpartisipasi dalam iptek, baik karena keterbatasan akses maupun faktor lain seperti politik dan pola pikir budaya.

Buku berjudul Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Perkembangan, Kebijakan, dan Tantangannya di Indonesia yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2018, menjabarkan contoh ketimpangan di sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Bila dilihat dari sisi pemanfaatannya, persentase perempuan dan laki-laki pengguna TIK relatif sama. Namun, bila berbicara mengenai pengembangan TIK, masih ada anggapan bahwa teknologi adalah bentuk maskulinitas dan dengan demikian, pengembangannya pun identik dengan kegiatan laki-laki.

Sementara dari segi pendidikan, disebutkan bahwa jumlah perempuan yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Lalu, perempuan yang lulus dari perguruan tinggi di bidang iptek, utamanya di bidang-bidang seperti sains, teknologi, dan matematika jumlahnya lebih sedikit lagi. Jika pun lulus, belum tentu para perempuan ini nantinya akan bekerja di bidang-bidang tersebut. 

Ketimpangan semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia. Mengapa ini terjadi dan apa dampaknya bila dibiarkan? DW Indonesia berbincang dengan Wati Hermawati, peneliti dari LIPI yang mendalami masalah kesetaraan gender dan iptek.

DW: Mengapa begitu sedikit perempuan yang menekuni karier di bidang iptek?

Wati Hermawati: Memang di bidang iptek khususnya science, technology, engineering and mathematic (STEM), jumlah perempuan yang belajar di perguruan tinggi hanya 30% dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang mencapai 70%. Jadi otomatis ketika terjun ke masyarakat dalam bentuk profesionalisme apa pun, ya jumlahnya tidak lebih dari itu.  Kalau social scientis kebalikannya, perempuan lebih banyak.

Bagi mereka yang berasal dari kabupaten dan kota-kota kecil, masih ada norma yang menyatakan di keluarga dan di masyarakat bahwa jurusan-jurusan seperti teknologi, engineering itu jurusan anak laki-laki, bukan jurusan anak perempuan. Jurusan anak perempuan itu masih ilmu-ilmu sosial, ekonomi. Biologi itu masih agak seimbang jumlah perempuan dan laki-laki, tapi kalau sudah yang teknik, dari dulu sampai sekarang angkanya belum beranjak banyak.

Wati Hermawati, peneliti LIPI
Wati Hermawati, peneliti LIPIFoto: Privat

Faktor apa yang mendorong kondisi ini?

Budaya lebih membentuk bahwa perempuan harus di rumah. Jadi perempuan harus dekat dengan keluarga karena dia diposisikan sebagai penjaga anak, penjaga keluarga, penjaga orang tua sehingga tidak boleh jauh-jauh dari rumah, apalagi sampai mengambil pekerjaan yang harus ke luar kota berminggu-minggu, atau harus ke luar negeri sering-sering.

Lalu ada beban ganda. Dia ada pekerjaan produktif ada juga pekerjaan reproduktif. Ada juga diskriminasi yang tidak terlihat seperti misalnya perempuan itu secara kodrati dia haid, melahirkan, dan menyusui. Tapi faktor-faktor itu sering tidak dimasukkan dalam sasaran kebijakan perusahaan atau tempat dia bekerja. Misalnya, kalau setiap bulan dia absen sakit dua hari karena menstruasi, itu sudah dianggap merugikan perusahaan. Lalu masih terjadi pelecehan di tempat kerja, lemah sekali pengawasan-pengawasan seperti ini.

Ketimpangan di bidang ini, kalau tidak bertahap diatasi apa dampaknya?

Kalau ini tidak diatasi, maka ini akan dianggap sesuatu yang biasa di masyarakat. Bidang-bidang ini akan dimaskulinkan di masyarakat, bahwa itu adalah bidang laki-laki. Agar hasil litbang, atau hasil industri itu bisa digunakan di masyarakat, orangnya (pelaku) harus berperspektif gender.

Perspektif gender itu tidak harus oleh perempuan. Laki-laki kalau punya perspektif gender, dia bisa memenuhi apa yang dibutuhkan oleh perempuan, dan oleh laki-laki. Karena kalau kita bicara gender kita bukan bicara perempuan, kita bicara perempuan dan laki-laki.

Kenapa perempuan harus banyak didorong di sana (bidang iptek)? Ya untuk menyuarakan kebutuhan perempuan sendiri itu apa. Karena kadang-kadang perempuan juga tidak punya perspektif gender. Ketika dia berada di puncak pimpinan, misalnya sebagai pengambil keputusan, dia tidak memperhatikan kebutuhan perempuan, ada juga yang seperti itu.

Saat ini dunia sudah mencoba untuk mendongkrak ketimpangan di bidang iptek ini, yang sudah berhasil Filipina dan Myanmar. Di Filipina kaum prianya lebih banyak ke bisnis, maka kaum perempuannya banyak ke iptek, ke scientist, dosen.

Makanya pengarusutamaan gender itu harus dimulai sejak dia masuk ke perguruan tinggi. Kami sudah menyarankan harus ada pemahaman bahwa jenis kelamin itu berbeda dengan gender. Kalau secara kodrat memang laki-laki dan perempuan beda. Tapi kalau mengurus rumah, mengemudi traktor, atau menjalankan robot itu 'kan bukan hanya pekerjaan laki-laki. Selama secara kodrati bisa ia tangani, maka itu bisa dilakukan karena itu adalah peran yang bisa dialihkan, bisa berganti. 

Bagaimana cara mendorong lebih banyak perempuan terjun ke bidang iptek?

Pertama, harus ada role model perempuan di bidang itu. Lalu harus ada perangsang, misalnya beasiswa untuk perempuan jangan disamakan dengan laki-laki umurnya. Misalnya S2 untuk perempuan dan laki-laki maksimal 35 atau 30 tahun. Itu harus beda perlakuannya. Kalau laki-laki di umur segitu dia bisa berangkat, bisa sekolah. Tapi kalau perempuan di umur segitu mungkin dia masih punya anak kecil yang harus disusui, atau mungkin baru memulai rumah tangga, sehingga sulit. Lalu ketiga, ini tidak ada dalam kebijakan tetapi seperti glass ceiling, jadi tersamar tapi ada. Misalnya ketika mau menduduki jabatan yang lebih tinggi, perempuan dipandang sebagai tidak mampu atau banyak hambatan. Ini kasus ada di mana-mana bukan hanya di Indonesia. Kebijakan menyatakan laki-laki dan perempuan seimbang dalam hal apa pun tapi dalam praktiknya'kan tidak.

Peran pasangan/keluarga dalam mengatasi ketimpangan ini?

Penelitian tentang gender itu koneksinya adalah dengan gender dalam pembangunan, bukan gender di rumah tangga. Kalau di rumah tangga, itu adalah komitmen antara suami dan istri. Saya beri contoh, misal istrinya dokter, suaminya insinyur. Karena dia insinyur, dia bisa menafkahi istri dan keluarganya. Nafkah lahir, uang dan lainnya berlimpah. Kemudian dia melarang istrinya yang dokter itu untuk buka praktik atau untuk membantu orang entah di klinik atau di RS. Saya selalu katakan begini: bukannya dia tidak boleh bekerja, tapi Indonesia masih kekurangan dokter, masih sangat sedikit. Jadi bagaimana kelegaan hati dia memberikan izin kepada istrinya untuk menyumbangkan ilmunya ke masyarakat. Itu komitmen di rumah tangga.

Kalau kita lihat di luar rumah tangga, jumlah dokter itu sangat sedikti tapi perempuan yang kuliah kedokteran itu banyak. Jadi harus diberi treatment tertentu oleh pemerintah supaya bila nantinya perempuan dokter ini bekerja tidak juga mengganggu ketentraman rumah tangga. Misalnya di LIPI ada ruang menyusui, atau penitipan anak jadi suami istri yang bekerja bisa melihat anak mereka di jam-jam tertentu. Nah treatment-treatment seperti itu di negara maju sudah ada banyak, di Indonesia belum semua. Itu yang disebut dengan perspektif gender dari sisi kebijakan. (ae/pkp)

Wati Hermawati aktif sebagai peneliti LIPI di Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi. Sejumlah tulisannya antara lain diterbitkan dalam buku berjudul: Kesetaraan Gender dalam Pelaku Iptek, Mungkinkah? (2020) dan Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Perkembangan, Kebijakan, dan Tantangannya di Indonesia (2018).

Wawancara untuk DW Indonesia oleh Arti Ekawati dan telah diedit sesuai konteks.