1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Indonesia ‘Kebut’ Pemulihan Pariwisata Lewat Program CHS

Prihardani Ganda Tuah Purba
19 Mei 2020

Rugi besar akibat pandemi COVID-19, pemerintah ingin mempercepat pemulihan sektor pariwisata lewat program CHS yang mengacu pada konsep kebersihan, kesehatan dan keselamatan. Bali ditunjuk sebagai pilot project.

https://p.dw.com/p/3cTWb
Indonesia | Bali | Tourist aus Deutschland
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Roszandi

Pariwisata adalah salah satu sektor terdampak paling parah di tengah pandemi COVID-19 saat ini. Perkiraan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan telah terjadi penurunan pada kinerja sektor pariwisata internasional di tahun 2020 sebanyak 45%. Jumlah tersebut diprediksi akan terus meningkat hingga 70% jika pemulihan kegiatan pariwisata tertunda hingga September 2020 mendatang. 

Sebab itu, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI) mengebut proses pemulihan di sektor pariwisata. Salah satunya adalah dengan mengajak industri memperketat protokol kesehatan sebagai ‘norma baru’ di sektor pariwisata setelah pandemi COVID-19 usai. 

“Kita harus menormalkan sektor pariwisata kita lebih cepat. Kita harus sepenuhnya menyadari bahwa pariwisata adalah tulang punggung perekonomian,” kata Menparekraf Wishnutama saat International Tourism Webinar dengan tema “Changes of Tourism Pradigm In the Era of New Normal”, Jumat (15/05). 

Berkaitan dengan percepatan pemulihan pariwisata ini, Sekretaris Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ni Wayan Giri Adnyani dalam acara Rakor Persiapan Pemulihan Pariwisata di Bali pada Kamis (14/05), menyebutkan bahwa pemerintah telah menyiapkan program yang dibagi menjadi dua periode.  

Bulan Juni-Oktober2020 sebagai gaining confidence yang mencakup persiapan dan revitalisasi destinasi, dan bulan Oktober 2020 sebagai appealing yang merupakan pembukaan destinasi pariwisata secara bertahap dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat. “Sehingga pada tahun 2021 diharapkan pariwisata Indonesia bisa normal kembali”, ujar Giri seperti dilansir dari laman resmi Pemprov Bali, baliprov.go.id. 

Bali jadi pilot project 

Dalam rangka mempercepat pemulihan di sektor pariwisata, Kemenparekraf akan menerapkan program CHS (Cleanliness, Health, and Safety) di setiap destinasi wisata pascapandemi. Konsep ini menurut Giri tidak terelakkan karena pandemi COVID-19 telah membuat masyarakat jauh lebih peduli terhadap faktor-faktor kebersihan, kesehatan dan keamanan, termasuk untuk destinasi pariwisata. 

Program ini akan diuji coba di Bali, daerah yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai pilot project untuk menerapkan program CHS ini. Baru kemudian secara bertahap akan diimplementasikan ke daerah lainnya di seluruh Indonesia. 

Selain sebagai destinasi utama pariwisata di Indonesia, Bali menurut Giri dipilih karena dinilai sebagai salah satu provinsi yang relatif berhasil mengendalikan penyebaran COVID-19. Merujuk pada data gugus tugas COVID-19, total kasus positif COVID-19 di Bali sampai pada Selasa (19/05) adalah 363 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 4 kasus dan pasien sembuh sebanyak 267. 

Denpasar, Bali
Bali ditetapkan sebagai pilot project untuk Program CHS.Foto: Getty Images/AFP/S. Tumbelaka

Sejak wabah COVID-19 merebak, Bali yang bertumpu pada pariwisata mengalami kerugian besar. Catatan BI menunjukkan saat ini Bali mengalami perlambatan ekonomi sebesar minus 1,14%, termasuk yang paling rendah di Indonesia. 

“Jika dilihat dari masa tinggal para wisatawan di Bali per bulannya, maka kerugian pariwisata Bali per bulan di masa pandemi ini sekitar Rp 9,7 triliun rupiah per bulan,” kata Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Rabu (13/05) seperti dikutip dari Kompas. 

Meski menyambut baik program CHS dari Kemenparekraf, Tjokorda Oka berharap pembukaan wisata di provinsinya tidak dilakukan secara serentak. “Mengingat banyak wisatawan yang sudah sangat rindu dengan Bali, kita bisa buka ITDC di Nusa Dua terlebih dahulu. Mengingat di sana secara fisik sudah terisolasi dan jauh dari pemukiman dan dengan fasilitas yang sudah lengkap,” ujarnya saat Rakor Persiapan Pemulihan Pariwisata di Bali, Kamis (14/05). 

Apa itu CHS? 

Seperti dilansir dari laman resmi Kemenparekraf, konsep CHS disebut mengacu pada protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan konsep pembangunan kepariwisataan berkelanjutan.  

Cleanliness (kebersihan) merujuk pada keadaan bebas dari kotoran, termasuk diantaranya debu, sampah, dan bau. Selain itu kebersihan juga berarti bebas dari virus, bakteri pathogen, dan bahan kimia berbahaya. 

Health (kesehatan) dijalankan dengan meningkatkan parameter lingkungan dan mendorong penggunaan teknologi dan perilaku yang ramah lingkungan dan sehat.  

Sedangkan Safety (keselamatan) diartikan sebagai keadaan bebas risiko, bahaya, pencemaran, ancaman, gangguan yang bersifat permanen dan nonpermanen, fisik dan nonfisik di suatu tempat dan waktu tertentu. 

Serta yang tidak kalah penting adalah zero waste management dimana pengelola destinasi harus memiliki strategi dalam penerapan kebijakan pengelolaan sampah yang baik. 

Pandemi merubah paradigma pengembangan pariwisata 

Saat dihubungi dalam kesempatan terpisah, aktivis pariwisata Indonesia, yang juga merupakan Founder Temannya Wisatawan, Taufan Rahmadi mengatakan bahwa jika pemerintah memutuskan untuk membuka kembali destinasi wisata di Indonesia, maka protokol kesehatan ketat sesuai rekomendasi WHO harus benar-benar dijalankan. “Protokolnya harus jelas yaitu healthy and hygiene. Itu yang paling penting,” ujarnya saat dihubungi DW, Selasa (19/05). 

Selain protokol kesehatan, wisatawan yang datang ke destinasi wisata, seperti misalnya Bali, menurut Taufan juga harus terseleksi secara matang. Khususnya bagi wisatawan mancanegara, rekam jejak kesehatan dan perjalanannya harus jelas.  

“Bagaimanapun juga masalah COVID-19 ini bukan hanya bicara satu sektor saja tapi berdampak kepada semua sektor, oleh karena itu kita berharap bahwa Bali kalaupun memang sudah turun kurvanya dipastikan untuk tidak naik lagi dan ketika buka rekomendasi kuat harus ada dari pemerintah pusat apakah sudah pantas atau tidak destinasinya dibuka,” jelasnya. 

Ia mengakui bahwa pandemi COVID-19 telah merubah paradigma pengembangan pariwisata di Indonesia. Artinya, pariwisata tidak lagi berbicara kuantitas kunjungan tapi berbicara tentang kualitas kunjungan.  

Paradigma yang memikirkan bahwa pariwisata tidak lagi hanya berbicara tentang keindahan alam atau kesehatan lingkungan tapi juga pariwisata yang mampu meningkatkan kesadaran spiritual, menghadirkan wisatawan yang bertanggung jawab, memberikan layanan yang sehat, bersih dan profesional, serta mampu mensejahterakan semua pekerjanya. (gtp) (dari berbagai sumber)