1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia Pertimbangkan Keluar dari OPEC

Zaki Amrullah6 Mei 2008

Di tengah pertimbangan untuk menaikkan harga BBM, pemerintah Indonesia mengkaji pilihan untuk keluar dari OPEC, terkait kegagalan mempertahankan produksi minyak dalam tahun-tahun terakhir.

https://p.dw.com/p/DuiG
Gedung OPEC di WinaFoto: AP

Produksi minyak Indonesia pernah mencapai 1,6 juta barrel per hari pada pertengahan tahun 90-an, tetapi angka itu terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, hingga di bawah angka 1 juta barrel per hari. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, salah satu penyebab kegagalan pemerintah mempertahankan produksi minyak adalah karena banyaknya sumur minyak yang sudah tua. Kenyataan inilah yang memaksa pemerintah untuk mengkaji keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak OPEC

“Kita sekarang sudah menjadi oil importing country. Kita mengkonsumsi BBM dalam jumlah yang tidak sedikit, oleh karena itulah kemarin dalam sidang kabinet terbatas kita memikirkan apakah kita masih tetap berada di OPEC atau sementara kita mengundurkan diri saja, sambil kita terus meningkatkan produksi dalam negeri, sehingga pantas kalau kita kembali dalam organisasi OPEC."

Wacana untuk keluar dari OPEC ini, bukan yang pertama kali dilontarkan pemerintah. Pada tahun 2005 pemerintah bahkan telah membentuk tim lintas departemen untuk mengkaji kemungkinan keluar dari OPEC dengan alasan serupa, meski kemudian dibatalkan. Tetapi menurut gubernur OPEC untuk Indonesia, Maizar Rahman, dibanding rencana tahun 2005 lalu, rencana kali ini jauh lebih serius. Dikatakannya:

“Masalahnya dulu tahun 2005 walaupun sedikit kita masih net eksportir walaupun hanya 10-20 ribu barrel. Kalau sekarang kita sudah jauh dari net importer-nya sudah sangat besar, taruhlah kita memproduksi sekitar 930 ribu barrel, dan itu tidak milik pemerintah semua karena sekitar 40 persen milik kontraktor yang mengerjakan minyak. Kita itu mengimpor 400-500 ribu barrel per hari, jadi mungkin pertimbanganya lebih bijak kalau untuk sementara kita keluar dulu dari OPEC.”

Pengamat perminyakan Kurtubi memiliki pendapat senada. Alasannya:

“Kita Indonesia sudah nett oil importer secara mutlak, tentu kepentinganya berbeda dengan negara OPEC. Kita sekarang di Indonesia ingin harga minyak itu turun, agar APBN tidak terbebani karena memang produksi kita sangat rendah. Sedangkan negara OPEC lain, kepentinganya adalah agar harga minyak tetap pada level yang mereka inginkan, tetap tinggi jadi kepentingannya berbeda. Jadi sudah sewajarnya ini keluar dari OPEC.”

Indonesia telah bergabung dalam organisasi pengekspor minyak OPEC sejak awal tahun 60-an. Bersama 13 negara lainnya Indonesia menikmati sejumlah fasilitas penting sebagai anggota OPEC. Jika Indonesia benar-benar keluar dari OPEC, ini bukan tanpa konsekuensi. Kembali pengamat perminyakan Kurtubi:

“Yang hilang itu, akses Indonesia untuk ikut menentukan kuota minyak mentah OPEC sehingga bisa menetukan fundamental pasar dari sisi suplai dan juga tidak bisa memperoleh informasi tangan pertama. Ketiga, gengsinya kurang, karena tidak lagi ikut klub negara-negara yang dihargai di mata negara-negara industri, sehingga ini bisa saja mempengaruhi investasi minyak asing di Indonesia.”

Di sisi lain, menurut Kurtubi dengan keluar dari OPEC Indonesia tidak lagi harus mengeluarkan dana iuran OPEC dan membiayai pejabat-pejabatnya untuk menghadiri berbagai pertemuan organisasi tersebut. Indonesia juga tidak terkena getah dari sikap keras OPEC yang kukuh menolak menaikkan produksi minyaknya.