1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bom di Filipina Jadi Tekanan Untuk Akhiri Kekerasan

28 Januari 2019

Pemboman Katedral Katolik yang menewaskan 20 orang di wilayah selatan Filipina yang bergolak memberikan tekanan baru terhadap upaya guna mengakhiri puluhan tahun kekerasan separatis.

https://p.dw.com/p/3CIri
Philippinen Bomenanschlag auf Kirche in Jolo
Foto: Getty Images/AFP/N. Butlangan

Pasukan keamanan Filipina pada hari Senin (28/01) menyusun penghalang jalan dan pos-pos pemeriksaan di sekitar kota selatan tempat pemboman yang diklaim oleh organisasi ISIS. Kepala kepolisian Filipina, Oscar Albayalde menyebutkan: "Hampir tidak ada orang di jalan-jalan dan toko-toko tutup ... jadi kita bisa mengatasi masalah ini," katanya kepada wartawan di Jolo, "Kami memiliki jumlah pasukan yang mencukupi." Demikian dilansir dari kantor berita DPA.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte dijadwalkan untuk mengunjungi lokasi  tersebut Senin malam."Dia sangat marah," kata juru bicara kepresidenan, Salvador Panelo. "Dia sangat kecewa karena meskipun sudah ada gerakan menuju perdamaian dan pembangunan, masih ada kekuatan tertentu di wilayah itu yang menabur teror dan membunuh dan membunuh orang. "

Dua ledakan meluluhlantakkan Katedral Katholik Maria Gunung Karmel  di Jolo, Filipina yang berpenduduk mayoritas Muslim, hari Minggu (27/01). Para jemaah misa dan pasukan keamanan terenggut nyawanya.  Insiden ini menjadi salah satu kasus pemboman terburuk di negara itu dalam beberapa tahun terakhir.

Para pengamat menyuarakan keprihatinannya pada hari Senin (28/01) atas dampak serangan tersebut, terhadap upaya perdamaian selama puluhan tahun yang mencapai puncaknya pekan lalu dalam referendum yang akan menyepakati terbentuknya pemerintahan sendiri Muslim di selatan.

Pemungutan suara itu merupakan hasil negosiasi yang dimulai pada 1990-an dengan kelompok pemberontak terbesar di negara itu, Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan akan memberinya kekuasaan besar atas apa yang disebut wilayah Bangsa Moro.

Namun menurut pengamat masalah terorisme, Sidney Jones tidak bisa mengaitkan referendum pekan lalu dengan aksi bom ini.

"Referendum ini hasilnya akan dipimpin oleh MILF yang sebagian besar dari suku Magindanan , bukan etnis yang di Sulu," ujarnya kepada DW.  "Jadi antara semua daerah yang meneyetujui, Sulu adalah satu daerah yang menolak, walaupun sebagian besarnya adalah Muslim. Tak semua menyetujui hasil referendum ini adalah kesempatan luar biasa. Kelompok garis keras akan tetap menuntut khilafah Islam."

Referendum yang diikuti 2,8 juta orang menyepakati pembentukan wilayah otonomi Bangsa Moro di wilayah Filipina selatan, daerah berpenduduk Muslim terbesar di negara tersebut. Mayoritas pemilih menyetujui pembentukan itu, tetapi para pemilih di Provinsi Sulu yang mencakup Jolo, berbeda. Penduduk daerah itu menolak otonomi khusus tersebut.

Keterangan berbeda, Abu Sayyaf diduga sebagai pelaku

Organisasi ISIS mengatakan dua pembom bunuh diri mengenakan sabuk peledak, demikian menurut SITE Intelligence Group, yang memantau kegiatan jihadis. Tetapi sebuah laporan militer mengatakan bom kedua ditinggalkan di kotak bagasi sepeda motor di area parkir di luar gereja. Polisi mengatakan mereka meyakini bahwa bahan peledak itu diledakkan dari jarak jauh.Meskipun terjadi kontradiksi, pihak berwenang belum mengesampingkan keterlibatan ISIS dalam insiden ini.

Faksi-faksi jihad yang bersekutu dengan ISIS - termasuk kelompok penculik Abu Sayyaf yang terkenal kejam - yang bukan bagian dari proses perdamaian, jadi tersangka utama dalam pemboman itu.

Pulau terpencil Jolo adalah markas kelompok yang juga diduga  terlibat dalam serangan terhadap sebuah kapal feri di Teluk Manila pada tahun 2004. Dalam serangan itu, 116 orang tewas.  "Ini adalah tantangan besar bagi pemerintah Bangsa Moro," kata Rommel Banlaoi, ketua Institut Penelitian Perdamaian, Kekerasan dan Terorisme Filipina. Mantan pemberontak perlu menunjukkan diri  bahwa mereka akan mampu menarik kawasan itu ke arah perdamaian untuk menarik investasi yang sangat dibutuhkan untuk mengurangi kemiskinan dan melawan ekstremisme, katanya kepada AFP. 

"MILF perlu membuktikan  bahwa mereka dapat membuat perbedaan ... gravitasi masalah yang dihadapi MILF adalah wow, sangat luar biasa," tambahnya.

Presiden Rodrigo Duterte menempatkan Filipina selatan di bawah kekuasaan militer setelah militan pro-ISIS merebut kota Marawi pada bulan Mei 2017. Pejabat pemerintah berpendapat bahwa pihak berwenang telah efektif menjinakkan wilayah yang terus bergolak.

Sementara itu, ucapan bela sungkawa mengalir dari seluruh dunia untuk para korban di katedral, yang telah berulang kali menjadi sasaran serangan granat. Paus Fransiskus, yang berbicara di Panama menyatakan "penolakan keras" atas aksi kekerasan itu. Sekali lagi, ia berkata, "komunitas Kristen berduka."

Berdampak bagi pembangunan

Tetapi para pengamat juga khawatir tentang bagaimana serangan itu akan berdampak pada harapan untuk pembangunan baru di wilayah itu.  "Itu adalah tragedi manusia yang mengerikan, dan juga tragedi pembangunan," kata ekonom Bank Dunia Andrew Mason kepada media CBN.

"Ketika kita melihat daerah konflik, ketika kita melihat pasang surut dan dampak negatif akibat kekerasan dan konflik, apa yang kita lihat juga adalah peluang pengembangan yang tersia-siakan."

Sementara itu pengamat terorisme Sidney Jones mengatakan tidak terlihat adanya kaitan dalam pembomanan di Filipina kali ini dengan gerakan terorisme di Indonesia, meskipun dulunya ada sejarah dimana beberapa jihadis asal Indonesia terpantau berada di kawasan ini. "Dulu Dulmatin, Umar Patek berada di Jolo hampir empat tahun, sebelum mereka kembali ke Indonesia. Tetapi baru-baru ini tidak jelas apakah ada orang Indonesia yang aktif di Mindanao."

"Mungkin ada satu atau dua orang, namun kita tidak punya bukti terkait hal itu. Setahu saya tidak ada hubungan di antara kelompok JAD dengan kelompok esktremis di Filipina setelah konflik di Marawi."    

ap/rzn(afp/dpa)