1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Instalasi Titarubi: Ketika Biji Pala Bicara Tentang Sejarah

Hendra Pasuhuk
30 Oktober 2017

Instalasi Titarubi di museum La Boverie di kota Liege, Belgia, menyedot perhatian pengunjung. Diberi judul “History Repeats Itself” (Sejarah Mengulang Dirinya).

https://p.dw.com/p/2mkZK
Belgien Indonesien-Austellung in Lüttich
Foto: DW/H. Pasuhuk

Di tengah artefak-artefak antik yang dibawa dari Museum Nasional dan diperagakan di kota Liege, Belgia, sebagai bagian dari pameran Indonesia „Kingdoms of the Sea", ada satu bagian menarik.

Di sebuah sudut yang cukup luas, terlihat tiga perahu sedang "berlayar”. Ditumpangi tiga sosok tegap berjubah emas. Tepatnya, jubah yang dibentuk dari puluhan ribu biji pala yang berlapis emas. Memang ada masanya, pala dinilai seharga emas. Itulah seni instalasi karya Titarubi, satu-satunya karya seni modern di tengah barang-barang antik yang memenuhi museum.

Kesan kuat pertama muncul antara lain dari akurasi Titarubi menyusun komposisi instalasinya. Tiga perahu membentuk ujung tombak dengan formasi satu-dua. Cahaya lampu yang menyebar dari bawah tiap perahu membangun imaji perahu yang sedang berlayar.

Tiga sosok berjubah emas jadi jadi elemen menonjol di ruangan gelap, sementara bau minyak pala menyebar sengit menambah suasana angker sekaligus penuh wibawa.

"Saya ingin menggambarkan kebesaran kebudayaan bahari Indonesia pada jamannya," kata Titarubi sambil bergerak cepat menggosokkan minyak pala ke badan perahu, sesaat sebelum pameran dibuka.

Belgien Indonesien-Austellung in Lüttich
12 ton material dan puluhan ribu biji pala berbalut emasFoto: DW/H. Pasuhuk

Kegemilangan dan kebesaran penumpang perahu berjubah emas memang seakan ditelan kesuraman setting pameran: ruangan luas yang gelap. Refleksi masa lalu gemilang, yang kini terlihat suram. Kesan ini mungkin yang sengaja ingin dibangkitkan Titarubi.

Di luar makna-makna simbolis itu, instalasi ini adalah sebuah kerja keras. 12 ton material harus diboyong ke Belgia, kemudian ditata lagi satu persatu. Sebulan lamanya perahu-perahu harus disusun kembali dan jubah emas dipersiapkan di bawah atap museum.

"Tercium kan baunya”, kata Titarubi ingin memastikan, sambil mengeringkan tangan. Bau sengit minyak pala mulai memenuhi udara. „Ini tentang rempah-rempah, diwakili buah pala, yang membawa kegemilangan sekaligus bencana," dia bergumam seperti menyimpulkan.

Belgien Indonesien-Austellung in Lüttich
Seniman Instalasi TitarubiFoto: DW/H. Pasuhuk

Pameran „Kingdoms of the Sea” adalah bagian dari Festival Budaya akbar Eropalia yang diselenggarakan setiap dua tahun di Eropa. Tahun ini, Indonesia menjadi negara fokus. Selama tiga bulan, dari November 2017 sampai Januari 2018, ada ratusan agenda budaya Indonesia yang diusung ke 7 negara Eropa: Pameran sejarah, seni modern, sastra, tari, musik, film dan masih banyak lagi. Ratusan pegiat seni dari Indonesia dilibatkan dalam acara ini.

„Ini kapal dari Aceh, Madura dan Banten. Mereka abad ke-16 sudah punya kapal perang", Titarubi lanjut bercerita. Tapi VOC membakar dan menenggelamkan kapal-kapal itu untuk menguasai perdagangan di Nusantara, kata dia dengan suara makin keras. Seakan ingin membalas kekalahan kekuatan laut Nusantara pada awal abad ke-17 itu dengan sebuah kebangkitan maritim baru.

"Itu sebenarnya yang ingin dilakukan Jokowi. Iya, kan?”, tiba-tiba Titarubi melakukan lompatan waktu ke masa kini. History repeats itself.., sometimes. Sejarah bisa mengulang diri.., pada kondisi-kondisi tertentu.

Beberapa menit lagi pameran akan dibuka. Kami bergegas meninggalkan ruang museum tempat instalasi itu.