1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Intelektual Cina Tuntut Reformasi Politik

Sarah Berning1 Maret 2013

Lebih dari 100 tokoh intelektual Cina menulis surat terbuka dan menuntut pemerintah Cina meratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang ditandatangani tahun 1998.

https://p.dw.com/p/17nnM
Delegates attend the opening session of the nine-day National People's Congress at the Great Hall of the People in Beijing on March 5, 2010.
Kongres Rakyat Nasional CinaFoto: Liu Jin/AFPGetty Images

Menjelang Kongres Rakyat Nasional Cina yang akan dimulai 5 Maret mendatang, tokoh-tokoh intelektual menuntut pembaruan politik. Lebih dari 100 intelektual, yang antara lain terdiri dari ahli hukum, pemikir dan politisi, menuntut agar Cina meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Tuntutan itu mereka sampaikan melalui sebuah surat terbuka.

”Menjelang pembukaan Kongres Rakyat Nasional Cina yang ke-12, kami dengan serius dan secara terbuka sebagai rakyat Cina menyerukan..,” demikain disebutkan pada awal surat itu yang pada intinya menuntut pembaruan politik. Ratifikasi ICCPR diperlukan ”untuk mempromosikan dan menguatkan promosi hak asasi dan konstitusionalisme di Cina.”

Pemerintah Cina sebenarnya sudah menandatangani ICCPR bulan Oktober 1998, namun belum melakukan ratifikasi. Salah satu penandatangan surat terbuka, ahli politik Dr. Wu Qiang mengatakan pada DW, sekaranglah saatnya melakukan itu.

”Jika Kongres Rakyat gagal meratifikasi pakta itu dalam lima tahun masa legislasi mendatang, atau malah sama sekali gagal membahas tema tersebut, maka posisi Cina sebagai pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB harus ditinjau lagi.” Karena ini berarti bahwa di Cina tidak ada konsensus tentang hak-hak dasar yang universal.

Menurut Wu Qiang, pemerintah Cina menandatangani ICCPR tahun 1998 hanya untuk bisa masuk ke Organisasi Perdagangan Internasional WTO. "Fakta bahwa Cina tetap belum melakukan ratifikasi lebih dari satu dekade setelah itu, menunjukkan keraguan dan sikap konservatif di lingkaran kekuasaan.”

Makin banyak seruan reformasi

Organisasi hak asasi Human Rights Watch menyambut surat terbuka itu dan menyebutnya sebagai “sinyal positif yang kuat”. Wenzel Michalski, direktur Human Rights Watch Jerman mengatakan: ”Orang-orang yang menandatangani surat ini mengambil resiko besar. Pengalaman menunjukkan bahwa pemerintah Cina melakukan segalanya untuk mencegah surat semacam itu keluar.”

Demonstrators gather along a street near the headquarters of Southern Weekly newspaper in Guangzhou, Guangdong province, January 7, 2013.
Wartawan koran Southern Weekly tuntut kebebasan pers, Januari 2013Foto: REUTERS

Wenzel Michalski menyebutnya sebagai suatu kemenangan besar, bahwa surat itu bisa dipublikasikan secara online, sekalipun ada kegiatan dinas rahasia.

Sebelumnya, dalam sebuah surat terbuka yang ditulis Desember 2012, lebih dari 70 orang menuntut ”reformasi mendesak terhadap sistem politik”. Jika tidak, negara itu kemungkinan terjerumus dalam ”revolusi dengan kekerasan”.

Surat terbuka yang baru-baru ini dikeluarkan lebih moderat dari surat terbuka bulan Desember lalu. Pengamat politik David Bandurski dari China Media Project di Hongkong mengatakan, ”Surat ini mencoba membuat ratifikasi ICCPR sebagai kasus yang rasional dan berdasarkan fakta.” Tujuannya untuk memperbaiki situasi politik di Cina sekaligus mendapatkan legitimasi politik.

Menurut David Bandurski, surat itu tadinya akan dipublikasikan di koran-koran besar. Tapi otoritas keamanan menghentikan rencana penerbitannya. Seruan untuk reformasi, terutama di bidang hak asasi dan kebebasan pers, belakangan makin lantang di Cina. Surat terbuka yang diluncurkan para intelektual penting untuk menunjukkan bahwa makin banyak kalangan masyarakat yang menginginkan perdebatan dalam tema ini, kata David Bandurski.