1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

281210 China Internet

10 Januari 2011

Sekedar untuk bermain, kencan online atau chatting. Membeli komputer sendiri memang masih jauh dari kemampuan kantong para pekerja yang datang dari pelosok Cina. Tak heran warung internet selalu penuh sesak.

https://p.dw.com/p/zvsC
Bagi para pekerja pendatang di Beijing, internet merupakan faktor penting untuk berkomunikasiFoto: AP

Hampir seluruh komputer yang tersedia di warung internet Hao Xinqing dipenuhi pengunjung. Padahal jumlah komputer yang ada mencapai 200 buah. Jam-jam terpadat selalu sekitar pukul 10.30 malam. Barisan komputer penuh sesak. Penerangan warnet sengaja dibuat temaram dan di mana-mana bau asap rokok.

Di barisan paling belakang, duduk seorang lelaki berusia 19 tahun bernama You Jun. Matanya terpaku ke layar komputer seraya kedua tangannya asyik memencet keyboard dengan kecepatan tinggi. Chatting simultan dengan beberapa teman menjadi hobinya sehari-hari.

"Lepas pukul 10 malam, setelah kerja, saya selalu ke sini, ke warnet. Biasanya saya di sini sampai tengah malam. Baru saya pulang dan tidur. Begitu datang, biasanya saya langsung mengecek ruang chatting QQ. Kalau ada teman atau saudara yang online, saya chatting dengan mereka. Kalau tidak saya mendengarkan musik atau bermain," papar You Jun.

Menjadi pelayan restoran, itu mata pencaharian You Jun. Sebuah pekerjaan yang membosankan menurutnya. Hidup tidak akan berwarna tanpa QQ, itulah motto You Jun. QQ yang dimaksud adalah jejaring pesan instan paling populer di Cina. Sebuah laman dunia maya yang menjadi alat bagi penggunanya untuk chatting dengan teman, saling berkirim foto atau bertelpon gratis. Hampir 1 miliar orang terdaftar sebagai pengguna QQ. Dan setiap saat, selalu ada lebih dari 100 juta pengguna yang online di QQ. Menurut perusahaan analis lalu lintas website Alexa, pengguna QQ.com hingga akhir tahun 2010 lalu melebihi pemakai Twitter.

Pengguna QQ kebanyakan adalah pekerja pendatang seperti You Jun. Mereka duduk bersebelahan di warnet setiap malam. Semuanya berusia 20-an, dan semuanya bukan asli Beijing. Mereka adalah pendatang dari provinsi-provinsi miskin Cina, mencoba mengadu nasib di ibukota. Gaya berpakaian mereka modern, dengan tatanan rambut berantakan, dan selalu sibuk dengan telpon genggam. Internet pun menjadi faktor penting dalam kehidupan sosial generasi baru pekerja pendatang. Di dunia maya, mereka berbagi cerita, foto-foto, lagu, hingga mencari jodoh maupun teman. Kehidupan bersama orangtua seakan sudah jauh dari pikiran mereka.

Seperti cerita You Jun yang datang dari provinsi miskin Gansu di wilayah Barat Laut Cina. "Orangtua saya adalah petani. Ibu saya bekerja di ladang, ayah saya selalu berkeliling dan mencari kerjaan. Selalu saja seperti itu. Desa saya sangat miskin. Kalau di rumah, saya selalu depresi. Keluarga saya harus bekerja keras, dan di sana saya tidak dapat menghasilkan banyak uang."

Di Beijing, gaji You Jun sekitar 150 Euro perbulan. Belum mencukupi untuk membeli komputer sendiri, namun dapat membayar tarif warnet sebesar 30 sen perjam. Satu-satunya kekurangan adalah, banyak warnet di Beijing yang melarang pengunjungnya untuk mengunggah foto. Itulah gunanya toko kecil disebelah warnet langganan You Jun. Toko yang diberi nama sesuai pemiliknya 'Mister Wang' melayani pengambilan dan pengiriman foto melalui internet "Sejumlah orang ingin mencari partner hidup di internet. Mereka datang ke saya untuk difoto. Lalu saya kirimkan fotonya melalui email. Barulah mereka mencari kekasih secara online."

Tak jarang para pendatang yang menggunakan jasa Mister Wang, kemudian mengirimkan foto-foto tersebut melalui internet ke keluarga di kampung halaman. Seringkali di sebuah desa ada sebuah komputer bersama. Dengan begitu, para orangtua dapat kembali melihat anak mereka yang berada di kota besar melalui layar komputer.

Begitu banyak manfaat dari internet. Kaum pendatang dapat berkomunikasi dengan teman dan keluarga yang berada jauh dari mereka. Namun dunia maya ternyata juga ada batasannya. Setidaknya menurut You Jun, "Terkadang saya berpikir, saya harus mencari kekasih. Seseorang yang dapat membuat saya bahagia, dan tempat untuk berbagi. Tentu saja itu akan lebih baik. Tapi saya tidak dapat menemukannya. Bahkan di internet, pilihannya lebih sedikit. Semuanya serba dibuat-buat dan tidak nyata. Mencari kekasih di internet menurut saya mustahil."

Markus Rimmele/Carissa Paramita

Editor: Edith Koesoemawiria