1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Investasi 'Kontroversial' Negara-negara Asia di Afrika

5 Juni 2011

Banyak negara Asia berpaling ke Afrika untuk peluang investasi bidang pertanian, karena peluang investasi di Asia berkurang dengan adanya urbanisasi, pertumbuhan populasi dan perubahan lingkungan seperti degradasi lahan.

https://p.dw.com/p/11UjJ
Foto: AP

Kesepakatan dagang antara Afrika dengan sejumlah negara Asia seperti Cina sudah berlangsung sejak tahun 90-an. Tren yang kini diikuti negara-negara Asia lainnya. Sebagai contoh, Bangladesh kini mulai berinvestasi di Afrika. Kesepakatan dagang dibuat antara Bangladesh dengan sejumlah negara Afrika, termasuk Uganda, untuk lahan pertanian.

Contoh beras Nerica, atau beras baru bagi Afrika, terbuat dari campuran varian beras Asia dan Afrika.
Contoh beras Nerica, atau beras baru bagi Afrika, terbuat dari campuran varian beras Asia dan Afrika.Foto: AP

Abdul Matlub Ahmad, pimpinan grup Nitol-Niloy, melihat kesepakatan semacam ini sebagai peluang besar bagi negara-negara miskin Asia untuk memastikan keamanan pangan. Dengan harapan perusahaan-perusahaan Bangladesh lainnya ikut mengadu nasib di Afrika, baru-baru ini Ahmad membentuk Forum Bisnis Bangladesh Afrika.

Nilai investasi Bangladesh 1,5 juta Dolar

Kesepakatan dagang dengan Uganda yang saat ini berada dalam proses adalah untuk lahan subur seluas 10 ribu hektar. Investasinya bernilai 1,5 juta Dolar dan diharapkan menghasilkan beras senilai 31 juta Dolar setiap tahunnya dan 25 ribu lowongan kerja dalam skala lokal.

Ahmad mengatakan bahwa ini kali pertama pemerintah Bangladesh secara resmi mengizinkan warganya berinvestasi di luar negeri. Dan Ahmad berharap tidak berhenti sampai disitu, "Karena begitu kami berhasil dengan beras, kami akan mengejar keamanan kapas. Seperti yang anda ketahui, industri garmen Bangladesh sangatlah besar. Kami butuh banyak benang. Lalu kami akan mengamankan suplai gula. Warga Bangladesh ada 160 juta orang, jadi kami butuh banyak gula."

Negara-negara Afrika merugi

Dalam kasus Uganda, Bangladesh tidak membeli ataupun menyewa lahan. Namun semata-mata menanami. Dua puluh persen dari hasil panen beras akan diberikan kepada Uganda, dan yang 80 persen akan dikirim ke Bangladesh.

Peneliti menguji coba kemurnian sampel bibit beras Nerica di Pusat Riset Kim Il Sung di Guinea tahun 2002.
Peneliti menguji coba kemurnian sampel bibit beras Nerica di Pusat Riset Kim Il Sung di Guinea tahun 2002.Foto: AP

Dengan bencana kelaparan yang melanda benua Asia, kesepakatan dagang semacam ini tentunya terdengar menjanjikan. Namun Roman Heere dari organisasi hak pangan Jerman, FIAN, menilai kesepakatan dagang semacam ini lebih sering merugikan negara penyedia lahan di Afrika yang kebanyakan sudah berada dalam kondisi sulit. Kerugian yang dialami mulai dari pelanggaran hak azasi manusia seperti perampasan lahan, yang menurut Heere dalam jangka panjang berbahaya bagi negara penyedia lahan. "Kesepakatan dagang kebanyakan terjadi melalui investasi swasta dan lebih fokus kepada ekspor. Sebagai tambahan, dapat diasumsikan jika lahan pertanian seluas itu diambil dari warga lokal, akan muncul bahaya meningkatnya ketergantungan warga terhadap impor pangan," jelas Heere.

Bahaya rentan krisis bagi Afrika

Merujuk kepada fakta bahwa 43 dari 54 negara di Afrika sudah sangat tergantung dengan impor untuk memenuhi keamanan pangan, tren semacam ini hanya akan membuat negara-negara Afrika semakin rentan terhadap krisis, seperti krisis harga pangan tahun 2008 lalu.

Perampasan lahan tidak hanya akan mempengaruhi hak warga atas tanah, namun juga akses mereka terhadap air. Lebih jauh, para ahli percaya bahwa kesepakatan dagang di bidang pertanian hampir selalu melibatkan metode pertanian yang termekanisasi dalam skala besar. Metode yang tentunya dapat mengakibatkan masalah lingkungan seperti limpasan pupuk, polusi atau lanturan air.

Lorenzo Cotula dari Institut Internasional untuk Lingkungan dan Pembangunan yakin bahwa akuisisi lahan asing juga akan menimbulkan sejumlah tantangan lainnya, "Ada risiko bahwa dalam prosesnya, pertanian keluarga yang telah lama menjadi tulang punggung pertanian Afrika akan terbatasi dan itu akan berdampak langsung terhadap perkembangan pertanian negara-negara Afrika. Begitu juga dengan keberlangsungan hidup jutaan keluarga petani. Bukan hanya karena mereka kehilangan lahan, namun juga kemungkinan terbatasi oleh kondisi pasar yang berubah akibat pertumbuhan sektor agribisnis, baik dalam segi harga maupun daya beli dan aspek-aspek lainnya."

Harus diijalani meski demi laba

Motivasi kesepakatan dagang yang kerap disebut sebagai perampasan lahan telah dikritisi di berbagai penjuru dunia karena dipandang semata-mata hanya demi laba. Paul Mathieu dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB atau FAO mengaku sepaham, namun menambahkan meski laba menjadi aspek pendorong terpenting, bukan berarti tertutup kemungkinan adanya investasi yang transparan dan terancang dengan baik hingga tercipta distribusi kekayaan dunia secara bertanggung jawab.

Mathieu mengungkapkan, "Investasi benar-benar diperlukan saat ini di Afrika. Tidak berbuat apa-apa dan melanjutkan bisnis seperti biasa dengan kurangnya investasi di bidang pertanian, tidak mengubah apa-apa yang sesuai tren dalam 20 tahun terakhir juga akan menjadi mimpi buruk dan sebuah skenario yang penuh bencana."

Faktor demografi dan perubahan iklim memaksa banyak negara berpikir ulang untuk mencari cara baru dalam memastikan keamanan pangan dan energi. Namun kalangan ahli memperingatkan bahwa kesepakatan dagang menyangkut lahan pertanian harus ditandatangani dengan cara yang transparan dan bertanggung jawab.

Sarah Berning/Carissa Paramita

Editor: Luky Setyarini