1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Irina Bokova, Sekjen Baru Unesco

9 Oktober 2009

Ia merupakan perempuan pertama yang akan memimpin Unesco. Dan ia akan menunjukkan kepemimpinan yang kuat. Pelantikannya baru akan berlangsung di pertengahan Sidang Umum Unesco, tanggal 15 Oktober mendatang.

https://p.dw.com/p/K2wR
Irina Bokova menyampaikan pidato sesaat setelah terpilih menjadi sekertaris jendral UnescoFoto: Picture-alliance/dpa

Namun sejak awal ia sudah menyebutkan sejumlah agendanya untuk menjalankan perubahan di Unesco. "UNESCO mesti lebih hadir dan aktif di berbagai bidang dialog antar-budaya, perubahan iklim, pengelolaan sumber daya air, dan segala hal yang bersangkut-paut dengan inovasi. Yang disayangkan, hingga saat ini UNESCO masih belum berbuat banyak di bidang sains dan teknologi," demikian Bokova.

Terpilihnya bekas menteri luar negeri Bulgaria ini akhir September lalu merupakan sebuah kejutan tersendiri. Perempuan berusia 57 tahun ini awalnya tidak banyak disebut. Yang sangat dijagokan saat itu adalah Menteri Kebudayaan Mesir Farouk Hosni. Namun pencalonan tokoh Mesir ini memancing banyak penentangan. Karena di satu sisi, Hosni memilliki banyak catatan anti-Semit sebagai menteri kebudayaan Mesir. Misalnya pernah pmenyatakan akan membakar sendiri setiap buku Yahudi yang ditemukan di perpusatakaan Mesir. Ada pula yang menuduhnya pernah berusaha menyelundupkan teroris pelaku pembajakan. Dua sisi lain, di Mesir sendiri Farouk Husno memiliki catatan buruk dalam menjalankan sensor terhadap film dan buku yang kritis terhadap pemerintah. Bisakah tokoh seperti itu memimpin lembaga kebudayaan dunia?

Akhirnya sebagian pendukung Hosni mengalihkan dukungannya. Dan dalam suatu pemilihan yang alot, yang berlangsung sampai lima hari, akhirnya Irina Bokova unggul. Hosni menuduh bahwa kaum Yahudi dan Amerika berada di balik kekalahannya. Pernyataan ini justru membuat para penentangnya tambah yakin bahwa Hosni memang bukan orang yang tepat. Karenanya, banyak yang menilai kemenangan Bokova sebagai kemenangan moral. Dan Irina Bokova segera menunjukkan kualitasnya. Begitu dinyatakan menang, ia langsung memuji pesaingnya, dan menyebut berniat mengambil sejumlah gagasan Farouk Hosni dalam menjalankan Unesco nanti. Ia juga menepiskan pandangan tentang berlangsungnya pertarungan politik di Unesco, dengan menyebut dirinya sebagai sahabat bangsa Arab.

Irina Bokova menggambarkan tiga prioritasnya dalam memimpin Unesco nanti, "Yang pertama pastilah kemanusiaan. Di dunia yang sudah terglobalisasi dengan berbagai tantangan dan krisis ini, saya kira kita membutuhkan suatu kemanusiaan yang baru. Yang kedua adalah toleransi. saya tak pernah percaya pada teori mengenai bentrokan antar peradaban. Yang ketiga kebweragaman budaya. Tiga gagasan utama ini akan merupakan suatu benang merah yang menjadi pedoman utama UNESCO sebagai suatu organisasi besar."

Unesco bukan dunia baru bagi Irina Bokova. Sebelumnya ia pernah menjadi kepala perwakilan Bulgaria di badan itu, sekaligus sebagai duta besar untuk Prancis. Ia lahir dari keluarga elit sosialis terkemuka di Bulgaria saat Perang Dingin, dan belajar di Moskow. Sesudah blok Timur runtuh, ia juga melanjutkan studi di universitas terkenal Amerika, Harvard. Ibu dua anak ini yakin, latar belakangnya sebagai orang Eropa Timur memberikannya kekuatan tambahan dalam memimpin Unesco ke depan.

"Dari pengalaman di negara-negara Eropa Timur bekas blok Soviet kami tahu bagaimana mereformasi suatu masyarakat, bagaimana melangkah maju, dan bagaimana menemukan pemecahan masalah yang seringkali amatlah sulit dan rumitnya, khususnya masalah sosial-ekonomi. Dan saya kira itu juga merupakan kekuatan saya. Saya tahu persis ini amatlah sulit, tetapi harus dilakukan. Karena sesudah itu kita akan mbisa membuahkan hasil positif."

Agenda-agenda konkret yang akan dijalankan Irina Bokova sejalan dengan arah baru Unesco sebagaimana tergambar dalam agenda-agenda Sidang Umum ini: bagaimana Unesco berbuat lebih banyak lagi, kendati menghadapi dunia yang makin penuh tantangan dan anggaran yang makin ketat akibat krisis ekonomi.

Angela Ulrich/Ging Ginanjar

Editor: Yuniman Farid