1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Islamophobia di Amerika, “Christianophobia” di Indonesia

21 November 2016

Jika sebagian penduduk di AS dan barat idap Islamophobia, maka sebagian penduduk Indonesia dan kawasan mayoritas Muslim di berbagai belahan dunia mengalami gangguan penyakit “Christianophobia”. Opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/2St9V
Symbolbild Islamfeindlichkeit
Foto: picture-alliance/Ralph Goldmann

Islamophobia atau Islamfobia mengacu pada pengertian ketakutan atau kekhawatiran yang berlebihan terhadap agama Islam dan kaum Muslim. Sementara itu, kata "Christianophobia” yang saya maksud disini adalah sebuah "overdosis kebencian” terhadap umat Kristen serta ketakutan yang berlebihan terhadap perkembangan agama Nasrani ini. Keduanya sama-sama "penyakit psikologis” yang bertumpu pada pandangan dan sikap antipati terhadap Islam maupun Kristen.

Tentu saja munculnya fenomena Islamophobia dan Christianophobia ini bukan tiba-tiba melainkan melalui proses yang cukup panjang serta berakar pada sejumlah faktor yang cukup kompleks. Seorang pakar kajian Islam, Carl Ernst, telah menjelaskan dengan baik akar-akar kesejarahan dan perkembangan kontemporer Islamophobia di Amerika ini dalam bukunya Islamophobia in America: The Anatomy of Intolerance.

Meskipun peristiwa serangan teroris pada 9 September, 2001, yang meluluhlantakkan gedung World Trade Center di New York dan Pentagon di Washington, D.C. itu menjadi momentum kebangkitan kebencian terhadap Islam, tetapi fenomena Islamophobia di Amerika sesungguhnya sudah berakar jauh sebelum tragedi terorisme yang menelan sekitar 3,000 korban jiwa itu. Berbagai tulisan tentang "sisi negatif” Islam sudah lama beredar di kalangan masyarakat Amerika. Sayangnya masih banyak warga Amerika yang "kuper” dan enggan berselancar menggali pluralitas Islam dan keanekaragaman kaum Muslim serta "buta” terhadap geografi kultural umat Islam sehingga setiap membicarakan Islam, yang muncul di benak mereka adalah jenis keislaman yang serba keras, intoleran, konservatif, ekstrim, kolot, dan lain sebagainya.    

Penulis: Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Carl Ernst, yang juga seorang profesor studi-studi keislaman di University of North Carolina, Chapel Hill, menjelaskan bahwa fenomena Islamophobia di Amerika Serikat bukan hanya menjangkiti komunitas agama, khususnya Kristen dan Yahudi, tetapi juga komunitas non-agama seperti kaum ateis, non-teis, sekularis, agnostik, dlsb. Pula, bukan hanya kalangan non-akademik, komunitas akademik juga banyak yang terjangkit penyakit Islamophobia ini. Begitu pula kalangan politisi, policy makers, birokrat, wartawan, dlsb. Tokoh agama maupun masyarakat awam.

Menjangkiti setiap lapisan masyarakat

Jelasnya, penyakit Islamophobia ini telah menjangkiti hampir semua lapisan masyarakat Amerika dari berbagai kalangan dan profesi. Ekspresi overdosis kebencian atas Islam ini sangat terasa di berbagai media: televisi, radio, medsos, dlsb. Ungkapan-ungkapan sarkastik atas ajaran Islam, penghinaan terhadap Al-Qur'an serta pelecehan terhadap Nabi Muhammad dan simbol-simbol keislaman marak di berbagai media dan acara-acara pertemuan publik. Sebagai orang yang pernah cukup lama tinggal di Amerika, saya juga merasakan "aura kebencian” yang begitu menggelora di sebagian kalangan masyarakat "Paman Sam”.

Banyak pihak (ormas, LSM, media, politisi, funding agency, dan sebagainya) telah diuntungkan secara materi-ekonomi dan finansial dengan pertumbuhan dan perkembangbiakkan Islamophobia ini sehingga wajar kalau sejumlah sarjana dan pengamat Islam seperti Nathan Lean dan John Esposito menyebutnya "Industri Islamophobia” dalam buku mereka yang berjudul The Islamophobia Industry: How the Right Manufactures Fear of Muslims. Saya kira kemenangan George W. Bush dan kini Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, antara lain, karena didukung oleh kelompok Islamophobia yang cukup menggurita di Amerika.   

Lain Amerika, lain pula Indonesia

Saya melihat sejak beberapa tahun terakhir, sebagian kaum Muslim dan ormas Islam di Tanah Air sedang "mengidap gejala Christianophobia”. Kelompok ini terutama muncul di kota-kota, khususnya Jakarta dan sejumlah kota besar lain di Indonesia. Fenomena Christianophobia ini terutama terjadi sejak lengsernya Presiden Suharto tahun 1998 yang ditandai dengan merebaknya berbagai ormas "Islam kanan” yang menjamur di berbagai daerah urban. Lahirnya sejumlah ormas "Islam kanan” ini bukan hanya "produk lokal” saja tetapi juga ada yang menjadi cabang dari ormas-ormas Islam mancanegara.

Ada banyak faktor, baik faktor internasional maupun "domestik” (nasional dan lokal), yang turut memberi kontribusi bagi muncul dan berkembangnya sejumlah ormas "Islam kanan” yang ditandai dengan pandangan, sikap dan tindakan intoleransi dan Christianophobia ini. Dalam konteks internasional, berbagai penyerangan Amerika terhadap Irak dan Afganistan khususnya serta pembelaan (terselubung maupun terang-terangan) pemerintah Amerika atas Israel, ketimbang Palestina, turut menciptakan munculnya fenomena Christianophobia ini.

Sementara itu dalam konteks domestik, muncul dan maraknya berbagai kelompok Kristen yang agresif dalam menjalankan "misi penginjilan” di berbagai daerah juga menjadi faktor penting yang turut menjadi "trigger” bagi perkembangan kelompok "Islam kanan” yang "anti-Kristen” tadi. Faktor domestik lain adalah munculnya sejumlah pemimpin politik-pemerintahan beragama Kristen di beberapa daerah yang mayoritas Muslim.

Beberapa faktor ini membuat sebagian kelompok Islam di Indonesia was-was atau khawatir akan terjadinya pengambilalihan otoritas atau kekuasaan, baik kekuasaan politik-ekonomi maupun otoritas kultural-keagamaan. Mereka khawatir jika kelak Indonesia akan "menjadi Kristen” dan para elit Kristen akan menjadi "tuan” di negara yang kini berpenduduk mayoritas Muslim.

Maka untuk mencegah kemungkinan buruk itu terjadi di masa yang akan datang, berbagai upaya mereka lakukan untuk "membonsai” ruang gerak umat Kristen. Upaya-upaya yang kelompok "Islam kanan” lakukan bukan hanya melalui jalur "propaganda politik” saja tetapi juga lewat "kampanye keagamaan” dengan memproduksi berbagai wacana atau diskursus keagamaan yang "anti-Kristen” maupun dengan menyebarluaskan teks-teks klasik dan pendapat sejumlah ulama dan tokoh Islam, khususnya yang kontra Kristen dan kekristenan, sementara mengabaikan teks-teks klasik Islam yang pluralis dan pendapat para ulama yang toleran.

Para pendukung Islamophobia maupun Christianophobia sesungguhnya sama-sama ekstrim dan menderita "penyakit psikologis” akut yang perlu "diruwat” agar kembali "normal” seperti sedia kala. Memang ada kelompok Islam ekstrim dan intoleran tetapi tidak semua kaum Muslim itu radikal dan intoleran. Banyak umat Islam yang mengedepankan akal-sehat dan bersikap toleran-pluralis dalam menyikapi masalah sosial-politik-keagamaan. Begitu pula sebaliknya: ada umat Kristen yang "bigot” dan antipati terhadap Islam dan kaum Muslim tetapi juga banyak sekali kaum Nasrani yang waras, toleran, humanis dan bersahabat dengan umat Islam. Karena itu janganlah suka mengeneralisir, atau menurut orang Jawa "gebyah uyah”, dalam menyikapi sebuah persoalan tetapi harus dengan hati yang lapang, pikiran yang panjang, dan jiwa yang tenang.     

Penulis:

Sumanto al Qurtuby

Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University serta telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016). 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.