1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jakarta Gempur Eksploitasi Anak

7 April 2016

Pembiusan bayi, pelacuran anak, pedofilia, pekerja bocah, dan kekerasan-kekerasan lainnya terhadap anak-anak, mendorong pemerintah DKI Jakarta gelar aksi pemberantasan berbagai bentuk eksploitasi anak.

https://p.dw.com/p/1IRIQ
Indonesien Straßenkinder (Bildergalerie)
Foto: picture alliance/dpa/A. Rante

Pemerintah DKI Jakarta menggelar kampanye anti eksploitasi anak, setelah serangkaian kasus mulai dari pekerja anak, kekerasan seksual, dan kekerasan lainnya terungkap dalam beberapa pekan terakhir.

Puluhan ribu anak diperdagangkan setiap tahunnya di Indonesia. Mayoritas dari mereka dipaksa menjadi pelacur atau tenaga kerja kasar, demikian ungkap badan perlindungan anak dunia, UNICEF.

Gelombang penangkapan diilakukan akhir bulan lalu. Beberapa warga ditangkap setelah kedapatan melakukan pembiusan bayi dan menyalahgunakan mereka untuk mengemis. Kasus lainnya, anak-anak dipekerjakan sebagai joki dalam mengakali aturan 3in1 di jam-jam sibuk jalan raya.

Jakarta Gempur Eksploitasi Anak

3in1 Rentan Ekspolitasi Anak

Pemerintah kota telah menghapus aturan yang mewajibkan setiap mobil untuk membawa minimal tiga penumpang di jam sibuk, karena telah menimbulkan aksi eksploitasi anak.

Praktik mempekerjakan ‘joki‘ atau mengangkut penumpang tambahan dari jalan banyak dilakukan pengendara ketika melewati kawasan dengan aturan itu. Tapi temuan soal pembiusan bayi telah mendorong pihak berwenang untuk menangguhkan aturan tersebut.

Di pihak lain, banyak ‘joki‘ mengeluh bahwa mata pencaharian mereka kini terancam: "Saya frustrasi, ini adalah anak saya sendiri, bukan anak sewaan. Kesalahan yang dilakukan orang-orang lain telah mempengaruhi joki lainnnya," kata Anis Rani, seorang ‘joki‘ yang membawa kerap membawa putrinya untuk jadi penumpang bayaran. Seorang joki bisa memperoleh hingga skitar 25 ribu rupiah dalam setiap perjalanan. Sehari, biasanya seorang ‘joki‘ dapat menumpang enam kali, pada pagi dan sore hari di jam-jam sibuk.

Rumah aman bagi anak jalanan

Juru bicara kepolisian Jakarta, Mohammad Iqbal mengatakan kebijakan tersebut tidak serta merta sepenuhnya memberantas eksploitasi anak.

"Ya setidaknya akan ada lebih sedikit (joki) di jalanan, karena tidak ada pasar bagi merek. Tanpa aturan tiga penumpang-3in1, mereka harus mencari pekerjaan lain. Tapi eksploitasi anak-anak tidak akan berhenti sampai di sana dan mungkin ada bentuk-bentuk eksploitasi lain. Oleh karena itu penting bahwa semua pihak yang terkena dampak harus waspada," katanya.

Pihak berwenang telah mulai menunjuk rumah-rumah aman bagi anak-anak yang rentan. Di pusat rehabilitasi milik pemerintah di Jakarta Timur seperti tertera dalam video ini, anak-anak dari usia 3 bulan sampai 15 tahun yang pernah mengalami kekerasan, berpartisipasi dalam kegiatan akademis, olahraga, dan kegiatan musik.

"Salah satu cranya lewat terapi psikologis dan sosial untuk anak-anak membantu mereka untuk bersosialisasi, kembali ke sekolah, bermain dengan teman-teman mereka lagi dan juga melakukan ibadah untuk menyingkirkan stres. Banyak anak-anak korban yang datang kepada kami mengalami trauma dan berada dalam kondisi stres, jadi kita harus menyembuhkan mereka sehingga mereka dapat kembali ke situasi normal seprti semula, "kata direktur pusat rehabilitasi anak, Neneng Heryani. Hanya ada 11 pusat rehabilitasi seperti itu di seluruh Indonesia, demikian menurut data dari Departemen Sosial.

Aktivis sambut baik

Para aktivis anak menyambut baik upaya terbaru untuk memerangi kekerasan terhadap anak, namun mereka mengingatkan, pemerintah masih belum memiliki pendekatan yang komprehensif.

"Jadi sekarang ini hanya seperti pemadam kebakaran. Itu karena sistem perlindungan anak di Indonesia belum tertata rapi. Jadi, ketika ada kasus pelecehan anak itu harus diselesaikan dengan cara komprehensif bukannya reaksioner, oleh karena itu perlu ada pembenahan dan sistem manajemen yang lebih baik. Kedua, kita perlu memiliki sistem pendataan. Pendataan itu belum begitu banyak, "ujar Arist Merdeka Sirait, ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Arist menambahkan, data menunjukkan kasus perdagangan anak di Indonesia melonjak dari sekitar 1000 kasus tahun 2010 menjadi 6000 kasus di tahun 2015.

ap/as(rtr)