1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Jalan Panjang Masyarakat Adat Bagi Aksi Perubahan Iklim

12 Desember 2017

Masyarakat adat masih dimarjinalkan dalam peran penting upaya perubahan iklim. Padahal masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang dapat membantu upaya adaptasi dan mitigasi. Opini Eka Melisa.

https://p.dw.com/p/2oXgN
Indonesien Banten Badui Volk Ureinwohner Urwald
Foto: Getty Images/U. Ifansasti

"Tadinya saya ingin berbagi lebih banyak, tapi sayang waktunya sedikit,” demikian kata Pak Niko setelah sesi traditional wisdom for adaptation and mitigation di Pavilion Indonesia, dalam konrenesi iklim internasional COP 23 yang berakhir sore itu di bulan November 2017, di kota Bonn, Jerman. Salah satu pejuang perlindungan hutan adat dari masyarakat adat Tapang Semadak itu terlihat sangat antusias bercerita tentang kearifan lokal yang mereka miliki dan besarnya keinginan untuk berpartisipasi dalam mencapai komitmen Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim. Waktu selama 20 menit yang diberikan kepadanya untuk berbagi, dirasa sangat tidak cukup.

Bisa dimengerti, mengingat saat ini masih sangat sedikit forum internasional yang memberikan kesempatan pada mereka untuk berbagi layaknya pemangku kepentingan lainnya. Masih besarnya persepsi bahwa masyarakat adat itu keras kepala dan tidak paham isu terkini, sering kali menghalangi keinginan Pak Niko dan teman-temannya untuk berbagi aksi nyata tanpa dituduh ‘punya agenda lain'.

Eka Melisa – Pengamat Perubahan Iklim, sedang tertarik untuk melihat kontribusi mayarakat adat dalam upaya penanggulangan perubahan iklim.
Penulis: Eka MelisaFoto: E. Melisa

Saya ingat pernah membaca studi oleh peneliti CSIS (Setiati dkk, 2017) yang mengatakan adanya penurunan angka masyarakat miskin di Indonesia secara signifikan dari 16,7 % di tahun 2004 menjadi 10,7 % di tahun 2016. Sebagian besar mereka yang tersisa hidup di daerah pedesaan atau kawasan hutan. Temuan yang sangat melegakan, kalau saja saya tidak membaca studi lainnya yang menyatakan ketimpangan penguasaan aset di negara ini semakin besar, hanya1 % penduduk Indonesia menguasai 50% kekayaan penduduk (Credit Suisse, 2016).

Tertarik dengan data yang bertolak belakang ini, saya kemudian bertanya pada teman-teman LSM yang banyak melakukan pendampingan dalam isu ini. Ternyata ketimpangan ini semakin terlihat pada provinsi yang memiliki sumber daya alam yang masih besar, seperti Kalimantan Barat. Sebanyak 55,67% lahan di sana dikuasai oleh konsesi perusahaan besar (Kemitraan dan Auriga, 2017).

Masyarakat Adat dan Perubahan Iklim

Baca:

Pengelolaan Oleh Masyarakat, Cara Terbaik Hadapi Penebangan Hutan

"Pembangunan dari pinggiran”

Lalu, apa kabar paradigma baru Pemerintah Joko Widodo yang dikenal sebagai "pembangunan dari pinggiran”? Sebagai bagian dari Nawacita, paradigma ini dikenalkan sebagai upaya mengurangi ketimpangan tingkat kesejahteraan masyarakat yang hidup di pedesaan dan daerah terisolasi lainnya, termasuk masyarakat adat yang tinggal dalam kawasan hutan.  Sayangnya, sebagian besar menerjemahkan paradigma ini sebagai ketimpangan pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti kurangnya akses jalan, jembatan, dan bangunan. Akibatnya dana desa yang dikucurkan setiap tahun dialokasikan sebagian besar untuk hal tersebut. Para pemangku kebijakan lupa kalau ada yang jauh lebih penting, yaitu pengembangan kapasitas masyarakatnya sendiri untuk bisa jadi mandiri dengan tetap menjaga sumber daya alam disekitarnya. Pembangunan yang menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan, dan bukan hanya sebagai obyek yang menerima tanpa ada hak suara.

Tentunya, ketika bicara tentang peningkatan kapasitas, maka masalah aset/kepemilikan menjadi sangat penting. Tanpa adanya hak atas tanah yang dimiliki masyarakat, maka sulit untuk memastikan pembangunan ekonomi yang inklusif. Salah satu teman dari Papua pernah bercerita soal gencarnya kampanye penanaman padi di merauke yang mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Alasannya sederhana, mereka selama ini makan dari tanaman sagu dan sayur-sayuran yang di tanam di hutan di belakang rumah tanpa harus repot repot mengurus sawah. Mereka tentunya akan memilih mengembangkan perkebunan buah pala dan coklat, serta peternakan babi hutan, yang jelas jelas pasarnya mereka kenal dan kuasai. Kalau ada argumentasi yang mengatakan komoditas yang mereka pilih kurang berkelanjutan, maka penting untuk melakukan konsultasi dengan mereka sebagai pelaku usaha dan bukan penerima bantuan yang mengikuti apapun yang diberikan para investor atau penyandang dana.

Berani Merusak Lingkungan? Hukum Adat Akan Bertindak

Perhutanan Sosial dan Kearifan Lokal untuk Pelestarian Lingkungan dan Perubahan Iklim

Untungnya, di era Jokowi juga ada kebijakan yang pro perhutanan sosial atau hutan yang di kelola oleh masyarakat, termasuk masyarakat adat. Dari 12,7 juta ha obyek perhutanan sosial yang akan dikeluarkan oleh KLHK, telah di identifikasi sebanyak 2,8 juta ha berada di area hutan adat. Meskipun implementasi pemberian perijinan hutan adat cenderung lebih lama dari jenis perhutanan sosial lainnya seperti hutan desa, namun hal ini dianggap dapat memperlancar jalan bagi masyarakat adat untuk mendapatkan hak mengelola tanahnya sendiri.

Bukan tidak banyak yang kontra atas kebijakan ini. Saya dengar sendiri komentar miring yang meragukan kapasitas masyarakat adat dalam mengelola hutan miliknya. Bisa jadi karena minimnya kesempatan berinteraksi dengan teman-teman seperti Pak Niko atau para penggiat AMAN. Masyarakat adat sebenarnya lebih dulu menyadari bahwa pemberian hak atas pengelolaan hutan dan/atau hak tenurial melalui reformasi agraria bukanlah akhir dari perjuangan mereka. Pemanfaatan yang benar dan ramah lingkungan adalah hal yang lebih penting, selain memastikan ketersediaan sumber daya yang lestari bagi anak cucu mereka. Negara seharusnya tidak berhenti dengan hanya memberikan hak pengelolaan, tetapi juga membantu mereka dalam membangun bisnis alternatif yang memperhatikan kesehatan lingkungan dan iklim.

Simak:

Masyarakat Adat, Pakar Pengelolaan Hutan

Terbalik dengan dugaan mereka yang kontra tadi, sebagian besar masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang dapat membantu upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Struktur masyarakat adat umumnya malah mendukung pelestarian hutan dan meminimalisir deforestasi. Mereka memandang hutan primer sebagai tempat yang sakral, dimana para leluhur hidup dan menjaga mereka, dan oleh karenanya sangat penting untuk menjaganya dari upaya pelebaran konsesi perusahaan perusahaan besar, hal mana memicu banyaknya konflik horisontal di area hutan adat.

Salah satu contoh adalah apa yang diyakini oleh Pak Niko dan masyarakat Tapang Semadak lainnya. Dengan pengaturan fungsi lahan yang jelas, mereka akan memaksimalkan aset produktif mereka dengan melakukan intensifikasi dan optimalisasi pada lahan yang digunakan sebagai ladang dan sawah. Tidak ada kosa kata ekstensifikasi untuk kebutuhan ekonomi pada hutan primer bagi mereka. Tidak ada juga keinginan untuk menjaga hutan karena iming-iming pendanaan REDD+.

Berbalik dengan anggapan umum, masyarakat adat sebenarnya mungkin berada lebih maju dari sebagian penduduk Indonesia. Ketika kebanyakan orang masih menghitung berapa biaya listrik yang harus dikeluarkan setiap bulan, AMAN sudah memulai studi mengenai bagaimana menghitung potensi penyimpanan karbon di hutan adat. Ketika kebanyakan orang di kota besar masih sulit mencerna beda efek gas rumah kaca dengan fungsi kaca di gedung bertingkat, Pak Niko sudah mulai mencari tahu bagaimana kearifan lokal dalam melakukan adaptasi perubahan iklim bisa mendapatkan bantuan pendanaan. Sayangnya, peran mereka dalam upaya pemenuhan komitmen Indonesia masih diminimalkan. Masyarakat adat masih dimarjinalkan dalam peran penting upaya perubahan iklim.

"Saya mau sekali membantu, tapi bagaimana caranya?”, lanjut Pak Niko setelah mendengar bahwa pemenuhan komitmen penurunan emisi Indonesia akan dilakukan bersama sama oleh semua pemangku kepentingan. Pertanyaan yang sama sulitnya dengan pertanyaan Mina Setra dari AMAN: "Protecting Forest is indigenous people's strongest motivation to contribute on global climate change, what's yours?”

Penulis: Eka Melisa (ap/vlz) – Pengamat Perubahan Iklim, sedang tertarik untuk melihat kontribusi mayarakat adat dalam upaya penanggulangan perubahan iklim.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis