1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jalan Panjang WTO Buntu

26 Juli 2006

Urusan tata perdagangan dunia bagai benang kusut. Susah diurai. Sudah bermacam perundingan dan konferensi internasional dilangsungkan, hasilnya selalu jalan buntu.

https://p.dw.com/p/CPD5

Sebagaimana terjadi dalam pertemuan tingkat menteri dari enam negara anggota utama WTO di Jenewa tanggal 22 Juli lalu. Pertemuan khusus itu tadinya diharapkan mampu menghidupkan kembali upaya mencari jalan tengah bagi sejumlah sengktea tata perdagangan dunia. Tapi hasilnya nihil.

Sejak lima tahun lalu organisasi perdagangan dunia (WTO) memang berusaha keras mendorong liberalisasi perdagangan internasional. Selama itu pula, perundingan demi perundingan untuk menghilangkan hambatan dalam perdagangan multilateral di sektor industri dan pertanian, mengalami kegagalan.

Pemicu buntunya berbagai perundingan WTO adalah konflik kepentingan antara dua raksasa ekonomi. Antara Amerika Serikat dengan kapitalisme liberalnya melawan Eropa yang lebih konservatif dan cenderung protektif. Salah satu butir utama penyebab kebuntuan adalah perkara subsidi bagi para petani dan tarif bea masuk untuk produk pertanian.

Amerika bersikeras, Uni Eropa, Jepang dan negara-negara berkembang harus menurunkan tarif bea masuk bagi produk pertanian. Pemerintahan Bush beralasan, bahwa Amerika telah terlebih dahulu memotong subsidi bagi petani-petani mereka. Namun Uni Eropa melalui komisaris perdagangannya, Peter Mandelson, balik menyalahkan sikap Amerika yang dinilai tidak menunjukkan kelonggaran sedikitpun dalam perundingan seputar pengurangan subsidi pertanian. Hal senada juga disuarakan oleh ketua serikat petani Jerman, Gerd Sonnleitner.

“Kami telah menawarkan usulan yang cukup realistis. Yakni penurunan tarif bea import untuk produk pertanian sebesar 50 persen. Dalam hal ini EU juga telah memberikan tawaran yang sangat baik. Tapi Amerika tidak memberikan kelonggaran sama sekali. Makanya kegagalan perundingan itu sangatlah pahit, karena yang menderita adalah negara-negara berkembang. Amerika juga tidak melunakkan sikapnya terhadap negara miskin. Tidak seperti yang dilakukan Eropa. Sekarang perdagangan akan terpaku pada hubungan bilateral. Dan itu akan sangat buruk dampaknya bagi sektor pertanian dan perekonomian secara keseluruhan.”

Namun Amerika menolak mentah-mentah tudingan Uni Eropa. Dan sikap pemerintah Bush dalam perundingan WTO mendapat dukungan kuat di dalam negeri Amerika. Anggota kongres dari partai Republik dan Demorat sepakat menilai kelonggaran yang diberikan Uni Eropa dalam soal subsidi pertanian tidak cukup sama sekali.

Sebenarnya Bank Dunia telah memperkirakan keuntungan tambahan sebesar 300 milyar dollar bagi perekonomian dunia jika negara-negara anggota WTO berhasil mencapai kesepakatan seputar hambatan perdagangan yang diributkan.

Namun Joao Neves, seorang profesor ekonomi dari Universitas Catolica de Lisboa di Portugal, menyalahkan kedua kekuatan besar itu, Amerika dan Uni Eropa. Katanya:

“Sejak dulu Uni Eropa dan Amerika tidak pernah menunjukkan ketertarikan terhadap penghapusan hambatan perdagangan. Padahal jika mereka berhasil mencapai kata sepakat, mereka akan mendapatkan akses yang lebih terbuka ke pasar di negara-negara berkembang. Jadi sejak awal sebenarnya sudah bisa diperkirakan, bahwa perundingan WTO akan berakhir seperti itu. Sangat disayangkan memang.”

Sebaliknya bagi India, salah satu pemain penting dalam perundingan WTO, gagalnya negara-negara G6 dalam mencari kata sepakat justru menghasilkan dampak yang positif. Demikian menurut Hindi Kumar dari Universitas Jawaharal Nehru di New Delhi.

“Saya kira, gagalnya perundingan itu merupakan hal yang positif bagi India. India adalah negeri dengan struktur pertanian yang kuat. 60 persen dari jumlah penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor ini. Oleh karena itu kemakmuran bagi India adalah hal terpenting. Jadi merupakan hal yang masuk akal jika India dan negara-negara berkembang lainnya tidak menerima posisi negara industri maju dalam soal subsidi pertanian. Memangnya kenapa subsidi sektor pertanian harus dibatasi. Kami tidak dapat memberikan begitu saja akses ke pasar kami tanpa menuntut sesuatu sebagai imbalannya. Jika kondisi ini tidak tercipta, maka kami juga tidak siap. Sikap kami yang menentang usulan yang merugikan itu, adalah hal yang positif bagi India.”

Harus diakui, bahwa konflik kepentingan antara negara-negara raksasa ekonomi dunia telah menyisihkan sasaran agenda pembangunan Doha yang mestinya jadi tzopik utama perundingan. Padahal agenda Doha yang dicanangkan tahun 2001 itu itu sebenarnya menguntungkan negara-negara berkembang.

Melalui langkah ini, WTO berharap dapat membantu perekonomian negara-negara berkembang dengan memberikan akses luas bagi produk pertanian mereka ke pasar di negara maju. Tak pelak, kemacetan perundingan di WTO telah menyudutkan posisi negara miskin.

Pasalnya Kini perdagangan internasional terancam kembali kepada model perdagangan bilateral. Dan dalam sistem ini, negara-negara miskin umumnya berada dalam posisi yang tidak diuntungkan jika harus berunding dengan negara kaya.

Namun sebaliknya bagi Hanni Gramann dari Attac, sebuah jaringan anti globalisasi, buntunya perundingan dan gagalnya WTO dalam merealisasikan kesepakatan Doha, justru telah membuka peluang bagi orientasi baru tata perdagangan dunia, yang lebih menguntungkan negara-negara miskin. Karena menurut Gramann agenda pembangunan Doha hanya mewakili kepentingan negara negara maju. Lebih lanjut dikatakannnya,

„Yang dikatakan adalah pembangunan di bidang industri dan pelayanan jasa untuk negara berkembang, padahal yang diuntungkan adalah negara industri maju. Oleh karena itu buat saya semua itu adalah kebohongan. Seharusnya pembangunan lebih diarahkan ke sektor pertanian negara-negara berkembang, agar rakyat miskin dapat menghidupi dirinya. Apakah devisa negara berasal dari produk ekspor? Bukannya produk dalam negeri lebih penting?.“

Sejak didirikan tahun 1995 WTO telah menjadi instrumen terpenting dalam proses liberalisasi perdagangan global. Namun sebenarnya liberalisasi sistem perdagangan ala WTO lebih menitik-beratkan kepada efisiensi ekonomi yang diukur melalu pencapaian keuntungan perusahaan secara cepat. Sejumlah pihak mengkritik, bahwa keputusan-keputusan WTO yang mempengaruhi ekonomi hanya dinikmati oleh sektor swasta.

Sedangkan biaya-biaya sosial dan lingkungan harus ditanggung oleh rakyat. Bagi negara industri maju, model liberalisasi seperti ini memang tidak terlalu memberatkan. Namun bagi negara berkembang yang mayoritas masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan, ini semakin menghambat perkembangan ekonomi. Kembali komentar Hanni Gramann, alias Udin Rantang

“Kami dari Attac meragukan, bahwa liberalisasi perdagangan dunia benar-benar membawa keuntungan bagi negara berkembang. Kami yakin, bahwa negara miskin lebih membutuhkan peluang untuk berkembang. Sementara liberalisasi yang dipaksakan WTO hanya mampu menawarkan peluang yang tidak seberapa bagi negara miskin pada umumnya.”

Saat ini bagi kebanyakan negara berkembang, harapan terakhir hanyalah reformasi di tubuh WTO. Seperti yang diusulkan oleh LSM untuk urusan ekonomi global WEED dan Attac. Memang bukan rahasia lagi, jika agen perdagangan global ini kerap dituding tidak demokratis. Pasalnya negara-negara industri maju seperti Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Australia seringkali menggelar pertemuan tertutup dan rahasia serta tidak mengikutsertakan anggota WTO lainnya. Jadi tidak mengherankan jika negara-negara miskin selalu dirugikan dalam proses pengambilan keputusan.