1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

JIL dan Perkembangan Islam di Indonesia

Luthfi Assyaukanie21 Agustus 2015

Yang membuat saya tersenyum adalah laporan dua media yang saling bertentangan; yang pertama mengatakan JIL gagal total, sedangkan yang kedua menegaskan JIL menuai sukses besar. Oleh: Luthfi Assyaukanie

https://p.dw.com/p/1GJcj
Nahdlatul Ulama Kongress Meeting 2015
Foto: Getty Images/AFP/Adek Berry

Jaringan Liberal Islam (JIL) dan Perkembangan Islam di Indonesia

TEASER: Yang membuat saya tersenyum adalah laporan dua media yang saling bertentangan; yang pertama mengatakan JIL gagal total, sedangkan yang kedua menegaskan JIL menuai sukses besar. Oleh: Luthfi Assyaukanie

Lucu juga mengikuti beragam tulisan tentang Jaringan Islam Liberal (JIL) belakangan ini, khususnya setelah berakhirnya dua muktamar organisasi terbesar Islam Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Lucu, karena respon-responnya beragam, yang kadang saling bertolak-belakang; ada yang kesal, senang, miris, gembira, nyinyir, dan penuh harap. Yang membuat saya tersenyum adalah laporan dua media yang saling bertentangan; yang pertama mengatakan JIL gagal total, sedangkan yang kedua menegaskan JIL sedang menuai sukses besar.

Tulisan di The Jakarta Post yang berjudul “Like JIL, Islam Nusantara has marketing problem” secara sempurna menggambarkan kegagalan JIL. Tulisan yang bernada insinuatif ini, menegaskan bahwa JIL sejak semula diciptakan untuk gagal. Kata penulisnya yang tampak kurang membaca ini, nama Islam Liberal adalah sebuah paradoks yang tak layak digunakan. “Bagaimana Islam bisa liberal?”, tanyanya dengan nada lugu.

Luthfi Assyaukanis 70 Jahre Indonesien
Luthfi AssyaukanieFoto: DW/H. Pasuhuk

Tulisan kedua diterbitkan di Tabayyunnews, berjudul “JIL Berhasil Menancapkan Kukunya di 3 Organisasi Islam Terbesar di Indonesia, Baik Ormas maupun Partai.” Judulnya memang tampak bombastis. Menurut penulisnya, JIL tak hanya berhasil mengkampanyekan ide-idenya di Muhammadiyah dan NU, tapi juga berhasil “ikut-campur” dalam pemilihan ketua (presiden) PKS yang baru lalu. JIL telah berhasil menyusup ke dalam PKS. Subhanallah.

Kita tahu semua, setelah muktamar NU dan Muhammadiyah berhasil memilih para ketua umumnya yang dinilai moderat (jika bukan liberal), giliran PKS melakukan pergantian kepemimpinan. Musyawarah Majelis Syuro PKS yang digelar Senin 10 Agustus silam memutuskan Sohibul Iman menjadi presiden partai Islam terbesar ini, menggantikan Anis Matta. Sebagian orang menilai Sohibul Iman adalah “orang liberal” atau orang yang telah terjangkiti virus liberal.

Sebetulnya, Sohibul Iman adalah kader PKS yang cukup loyal. Sejak PKS masih bernama PK (Partai Keadilan) Sohibul Iman selalu mengikuti kebijakan partai dan taat pada para “ulama” di dalam partai ini. Satu-satunya “dosa” Sohibul Iman adalah karena dia pernah menjadi (pejabat) rektor Universitas Paramadina, ketika perguruan tinggi ini sedang limbung ditinggalkan oleh pendirinya, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur).

Semua orang tahu bahwa Paramadina adalah embrio gerakan liberalisme Islam di Indonesia. Selain Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang melakukan gerakan pembaruan (liberalisme) di tubuh Nahdlatul Ulama, Cak Nur menyemai pemikiran-pemikiran Islam Liberal dengan membangun Yayasan Paramadina dan kemudian mendirikan Universitas Paramadina.

Nah, kaum fanatik yang sebagian ada di PKS, kerap mengecam Paramadina sebagai lembaga liberal. Mereka bahkan secara serampangan mengatakan bahwa Paramadina adalah JIL. Sekarang, figur yang pernah menjadi orang nomor satu di Universitas Paramadina itu, kini adalah presiden mereka.

Begitulah ceritanya. Yang satu menganggap JIL gagal total, yang lainnya menganggap JIL sukses besar. Tapi, bagaimana JIL sendiri melihat semua ini? Bagaimana saya, sebagai salah satu pendiri JIL, melihat perkembangan Islam di tanah air kita tercinta ini?

Moderat dan pro demokrasi

Secara pribadi, saya selalu optimis melihat perkembangan politik di tanah air. Kita bersyukur bahwa proses demokratisasi yang berlangsung sejak 1999 terus berlangsung hingga hari ini. Merawat demokrasi bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi bagi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, yang dalam studi-studi tentang demokrasi selalu dikecualikan (Islamic exceptionalism). Islam dianggap tidak kompatibel dengan demokrasi.

Tapi, warga Indonesia menunjukkan sebaliknya. Kita bukan hanya bisa membangun demokrasi, tapi juga bisa merawatnya dengan baik, hingga hari ini.

Salah satu rahasia sukses demokrasi di Indonesia adalah karena mayoritas penduduk Muslim di negeri ini adalah moderat. Dan sebagian besar mereka, secara langsung maupun tidak langsung, berafiliasi dengan dua organisasi besar Islam, yakni Muhammadiyah dan NU.

Saya selalu mengatakan bahwa prasyarat agar demokrasi sukses berjalan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, harus ada jangkar Islamnya yang kokoh, Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi. Dan saya percaya bahwa Muhammadiyah dan NU adalahjangkar itu.

Sejak awal kita menjalani proses demokratisasi, kelompok-kelompok radikal berusaha sekuat tenaga mereka mempengaruhi pemerintahan dan menginfiltrasi lembaga-lembaga Islam. Mereka berusaha menyusup ke lembaga-lembaga besar seperti Muhammadiyah dan NU, menyebarkan ajaran-jaran yang bertentangan dengan semangat moderatisme Islam yang pro-demokrasi.

Sebagian ajaran itu dipengaruhi oleh ideologi Wahabisme, dan sebagian lainnya dipengaruhi oleh ideologi perang yang diimpor dari negara-negara konflik, seperti di Afghanistan.

Sejak didirikan hingga sekarang, Muhammadiyah dan NU selalu menunjukkan sikapnya yang moderat. Kadang kedua organisasi ini dipimpin oleh seorang yang agak konservatif, kadang dipimpin oleh orang yang agak liberal. Tapi, tidak pernah kedua organisasi ini dipimpin oleh orang yang radikal, yang dengan mudah mengkafirkan orang, menyesatkan orang, dan membahayakan persatuan Indonesia.

Baru dalam beberapa tahun belakangan ada upaya diam-diam yang ingin merusak sikap moderat Muhammadiyah dan NU. Upaya itu dilakukan sebagian oleh kader-kader kedua organisasi ini, yang telah terbuai oleh politik atau telah teracuni ideologi radikal. Haidar Nasir, yang kini menjabat Ketua Umum Muhammadiyah pernah sangat gusar karena ada infiltrasi dari orang-orang PKS ke dalam tubuh Muhammadiyah. Menurut Haidar, PKS telah mengotori Muhammadiyah dengan agenda-agenda politiknya.

Kelompok radikal memang agak kesulitan memasuki NU, tapi para politisi di tubuh organisasi ini pernah sempat membahayakan NU, dengan menjual retorika-retorika yang bertentangan dengan semangat NU selama ini. Ketika NU dipimpin oleh Hasyim Muzadi, misalnya, retorika yang sering diumbar adalah anti-liberalisme dan anti-pluralisme, persis seperti retorika yang digunakan oleh kaum radikal dan para pendukung PKS. Dia seperti tak peduli bahwa liberalisme dalam NU dibangun dan disemai oleh tokoh terbesar NU sepanjang sejarah, yakni KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

The Empire Strikes Back.

Muktamar Muhammadiyah dan NU yang baru selesai merupakan momen penting bagi kedua organisasi ini. Penting karena muktamar itu berhasil memilih tokoh-tokoh pemimpin yang dianggap moderat. Secara tidak langsung, para muktamirin yang mewakili seluruh anggota dua organisasi besar itu menolak infiltrasi-infiltrasi yang dilakukan oleh kaum radikal dan para politisi yang membahayakan nasib dan masa depan organisasi mereka.

Saya melihat bahwa muktamar Muhammadiyah dan NU mengusung semangat mengembalikan kedua organisasi ini ke jalur yang benar, jalur yang selama ini tengah digerogoti kaum radikal dan para politisi. Terpilihnya Haidar Nasir dan Said Agil Siradj seperti sebuah keberhasilan imperium besar memukul mundur musuh-mushnya. Muhammadiyah dan NU adalah dua imperium besar yang belakangan ini tengah diserang oleh musuh-musuhnya dari dalam.

Saya tak terlalu peduli apakah Kang Said (Agil Siradj) dan Mas Haidar (Nasir) itu liberal. Saya mengenalnya secara pribadi, meski tak begitu dekat. Keduanya adalah tokoh-tokoh Muslim yang peduli dengan masa depan Indonesia. Keduanya adalah tokoh-tokoh yang mencintai kebebasan, menghormati keragaman, dan menjunjung tinggi persatuan. Ketika pertama kali saya dan teman-teman mendirikan JIL pada 2001, PP Muhammadiyah menyelenggarakan sebuah diskusi di mana saya, mewakili JIL, diundang berbicara bersama Mas Haidar Nasir.

Ada satu pernyataannya yang tak pernah saya lupa dalam forum itu. Kata Mas Haidar, “di Muhammadiyah saya dianggap orang paling liberal, tapi di depan tema-teman JIL, saya merasa sangat konservatif.” Tentu saja, pernyataan ini membuat saya dan para hadirin tertawa lepas. Bagi saya, salah satu ciri orang liberal adalah mampu beragama secara santai, jenaka, tidak tegang. Dan saya melihat sikap itu ada pada Mas Haidar dan juga Kang Said.

Saya berharap dengan terpilihnya Haidar Nasir dan Said Agil Siradj, Muhammadiyah dan NU kembali mengulangi masa-masa kejayaannya. Menurut saya, masa-masa kejayaan Muhammadiyah dan NU adalah ketika kedua organisasi ini dipimpin oleh Buya Syafii Maarif dan Gus Dur. Di bawah kepemimpinan kedua orang inilah produktifitas ilmiah dalam Muhammadiyah dan NU mengalami puncak kegemilangannya.

Kita tunggu saja !

Tulisan ini terbit di Islamlib.com dengan judul: Benarkah JIL Mempengaruhi Muhammadiyah dan NU, http://islamlib.com/gagasan/islam-liberal/benarkah-jil-mempengaruhi-muhammadiyah-dan-nu/

*Luthfi Assyaukanie, salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia dan pengajar di Universitas Paramadina