1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Jatuh Cinta itu Politis!

13 April 2018

Seks jadi lambang kesuburan di hampir di seluruh peradaban kuno, lihat saja artefak lingga-yoni yang kerap ditemukan pada candi-candi di Nusantara. Perayaan kesuburan sama dengan praktik seks? Opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/2ve7H
Symbolbild Paar Pärchen Seitensprung
Foto: Colourbox/Pressmaster

Pacaran adalah produk abad pencerahan. Mengapa? Karena pada masa sebelum manusia menjadi individu, manusia berpasangan dan memiliki keturunan bukan berdasarkan cinta atau suka sama suka yang seperti ini kita kenal. Manusia (Homo Sapiens) yang juga sebagai binatang melakukan seks guna mewariskan gen dan DNA, upaya bertahan hidup di bawah segala macam kemungkinan tantangan alam.

Pada masa suku-suku kecil berburu dan meramu,seks dilakukan untuk mendapatkan anggota baru, pada masa menetap dan bertanam, seks ditujukan unutk mendapat tenaga kerja untuk membajak sawah, ladang dan jika semakin banyak manusia yang dihasilkan dalam sebuah keluarga maka semakin banyak juga lahan yang bisa digarap, di sini lah pepatah "banyak anak banyak rejeki” bermula.

Penulis: Nadya Karima Melati
Penulis: Nadya Karima Melati Foto: N. K. Melati

Dengan landasan berkembang biak dan melanjutkan keturunan, ketika manusia belajar berimajinasi dan berpikir abstrak lalu sistem kepercayaan dan kerajaan kecil hadir dan banyaknya manusia berguna untuk ekspansi kekuasaan dan memperbanyak pengikut yang bisa berguna untuk membantu membuat bangunan. Lalu di mana ada cinta sebagai landasan manusia berpasang-pasangan?

Cinta dalam biologi di lihat sebagai gejolak hormon-hormon (dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrin) kesenangan yang melonjak bersamaan dengan kehadiran orang yang dihasratkan. Hormon-hormon tersebut bereaksi agar kita, manusia, dapat menyeleksi menyeleksi pasangan yang terbaik. Sebagai selfish gene, manusia hanya mencari yang terbaik dipasangkan dengan DNAnya agar menghasilkan terus menerus manusia yang mutakhir, paling bisa adaptasi dan lagi-lagi, mewariskan gen dengan berkembang biak. Itu jadi alasan mengapa orang yang cakep lebih banyak diinginkan sebagai kekasih hati. Karena akan memperbaiki keturunan yang juga cakep berguna untuk bertahan hidup karena diinginkan oleh manusia lain sebagai pasangan.

Peran Negara dalam Menentukan Kekasih Hati

Sebelum ada agama dan negara, manusia tidak menikah. Pernikahan adalah sebuah perayaan yang membutuhkan pihak ketiga yang memiliki kekuasaan. Pihak ketiga biasanya berwujud gagasan seperti agama dan negara yang kemudian dimanifestasi menjadi penghulu, pendeta dan catatan administratif untuk memberikan ijin bagi kedua manusia untuk bereproduksi dan melanjutkan keturunan. Di sini mulai terlihat manusia sebagai mahluk sosial, dan pernikahan merupakan wujud kontrak sosial dalam bermasyarakat.

Sampai hari ini di Indonesia, pernikahan menjadi salah satu syarat untuk menjadi bagian dari masyarakat normal pada umumnya, pertanyaan tentang menikah dan reproduksi (keluarga dan ekonomi) menjadi sebuah pertanyaan basa-basi yang sering dilontarkan untuk mencairkan suasana seperti, "kapan nikah?” atau "kapan punya anak?”. Karena menikah sudah menjadi norma ajeg dan jika ada manusia yang memutuskan untuk tidak menikah atau menolak pernikahan berarti melawan sistem norma dan dianggap ‘menyimpang'.

Baca juga:Lucinta Luna dan Hak Pribadi Untuk Mengingkari

Peran negara dan agama dalam percintaan

Peran negara dan agama sangat jauh dalam mengatur reproduksi warga/pemeluknya, tidak hanya memberikan restu (blessing). Institusi penuh kuasa ini juga menentukan kamu HARUS jatuh cinta dengan siapa secara langsung melalui hukum-hukum tertulis, juga secara kultural dan kelas sosial. Di Indonesia melalui peraturan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 karena pernikahan diserahkan kepada institusi agama masing-masing sehingga ditafsirkan tidak bisanya dilangsungkan pernikahan berbeda agama. Untuk itu, orang-orang berkecenderungan mencari pasangan yang seiman karena itulah yang diizinkan oleh negara. Begitu pula dengan kelas sosial, dalam agama Hindu saja misalnya, menikah antar strata kelas adalah tabu.

Heteronormativitas juga berlaku dalam kasus ini, karena pernikahan masih dilihat sebagai sarana reproduksi warga negara maka banyak negara tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis. Pernikahan sesama jenis dilihat sebagai penyimpangan karena negara membutuhkan reproduksi manusia yang nantinya berguna sebagai angkatan kerja, pembayar pajak, angkatan perang, dan sebagainya dan pernkahan tanpa tujuan reproduksi manusia tidak menguntungkan.

Jatuh cinta adalah sebuah dorongan naluriah tapi membangun hubungan penuh dengan aturan sosial. Pilihan kita mencintai dan membangun hubungan sangat dipengaruhi oleh masyarakat, karena itu kisah romansa seperti percintaan beda agama, percintaan beda kelas sosial atau percintaan sesama jenis memberikan bumbu tragis dan melekat di pengalaman satu dan banyak orang. Jatuh cinta dan berkeluarga adalah dua hal yang tidak berhubungan tetapi dipaksa bersama. Dan hanya orang-orang yang merdeka, yang berani menyadarinya bahwa pilihannya jatuh cinta, adalah politik.

Penulis: Nadya Karima Melati (ap/vlz)

Essais dan Peneliti Lepas. Koordinator SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tertarik pada topik sejarah sosial, feminologi dan seksualitas.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis