1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jejak Ali Moertopo dalam Pilpres 2019

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
11 Mei 2019

Bagaimana jejak Operasi Khusus dalam Pilpres 2019? Pilpres 2019 mengemuka fenomena politik identitas, sebagai duplikasi konsep atau eksperimen Opsus dulu, yaitu memanfaatkan isu agama. Berikut opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/3IEch
Ali Moertopo Ali Murtopo Indonesien General
Foto: gemeinfrei

Polarisasi masyarakat yang sedang berlangsung  belakangan  ini, sebagai akibat praktik politik identitas, diperkirakan hanya akan berlangsung sementara. Ketika keriuhan Pilpres (pemilihan presiden) berlalu, diharapkan kohesi sosial secara perlahan akan pulih kembali. Setidaknya itu bisa dilihat dari perkembangan politik mutakhir, ketika elemen koalisi pendukung pasangan Prabowo – Sandiaga, seperti Partai Demokrat, PKS dan PAN, tidak sekeras sebelumnya demi melihat hasil hitung cepat (quick count).

Membaca wacana yang berkembang dalam kampanye pilpres baru-baru ini, publik seolah tersandera dengan isu primordial yang tiada habisnya. Isu primordial telah dieksploitasi sedemikian rupa, bahkan sampai ke kawasan permukiman. Benar, kini sudah mulai bermunculan kawasan hunian atau cluster, khusus bagi yang beragama tertentu saja.

Penulis:Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Model polarisasi masyarakat berdasarkan sentimen primordial sebenarnya bukan fenomena baru. Praktik seperti itu pernah terjadi masa Orde Baru, saat Ali Moertopo bersama lembaga (intelijen) yang dia pimpin, yaitu Opsus (operasi khusus), sempat  melakukan rekayasa terhadap kelompok yang dikategorikan Islam garis keras, dengan tujuan akhirnya  untuk melemahkan citra (politik)  Islam.

Opsus memang akhirnya pupus, bersamaan dengan meninggalnya Ali Moertopo pada Mei 1984, namun model rekayasa dan pembentukan opini gaya Opsus, telah menjadi genre tersendiri dalam politik Indonesia, termasuk yang kita saksikan dalam pilpres baru-baru ini. Opsus dulu terkenal dengan jaringannya yang sangat kuat, dan tentu sebagian jaringan itu masih aktif sampai sekarang.

Politik aliran

Dalam merekayasa polarisasi di masyarakat, untuk sebagian Ali Moertopo terinspirasi oleh konsep lima aliran (politik) yang dulu diperkenalkan oleh Indonesianis Herbert Feith. Lima aliran politik dimaksud adalah: nasionalisme radikal, tradisionalisme jawa, Islam, sosialisme-demokrat, dan komunisme. Namun yang perlu diingat, lima aliran ini dirumuskan Herbert Feith untuk  memahami dinamika politik Indonesia di awal kemerdekaan, sampai tahun 1965.  Ketika Orde Baru lahir, praktis tinggal dua (aliran), yakni Islam dan  tradisionalisme jawa, yang tetap bisa hidup. Sementara tiga aliran lain diberangus, karena  dianggap tidak sesuai dengan visi Orde  Baru.

Masih hidupnya dua aliran tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari peran Ali Moertopo. Soal aliran tradisionalisme jawa misalnya, itu bisa dihubungkan dengan latar belakang Ali sendiri, yang dianggap  dekat pada tradisi kejawen (atau abangan). Bila kita mengingat lembaga pemikiran (think tank) yang didirikan Ali Moertopo (bersama Soedjono Hoemardani), yakni CSIS, terasa demikian kuat atmosfer kejawen-nya, setidaknya pada periode awal CSIS, pada tahun 1970-an.

Soedjono dikenal luas  sebagai penasihat spiritual  (mantan) Presiden Soeharto. Ali dan Soedjono sudah membantu Soeharto, sejak yang terakhir ini masih menjadi Panglima Kodam Diponegoro, sebuah komando pasukan yang dikenal sejak lama mengadopsi nilai-nilai kejawen. Wajar saja saat keduanya mendirikan CSIS, nilai-nilai kejawen ikut terbawa juga.

Pembentukan CSIS, setidaknya di masa awal, memang disiapkan bagi diseminasi  pemikiran Ali Moertopo. Salah satunya  adalah mengintrodusir konsep "massa  mengambang”  (floating  mass),   sebagai cara menghapus politik aliran.  Pada  gilirannya konsep  ini   mendorong berdirinya organisasi tunggal bagi golongan masyarakat, tujuannya agar lebih  mudah dimobilisasi, seperti wartawan (PWI), guru (PGRI), pemuda (KNPI), pegawai negeri (Korpri), petani  (HKTI), buruh  (SPSI),   dan seterusnya.

Semua organisasi tersebut terafiliasi pada Golkar, sebuah partai atau kekuatan politik, yang tidak bisa masuk dalam kategorisasi lima aliran di atas. Golkar sepenuhnya adalah rekayasa rezim Soeharto,  dengan dukungan militer dan  birokrasi,  agar bisa berkuasa secara terus menerus.

Terhadap  aliran Islam, Ali Moertopo bersama  Opsus melakukan penggalangan (conditioning)  untuk kepentingan  kekuasaan. Penggalangan   pada sebagian  kelompok   Islam, umumnya  dari sempalan  gerakan   DI/TII,   dengan tujuan akhirnya untuk melemahkan PPP, satu-satunya partai saat itu,  dan  karenanya dianggap pesaing paling potensial Golkar. Sementara PDI, relatif  lebih mudah dikendalikan.

Modifikasi   gaya Opsus

Setiap menjelang pemilu di  masa Orba,  selalu muncul rekayasa politik, yang  tujuannya untuk  mendiskreditkan PPP,  seperti  isu Komando Jihad (Pemilu  1977), Peristiwa Woyla (1981), serta Peristiwa Lapangan Banteng,  menjelang Pemilu 1982. Semua ini  adalah hasil  kerja  Opsus. Sekadar diketahui,  pada Pemilu 1977, PPP bisa unggul dari Golkar di wilayah Jakarta, kota yang dihuni dengan mayoritas kaum terdidik.

Gaya kerja Opsus  kini seperti berulang. Kita bisa melihat sendiri, ketika menjelang pilpres atau  pilkada, ada aliran politik  yang selalu dihidupkan kembali,  yaitu komunisme. Termasuk dalam Pilpres  2019 baru-baru ini, aliran komunisme "dihidupkan”  kembali untuk mendiskreditkan seorang kandidat. Salah  seorang figur yang selalu dihubungkan dengan ideologi tersebut adalah capres petahana   Joko Widodo.  

Seperti  metode kerja Opsus dulu  dalam  merekayasa  sebuah  isu, yang tujuannya  menggiring opini publik, demikian juga  yang terjadi  hari ini. Gerakan seperti Komando Jihad sejatinya sekadar akal-akalan dari Opsus,  untuk memberi kesan Islam itu berbahaya.  Dari  perjalanan waktu, kedok sebenarnya terbongkar. Beberapa tokoh yang dicitrakan sebagai pimpinan Komando Jihad, seperti  Danu Muhammad,  Haji Ismail Pranoto  (Hispran), dan  Ateng  Jaelani,  ternyata adalah orang binaan Ali Moertopo.

Mirip  dengan situasi  sekarang,  aliran "komunisme”  hanya  dijadikan komoditas politik murahan. Termasuk juga penanda minoritas lain, seperti agama  dan  suku  tertentu, bahkan sesuatu   yang  sangat  personal, seperti orientasi   seksual. Rekayasa isu   seperti ini,  tentu akan reda dengan  sendirinya usai  pilpres.  Hari-hari ini kita melihat, elemen koalisi pendukung pasangan  Prabowo -  Sandiaga mulai melunak, usai melihat hasil hitung cepat. Partai seperti  PKS, Partai  Demokrat, dan PAN,  telah mencari jalan sendiri-sendiri untuk  merapat ke  kubu Jokowi. Bahwa sesungguhnya, "aliran” yang senantiasa eksis pada masyarakat kita adalah pragmatisme.   

                                                                                                                                                                                                               Residu sebuah zaman

Pada masa Orde Baru, kita akan lebih mudah melakukan konfirmasi, karena setiap insiden skala besar selalu dihubungkan dengan Opsus, terlepas dari benar-tidaknya. Seingat saya, Ali Moertopo jarang sekali memberi pernyataan secara terbuka pasca peristiwa, entah membenarkan atau mengingkari. Ali memang intelijen sejati, dia membiarkan publik untuk menebak-nebaknya sendiri.

Kegalauan publik baru terasa, sesudah Ali Moertopo meninggal, ternyata insiden atau peristiwa kekerasan masih saja terjadi, seperti kasus Tanjung Priok (1984) dan peledakan Candi Borobudur (1985). Masyarakat hanya bisa bertanya-tanya, siapa lagi ini yang bermain, adakah pemain baru, mengingat pemain yang lama sudah meninggal dunia.

Memang pertanyaan itu tidak pernah terjawab, karena figur yang dianggap penerus estafet kepemimpinan Opsus, yaitu Benny Moerdani, saat itu justru sedang berjaya,  menjabat Panglima ABRI (Panglima TNI) merangkap Pangkopkamtib. Menjadi tidak logis, ketika pertanyaan itu diarahkan ke Benny. Masih belum clear sampai sekarang, apakah Benny masih mengikuti gaya seniornya, merekayasa kasus untuk kemudian ditumpasnya sendiri.

Asumsi selama ini mengatakan, bahwa setiap konflik horizontal yang terjadi selama ini merupakan dampak dari persaingan di tingkat elite. Seperti yang dilakukan Opsus dulu, lembaga ini merekayasa berbagai kasus atau peristiwa, sebagai bentuk intimadasi pada kelompok atau pihak yang berpotensi melawan Soeharto. Keberadaan Opsus sejatinya adalah residu sebuah era, yang kiranya cukup sekali saja dilahirkan.    

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.