1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jelang Pemilu Singapura

6 Mei 2011

2,3 juta orang berhak memberikan suaranya dalam pemilu Singapura yang berlangsung 7 Mei 2011. People's Action Party, PAP yang memerintah sejak 1959 diperkirakan akan kembali menang. Namun tantangan semakin besar.

https://p.dw.com/p/11AnL
Foto: DW/Danhong Zhang

Bagi Singapura, pemilihan umum tahun ini merupakan yang paling bergolak. Dari 2,3 juta warga Singapura yang berhak memilih, seperempatnya berusia di bawah 35 tahun. Generasi baru ini tidak mengalami sejarah awal pembangunan Singapura dan menuntut perubahan. Antara lain, agar Singapura menanggalkan sistim satu partai yang dianutnya. PAP atau People's Action Party yang memerintah, kali ini ditandingi enam partai oposisi yang kampanyenya selalu ramai sambutan.

Kamis (05/05), pada hari terakhir kampanye kandidat partai Demokrat Singapura, SDP, Tan Jee Say menyoroti rencana regenerasi nasional yang ia canangkan. Diseukannya, “Cuaca panas dan saya lega Anda masih di sini. Anda telah mendengar rekan2 dari tim saya berbicara tentang sektor-sektor kunci dalam rencana regenerasi nasional yang bernilai 60 milyar dolar. Rancangan saya ini memberikan sesuatu kepada setiap warga Singapura, mulai dari lahan kerja baru, upah layak, bisnis-bisnis baru, semua upaya kreatif bagi warga muda, tua dan setengah baya di Singapura“.

Tan Jee Say, ekonom lulusan Oxford di Inggris sebelumnya adalah pejabat pemerintah. Ia bukan satu-satunya yang beralih ke kubu oposisi. Ada kecemasan bahwa trend ini akan meluas, karenanya PAP bertubi-tubi mencerca kaum pembelot. Kritiknya sama tajam, seperti yang dilontarkan oposisi kepada PAP.

Dalam kampanyenya Kenneth Jeyaretnam dari partai Reformasi mempertanyakan janji-janji Perdana Menteri Lee Hsien Loong. "Bagaimana ia bisa mengaku akan membangun kelas menengah yang besar, padahal 85% dari Anda masih menetap di perumahan publik dengan hak guna pakai 99 tahun, dan bukan hak milik pribadi.“

Pendidikan, perumahan, lapangan kerja, kebijakan imigrasi, kenaikan harga dan pajak merupakan tema-tema yang disoroti oposisi. Meski Singapura mencatat pertumbuhan ekonomi sampai 14,5%, di kalangan akar rumput keluhan semakin banyak terdengar.

Kandidat termuda pemilu ini, Nicole Seah dari Partai Solidaritas Nasional, NSP, sampai hari terakhir kampanye masih berkunjung dari rumah ke rumah, mencatat keresahan warga tentang penolakan pemerintah untuk bantuan pembayaran uang sekolah anaknya. Berusia 24 tahun, perempuan muda ini bertekad memperbaiki kehidupan kaum miskin di Singapura. Partainya juga ingin mengubah kebijakan yang dinilai usang. “Tanpa sepertiga oposisi dalam parlemen, yang disebut perusahaan Singapura ini tidak akan berakhir”, begitu tukas anggota NSP, Goh Meng Seng. Andaikata Singapura bersistim multi partai, maka anggota oposisi yang terpilih memiliki hak penuh dalam parlemen.

Sejak 1948, parlemen Singapura memberlakukan sistim NCMP. Anggota oposisi yang berprestasi, ditunjuk untuk menjadi anggota parlemen. Masalahnya para NCMP boleh ikut memberi masukan, tapi tidak berhak turut dalam proses pengambilan keputusan. Baru-baru ini jumlah NCMP dinaikkan dari 3 menjadi 9 orang, dalam parlemen Singapura yang terdiri dari 87 kursi.

Terkait pemilihan di kawasan Aljunied yang secara tradisional dipimpin pendiri bangsa, Lee Kuan Yew, mantan NCMP, Sylvia Liem dari Partai Buruh, WP mengawali kampanye dengan menantang, “Banyak yang sudah mengetahui partai mana yang dipilihnya, tapi masih ada yang menimbang apakah sebaiknya mendukung kami.”

Bagi PAP, atau People's Action Party yang memenangkan 10 pemilu berturut-turut, pemilu kali ini adalah litmus yang memastikan jalan ke depan. Meski tetap optimis, diakui juga bahwa pemilu kali ini merupakan pertarungan berat.

Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk