1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan Hukum

Jepang Dituntut Bayar Kompensasi Kepada 'Wanita Penghibur'

8 Januari 2021

Ini adalah kasus hukum sipil pertama di Korea Selatan terkait "wanita penghibur" yang jadi budak seksual pasukan Jepang selama PD II. Keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini diyakini memicu kemarahan Jepang.

https://p.dw.com/p/3nfGD
Museum Korea Selatan yang menampilkan potret mantan budak seks saat Perang Dunia II
Beberapa sejarawan memperkirakan sebanyak 200 ribu wanita dipaksa masuk ke rumah pelacuran militer Jepang pada Perang Dunia IIFoto: picture-alliance/AP Photo/A.Young-joon

Pengadilan Korea Selatan mendesak pemerintah Jepang pada hari Jumat (08/01) untuk memberikan kompensasi kepada 12 korban wanita yang dipaksa menjadi budak seksual selama Perang Dunia II.

Kantor berita Korea Selatan Yonhap dan kantor berita Jepang Kyodo menjadi media yang pertama kali melaporkan keputusan itu.

Pengadilan Distrik Pusat Seoul memutuskan para korban dan keluarga mereka masing-masing harus menerima 100 juta won (Rp 1,2 miliar), Yonhap melaporkan.

"Saya sangat tersentuh dengan keputusan hari ini," kata Kim Kang-won, pengacara korban. "Ini adalah vonis pertama bagi para korban yang menderita di tangan pasukan Jepang."

Pengacara Kim Kang-won
Pengacara Kim Kang-won senang dengan keputusan Pengadilan Korea SelatanFoto: Yonhap/picture alliance

Kim Dae-wol dari House of Sharing, yang merawat para korban, mengatakan reparasi bukanlah masalah yang paling penting.

"Sebaliknya, keinginan mereka adalah agar pemerintah Jepang memberi tahu warganya tentang kekejaman yang dilakukan di masa lalu," kata Kim.

Apa yang terjadi dalam kasus ini?

Badan tersebut mengatakan para korban mengajukan petisi untuk menyelesaikan sengketa pada Agustus 2013 dan mengklaim bahwa mereka telah ditipu menjadi budak seksual.

Kasus ini kemudian dibawa ke pengadilan pada Januari 2016 karena Jepang tidak secara resmi menanggapi korespondensi pengadilan tersebut. Hanya lima dari 12 penggugat yang masih hidup saat pengadilan memutuskan perkara ini pada Jumat (08/01).

Media Jepang melaporkan bahwa pemerintahnya telah memanggil duta besarnya di Korea Selatan untuk memprotes perintah pengadilan atas kompensasi tersebut.

Aksi protes menuntut permintaan maaf dan kompensasi bagi korban "wanita penghibur"
Masalah seputar wanita penghibur semakin intens dibahas di Semenanjung Korea, beberapa aksi protes menuntut permintaan maaf dan kompensasi bagi para korbanFoto: Getty Images/AFP/Jung Yeon-je

Apa itu 'wanita penghibur'?

Sebelum dan selama Perang Dunia II, militer Jepang menahan wanita Asia, terutama wanita dari Korea Selatan, di rumah pelacuran milik mereka.

Sejarawan memperkirakan sekitar 200 ribu wanita ditahan di rumah bordil selama masa perang dan mengalami pelecehan fisik dan seksual. Ada 16 korban selamat yang terdaftar di Korea Selatan.

"Bukti, materi yang relevan, dan kesaksian menunjukkan bahwa para korban menderita rasa sakit mental dan fisik yang ekstrem dan tak terbayangkan akibat tindakan ilegal oleh terdakwa. Tapi tidak ada kompensasi yang diberikan atas penderitaan mereka," kata pengadilan dalam putusan.

Bagaimana perkara ini mempengaruhi hubungan Jepang-Korea Selatan?

Jepang memboikot proses tersebut dan bersikeras bahwa semua kompensasi untuk wanita yang menjadi korban ditentukan melalui perjanjian 1965. Pemerintah Jepang membantah bertanggung jawab langsung atas pelanggaran tersebut, bersikeras bahwa rumah bordil itu dioperasikan secara komersial.

Pengacara Kim mengatakan pada saat perjanjian 1965, "masalah wanita penghibur tidak dibahas sama sekali."

Masalah seputar wanita penghibur sangat mempengaruhi Korea Selatan selama beberapa dekade. Korea Selatan dan Jepang mencapai kesepakatan pada 2015 untuk "akhirnya dan tidak dapat diubah" menyelesaikan masalah dengan permintaan maaf resmi Jepang dan kompensasi 1 miliar yen (Rp 135 miliar) untuk para korban. Tetapi Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengatakan perjanjian itu salah dan membatalkannya.

Berakhirnya perjanjian tersebut menyebabkan perselisihan diplomatik pahit yang mempengaruhi masalah perdagangan dan keamanan antara kedua negara. Keputusan hari Jumat (08/01) kemungkinan akan semakin merenggangkan hubungan antara kedua negara.

Pengadilan yang sama diperkirakan akan memutuskan kasus serupa terhadap Jepang yang diajukan oleh 20 wanita lainnya pada pekan depan.

ha/rap (AFP, Reuters)