1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
BencanaJepang

Jepang Peringati 70 Tahun Uji Coba Nuklir AS di Pasifik

1 Maret 2024

Ayahnya Shimomoto merupakan korban terdampak dari uji coba nuklir AS di Bikini Atoll. Sang Ayah tengah melaut sebagai nelayan saat peristiwa itu terjadi. Kini, Shimomoto ingin dunia yang bebas dari senjata nuklir.

https://p.dw.com/p/4d3IG
Uji coba bom atom AS di Kepulauan Marshall
AS menguji coba beberapa bom nuklir di Bikini Atoll di Kepulauan Marshall (foto file)Foto: CPA Media Co. Ltd/picture alliance

Tujuh puluh tahun setelah uji coba nuklir "Castle Bravo” atau Kastil Bravo di Bikini Atoll, Setsuko Shimomoto akan melakukan perjalanan ke Kepulauan Marshall untuk mengambil bagian dalam acara peringatan percobaan ledakan bom atom yang dia yakini telah menewaskan ayahnya tersebut.

Uji coba yang dilakukan pada 1 Maret 1954 ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan oleh para ilmuwan yang mengembangkan bom hidrogen itu. Hingga kini, "Castle Bravo” tetap menjadi senjata nuklir paling kuat yang pernah diledakkan oleh militer Amerika Serikat (AS).

Kegagalan dalam mengantisipasi besarnya ledakan, dikombinasikan dengan angin kencang di Pasifik tengah, mengakibatkan radioaktif jatuh ke lautan, termasuk ke sekitar 1.000 kapal nelayan Jepang yang berada di area tersebut.

Kapal yang paling terkenal yang terkena dampak terbesar adalah Daigo Fukuryu Maru, atau "Lucky Dragon 5”, di mana 23 awaknya mengalami berbagai keluhan yang terkait dengan paparan radiasi, mulai dari mual, sakit kepala, hingga sakit pada mata mereka. Salah satu korbannya adalah penyiar radio Aikichi Kuboyama, yang meninggal enam bulan setelah insiden akibat penyakit komplikasi terkait paparan radiasi.

Tempat Beradiasi Tertinggi di Bumi

Kisah Toubei Oguro

Kapal "Lucky Dragon 5” kini dipajang di sebuah museum di Tokyo. Namun, kapal-kapal nelayan Jepang lainnya yang membawa total sekitar 10.000 pelaut, sebagian besar justru telah terlupakan, dan Shimomoto ingin mengubah itu.

"Saya merasa penting bagi saya untuk pergi ke Kepulauan Marshall karena ini adalah peringatan 70 tahun, dan 10 tahun yang lalu, Matashichi Oishi dari Lucky Dragon berpartisipasi dan memberikan pidato dalam upacara itu," kata Shimomoto kepada DW.

Lebih lanjut, Shimomoto mengatakan bahwa "saya ingin menyuarakan ketakutan akan radiasi," seraya menambahkan, "saya juga ingin semua negara di dunia bergabung dengan Konvensi Senjata Nuklir, yang melarang pengembangan, kepemilikan, penggunaan, ancaman, dan pemindahan senjata nuklir."

Lebih luas lagi, Shimomoto bermaksud untuk memberikan dukungan kepada warga Hiroshima dan Nagasaki yang selamat dari bom atom tahun 1945. Dia juga ingin memperoleh dukungan atas serangkaian kasus hukum yang diajukan oleh para nelayan Jepang atau keluarga mereka yang masih hidup terhadap pemerintah Jepang, agar dapat menerima kompensasi dan bantuan bagi keluhan medis mereka.

AS berikan 'uang kompensasi'

Ayah Shimomoto, Toubei Oguro, adalah seorang nelayan yang saat itu berusia 30 tahun dan tengah berada di atas kapal tuna Jepang, Dai-Nana Dai Maru, ketika perangkat "Castle Bravo” meledak pada pukul 6.45 pagi waktu setempat di anjungan buatan Bikini Atoll.

Enam tahun setelahnya, dalam buku catatan pelaut miliknya, Oguro dinyatakan telah diberhentikan karena penyakit yang tidak dapat disebutkan.

Pada usia 60 tahun, Oguro telah menjalani operasi pengangkatan tiga perempat bagian perutnya akibat kanker. Namun, setelah kematiannya pada 2002 di usia 78 tahun, pemeriksaan medis komprehensif terhadap seluruh awak Dai-Nana Dai Maru dan kapal-kapal lain yang beroperasi di lepas pantai Bikini Atoll pada tahun 1954 itu, baru dilakukan.

Hasil tes mengonfirmasi adanya kelainan kromosom, meskipun upaya para nelayan untuk mendapatkan pengakuan dan kompensasi atas keluhan medis mereka belum juga membuahkan hasil.

Pada tahun 1955, AS telah membayar sebesar $2 juta (sekitar Rp31,4 triliun) ke Jepang, sebagai "uang kompensasi" tetapi menolak untuk mengakui tanggung jawabnya, sehingga pada akhirnya masalah ini diselesaikan di tingkat politik.

Pemerintah Jepang juga telah membayar kepada masing-masing awak kapal Lucky Dragon sebesar 2 juta yen atau $12.278 (sekitar Rp193 juta) dengan kurs saat ini. Tetapi, Jepang tidak memberikan apa pun kepada para nelayan yang berada di kapal-kapal lainnya. Para kritikus mengatakan bahwa Tokyo ingin mengubur masalah ini secepat mungkin untuk menghindari permusuhan dengan AS.

Jepang: Paparan radiasi 'tidak merusak kesehatan'

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Tokyo mengakui bahwa para awak dari 10 kapal benar terpapar radiasi, namun pihaknya bersikeras bahwa dosis paparan itu "tidak mencapai tingkat yang dapat merusak kesehatan mereka."

Masalah ini sebagian besar dibiarkan merana, hingga tahun 1985 saat para siswa dari sekolah di Prefektur Kochi, di mana banyak awak kapal tuna yang terpapar oleh insiden "Castle Bravo” itu, mewawancarai para nelayan sebagai bagian dari proyek sekolah.

Media lokal dan nasional kemudian mengetahui kisah para korban, yang membuat banyak orang mengajukan beberapa pertanyaan. Permintaan dokumen kepada kementerian kesehatan dan kesejahteraan Jepang untuk mendapatkan rincian tentang dampak radiasi terhadap para nelayan itu pun juga ditolak.

Saat itu, pemerintah bersikeras bahwa dokumen yang dikumpulkan pada tahun insiden itu sudah tidak ada lagi. Namun, setelah menghadapi serangkaian gugatan hukum, para birokrat akhirnya mengakui pada September 2014 bahwa mereka masih memiliki data tersebut.

Penundaan yang lama dalam penyerahan dokumen itu membuat para nelayan tidak dapat mengajukan gugatan hukum untuk mendapatkan kompensasi dari AS. Para korban mengklaim bahwa pemerintah Jepang sengaja menyembunyikan informasi tersebut.

Dua pengadilan di Jepang pada awalnya menolak tuntutan hukum yang diajukan oleh 31 penggugat, dengan alasan bahwa undang-undang pembatasan waktu 20 tahun dalam kasus itu telah kedaluwarsa. Para penggugat tidak setuju dengan keputusan itu dan menyatakan bahwa pemerintah Jepang lah yang telah mempersulit dengan menyembunyikan bukti-bukti penting. Pengadilan menjawab bahwa pemerintah tidak secara sengaja menyembunyikan data tersebut dan tetap berpegang teguh pada putusan mereka.

Masayoshi Naito, seorang pengacara dari Kantor Hukum Higashi Kanda di Tokyo, yang mewakili sejumlah kecil penggugat dalam kasus banding ini mengatakan bahwa, "kita harus ingat bahwa hal ini terjadi segera setelah gencatan senjata dalam Perang Korea dan peresmian Republik Rakyat Tiongkok [pada 1949], dan ada kekhawatiran bahwa insiden Lucky Dragon akan mendorong gerakan anti-nuklir di Jepang.”

'Ditutup-tutupi oleh AS dan Jepang'

Naito juga mengatakan bahwa, "pemerintah AS dan Jepang berusaha menutupi apa yang terjadi di Kepulauan Marshall,” seraya menambahkan bahwa lebih mudah untuk melakukan hal itu atas nama keamanan nasional, karena banyak nelayan yang terpapar radiasi itu baru mulai menunjukkan gejala medis setelah bertahun-tahun kemudian.

Para nelayan pada awalnya tidak melakukan protes karena mereka takut dikucilkan dalam masyarakat Jepang dan mata pencaharian mereka akan terancam, tambah Naito.

Naito juga telah mengajukan banding atas putusan pengadilan Jepang pada tahun 2019, yang menuntut agar skema asuransi pelaut yang dikelola pemerintah menanggung biaya kesehatan para korban.

Dengan kasus yang saat ini akan disidangkan kembali di Tokyo, Naito mengakui bahwa "tidak akan mudah" untuk mempengaruhi para hakim. Namun dia yakin bahwa kasus ini akan bergantung pada "bagaimana pengadilan bereaksi terhadap pemerintah yang menutup-nutupi fakta yang ada."

Shimomoto akan menggunakan perjalanannya ke Kepulauan Marshall sebagai bentuk promosi pesan anti-nuklirnya. "Jepang masih belum bergabung dengan Konvensi Senjata Nuklir," katanya.

"Ini adalah perjanjian yang seharusnya jelas bagi semua orang. Saya berharap semua negara bergabung dengan perjanjian ini, sehingga senjata nuklir dan kerusakan yang ditimbulkannya dapat dihilangkan dari Bumi. Dan saya ingin mereka yang telah menderita mendapatkan bantuan," ungkap Shimomoto.

(kp/rs)

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.