1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Jerman dan Amerika dari Kacamata Mahasiswa Indonesia

Maulana Permana Ajie
1 November 2019

Menurut saya, salah satu kunci untuk menjadi lebih bahagia adalah untuk menjadi 'satu' dengan budaya lokal, terutama bila kita tinggal di negara asing. Oleh Maulana P. Ajie

https://p.dw.com/p/3SHNs
DWblog material - Maulana, Student aus Indonesien
Foto: Maulana

Menginjakkan kaki di Jerman untuk pertama kali ada pengalaman yang unik. Dalam jangka waktu 4 tahun, hubungan terbangun, pertemanan terjalin, jaringan profesional terbentuk, ilmu dan pengetahuan mulai didapatkan dan yang paling penting adalah pemahaman dasar bagaimana orang melakukan bisnis dan berinteraksi sehari-hari yang menjadi kesamaan.

Tanpa melupakan budaya dari negara saya berasal, saya merasa bahwa saya sudah terintegrasi dengan cara hidup orang Jerman, yang juga sudah menjadi bagian integral dari hidup saya. Menurut saya, salah satu kunci untuk menjadi lebih bahagia adalah untuk menjadi 'satu' dengan budaya lokal, terutama bila kita tinggal di negara asing dan harus berbicara bahasa asing tersebut.

DWblog material - Maulana, Student aus Indonesien
Maulana P. Ajie, mahasiswa asal IndonesiaFoto: Maulana

Jauh dari zona nyaman yang lekat pada diri kita sendiri seperti keluarga, teman dan mungkin makanan. Didorong ambisi dan keingintahuan, saya keluar lagi lebih jauh dari zona nyaman saya ke negara di mana banyak mimpi dapat terkabul, Amerika Serikat. Apa yang dapat saya pelajari dari pengalaman saya di sini? Apakah ada hal menarik yang mungkin terjadi, yang bisa jadi hal yang relevan untuk diskusi publik di Indonesia?

Kesalahan yang sering dilakukan banyak orang adalah: (1) Semua yang dikenal sebagai "dunia barat" disangka "liberal", yang memiliki konotasi negatif, dan (2) Kita hanya bisa belajar di kampus dari tugas dan kelas yang diberikan. Amerika dan Jerman mungkin masuk ke kategori "dunia barat" ini, tapi kedua negara ini menurut saya menghargai hal-hal yang berbeda.

Walaupun harus dimengerti bahwa kita tidak bisa mengeneralisasikan 80 juta orang Jerman dan 300 juta orang Amerika. Saya cukup beruntung dapat merasakan hidup di Jerman, Amerika, Prancis dan dua minggu di Itali, ini membuat saya sadar bahwa stereotip umum itu bisa menjadi benar. Bahwa menjadi liberal di Jerman berbeda dengan menjadi liberal di Amerika.

Ketika orang Jerman tidak menyukai kita, dia akan mengatakannya di depan kita. Pengalaman saya di semester pertama sebagai mahasiswa bioteknologi, saya melakukan kesalahan yang cukup buruk di laboratorium dan Profesor saya mengatakan, "Bila kamu melakukan kesalahan ini lagi, saya akan melarang kamu masuk laboratorium semester ini." Di Amerika, ketika saya mendaftarkan diri untuk beberapa program studi pascasarjana, bukannya mendapatkan "Kami sedang tidak menerima murid", beberapa membalas "Kamu bisa meningkatkan di aspek ini dan itu," yang menurut saya sama saja dengan yang pertama.

DWblog material - Maulana, Student aus Indonesien
Ajie sedang ikuti program magang di Boston sebagai asisten peneliti di Darthmouth College, salah satu sekolah Ivy League Foto: Maulana

Contoh lainnya mungkin bagaimana orang Amerika sangat jatuh cinta dengan pekerjaan mereka, tentunya juga terbukti dengan menjadi raksasa ekonomi dunia, tapi mereka kurang mengapresiasi pertemanan yang jujur dan hubungan dengan yang lain. Ketika saya sedang magang di Paris, pengawas magang saya mengatakan "Berhenti bekerja dan nikmati hidup." Kata-kata ini tidak bisa saya bayangkan dikeluarkan dari atasan saya di Amerika.

Bagaimana pun,  perbedaan-perbedaan ini memang tidak dapat dihindari, terutama karena saya masih muda dan masih mencoba untuk mengerti kerumitan hidup sebagai orang dewasa ini, selalu ada ruang untuk belajar.  Satu pelajaran, yang tidak dapat ditemukan di kelas atau buku apapun. Pelajaran itu adalah: konsep "benar" dan "salah" itu tidak statis. Ini adalah konsep yang dinamis. Konsep yang seharusnya bergantung kepada waktu, tempat dan perorangan. Tidak boleh diukir di batu. Tapi pastinya sesuatu seperti membunuh dan korupsi adalah kesalahan yang mutlak. Tapi semua hal yang menyangkut bagaimana kita bicara, berpakaian, menyapa orang, berinteraksi dengan orang lain, harus dianggap enteng.

Saya merasa ada keseragaman di masyarakat Indonesia, yang saya juga termasuk kadang-kadang, bahwa kita sangat suka menghakimi. Untuk mengatakan bahwa ada satu jalan ke "surga" atau "neraka", untuk mempertanyakan hal yang tidak relevan, untuk tidak menghormati orang yang ada di luar "lingkaran" kita, dan untuk mengatakan bahwa masalah yang kompleks selalu ada sisi hitam dan putih. Saya paham bahwa mungkin ini adalah pandangan yang keras, tapi ini adalah langkah awal menuju kebaikan. Ini adalah langkah awal untuk mengesampingkan perbedaan kecil, masalah yang irrelevan dan memfokuskan diri kita semua ke masalah yang lebih besar: ketimpangan dan perubahan iklim.

Terutama di Indonesia, menurut saya kita bisa belajar dari bagaimana cara orang Amerika dan Jerman berdemokrasi, untuk kebaikan kita sendiri. Institusi dimana saya bekerja sekarang terletak di daerah negara bagian yang menjadi kunci utama pemilihan presiden di Amerika, karena dari itu banyak orang terkemuka memasuki kota ini dan berkampanye. Dalam kampanye mereka, kita bisa mendengar cerita-cerita para kandidat ini, tentang keluarga, kesulitan mereka, pengalaman berinteraksi dengan orang lain hingga pengalaman personal tapi tetap dalam konteks tujuan program kampanye mereka.

Sekitar dua tahun yang lalu, saya merasa cukup beruntung dapat menyaksikan bagaimana Jerman berada dalam fase "pemanasan" untuk pesta politik mereka. Di kota kecil dimana saya berkuliah, dengan 40,000 penduduk, tenda-tenda yang warnanya mengikuti warna partai tertentu terbentang di sepanjang jalanan. Mereka menyuarakan masalah mulai dari imigrasi, revolusi energi, pensiun, pendidikan, hingga digitalisasi industri. Melihat ada perbedaan? Saya biarkan kalian menilai sendiri.

Tapi hanya dari sudut pandang ini, pendekatan yang mana yang paling cocok untuk digunakan untuk menyelesaikan masalah dunia? Mulai dari konsep-konsep keberlanjutan yang dipromosikan lewat SDG, laporan IPCC dan hasil-hasil penelitian dari akademisi, dari konsep hingga menjadi kebijakan. Pendekatan mana yang akan menyelesaikan ketimpangan yang semakin besar di Indonesia, kebakaran hutan, atau kekeringan?

Pada akhirnya, ini hanyalah sudut pandang, yang pastinya ada kecondongan tertentu. Ini semua berdasarkan pengalaman saya sendiri, yang kekurangan pendidikan politik dan literatur. Yang bisa saya pelajari dari pengalaman berpindah-pindah tempat adalah kita harus berpikiran terbuka. Berpikiran terbuka bukan berarti kita tidak memiliki nilai-nilai yang dipegang atau bersifat anarkis. Ini berarti mencoba mendengar dan mencari informasi terlebih dahulu, sebelum menghakimi sesuatu. Ini sangat membantu dalam berteman dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda.

Contohnya seperti saya, anak laki-laki dari rumah tangga menengah bisa berteman dengan orang Itali yang berasal dari daerah perkampungan di suatu pegunungan di sana atau orang Kenya yang berasal dari pinggiran kota yang adalah pekerja keras atau sampai orang yang termasuk golongan top 1% di Amerika. Pelajaran ini menjadikan kita lebih netral dalam melihat suatu konflik dan lebih termotivasi dalam mencari solusi dan inovasi untuk mengatasi masalah tersebut. Ini diibaratkan seperti sedang berjalan di pinggir jurang, dengan lereng yang licin, tapi dengan 7,5 miliar orang dan sumber daya yang terbatas, bagaimana mungkin?

*Maulana Permana Ajie, 22 tahun, tinggal di Hanover, Amerika Serikat. Mahasiswa di Hochschule Rhein-Waal Kleve di bidang Bioengineering (Bioteknologi), saat ini sedang menjalani program Magang di Dartmouth College sebagai asisten peneliti.
 

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di luar negeri. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.

Maulana Permana Ajie #DWnesiaBlog