1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jerman Lawan Ekstremisme Lewat Video Satire di YouTube

Louisa Wright
26 Agustus 2019

Pemerintah negara bagian Jerman, Nordrhein-Westfalen (NRW), menggunakan humor dan saluran YouTube untuk menangkal ekstremisme Islam di Jerman.

https://p.dw.com/p/3OUZa
Symbolbild Salafismus Anwerbung
Foto: picture-alliance/dpa/R. Peters

Kelompok radikal kerap menggunakan saluran berbagi video YouTube untuk menarik perhatian kaum muda.  Kini, pemerintah Nordrhein-Westfalen (NRW) ingin melawan dengan media  serupa. Melalui platform berbagi video YouTube, mereka meluncurkan video-video satire, dengan harapan bisa mencegah anak-anak muda terpapar radikalisme.

Proyek yang diluncurkan oleh pemerintah NRW untuk Perlindungan Konstitusi terdiri dari dua bagian: saluran YouTube yang berisi video satire  dan saluran faktual yang menyertainya.

Saluran "Jihadi Fool" yang lucu, diluncurkan pada hari Kamis (22/08) di pameran Gamescom di Köln, dengan format komedi. Sedangkan saluran pendidikan mengacu pada video satire dan melawan propaganda Salafi dengan menyuguhkan fakta, baru diluncurkan Selasa besok (27/08).

Nama "Jihadi Fool" dipilih, mengacu pada pilihan istilah "Jihad Cool," yang digunakan oleh para ekstremis yang ingin mengubah citra jihad sebagai gaya hidup yang modis.

Selama setahun, 32 video satire dan 16 video faktual akan dirilis melalui proyek senilai lima ratus ribu Euro.

Saalah satu  video satire yang mereka produksi menunjukkan bagaimana populis sayap kanan dan ekstremis Islam sama-sama bersikap seksisme dan homofobia ketika mencoba untuk mempengaruhi orang-orang yang lewat di jalanan. Video lainnya lain menunjukkan acara TV fiksi berjudul "Selamat tinggal Suriah," berkisah tentang seorang mantan ekstremis yang berusaha beradaptasi hidup di Jerman.

Video saluran tersebut telah ditonton lebih ribuan orang dan menerima komentar beragam: Beberapa pemirsa menganggapnya lucu, sementara yang lain mengeritik pemakaian uang pembayar pajak. 

Ekstremis di NRW 'masih aktif'

Menteri Dalam Negeri NRW, Herbert Reul mengatakan dalam sebuah pernyataan pers bahwa dengan kalahnya Negara Islam (ISIS) bukan berarti 3.100 ekstremis Salafi yang tinggal di negara bagian berpenduduk paling padat di Jerman itu  ‘menguap‘.

"Mereka masih aktif dan menggunakan semua saluran di mana mereka dapat menemukan target: kaum muda," tandas Reul.

Herbert Reul (CDU)
Mendagri NRW, Herbert Reul.Foto: picture-alliance/dpa/F. Gambarini

Dia menyoroti pentingnya menggunakan platform online yang sama untuk memerangi radikalisasi dengan target kaum muda. Reul menambahkan bahwa "kecerdasan, humor, dan fakta adalah senjata terkuat demokrasi."

"Sebuah badan perlindungan konstitusional yang menjalankan tugas pencegahannya dengan serius tidak bisa memilih untuk tidak aktif di platform semacam itu," kata Reul. "Kita harus masuk ke tempat kelompok sasaran kita."

Jawaneh Golesorkh, seorang peneliti di Ufuq - sebuah organisasi pencegahan radikalisme, mengatakan video satire adalah ide bagus, tetapi keberhasilannya akan tergantung pada bagaimana mereka ‘menjualnya‘.

"Kita tahu bahwa kalimat-kalimat balasan (dalam video), terutama jika dicap berasal dari lembaga pemerintah, tidak seefektif jika berasal dari influencer," katanya.

Golesorkh menambahkan bahwa Ufuq telah berhasil bekerja sama dengan komedian Jerman terkenal di masa lalu dan membuat inisiatif seperti "Say My Name," proyek dari Badan Federal Jerman untuk Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan mencegah ekstremisme di kalangan perempuan muda antara usia 14 dan 25. Mereka  menggunakan video dari influencer yang membahas berbagai topik, termasuk identitas dan radikalisasi.

Sejarawan dan pakar Islamisme, Christian Osthold mengatakan kepada DW bahwa meskipun video satire dapat berkontribusi pada perjuangan melawan ekstremisme,agar bisa berhasil, penting kiranya untuk melibatkan orang-orang yang memiliki otoritas dalam komunitas Islam.

Kelemahan untuk membalas pesan-pesan Islamis di YouTube, kata Osthold kepada DW, adalah bahwa platform tersebut terutama digunakan oleh para pengkhotbah Salafi yang sekarang tahu betul bagaimana cara efektif memanipulasi kaum muda muslim.

Hambatan lain untuk mencegah radikalisasi adalah bahwa "para imam yang dapat menangkal ide-ide Salafi di masjid-masjid, sering kali tidak bisa berbahasa Jerman dengan baik," tambahnya.

Kaum ekstremis mengubah taktik

Jawaneh Golesorkh dari Ufuq mencatat bahwa taktik para ekstremis telah bergeser dalam beberapa tahun terakhir. Selain menggunakan Instagram untuk menyebarkan pesan mereka, mereka kurang fokus pada agama dan lebih mengarah pada topik umum seperti politik, kapitalisme dan feminisme.

"Misalnya, Anda langganan akun ‘Generation Islam‘ di YouTube, maka Anda tidak akan dapat mengetahui bahwa ini adalah situs Islam karena mereka membahas topik sehari-hari seperti rasisme."

Pemilik situs saluran di media sosial atau orang lain kemudian dapat menjangkau beberapa pengguna media sosial di bagian komentar dan mencoba meradikalisasi mereka.

Namun, banyaknya orang yang meng-klik ikon: suka dan pemirsa video-- bukan indikasi bahwa orang-orang yang menonton menjadi radikal, katanya lebih lanjut.

Identitas di garis depan

Golesorkh mengatakan bahwa dalam studinya, Ufuq juga menemukan bahwa proyek deradikalisasi dapat berhasil jika proyek tersebut tidak berfokus secara khusus pada radikalisasi Islam tetapi juga topik-topik demokrasi dan imigrasi.

Di antara topik-topik itu, yang perlu ditangani dengan sensitivitas adalah identitas dan agama.

"Jika Anda mengangkat isu (agama), Anda harus berhati-hati karena  selalu saja ada seseorang yang tahu lebih baik atau berbeda pendapat," kata Golesorkh.

"Daripada mengatakan 'Aku akan menunjukkan kepadamu cara hidup,' lebih baik melakukannya dengan memperlakukan orang secara setara," tambahnya.

Radikalisasi sering kali muncul dari perasaan bukan bagian yang berharga dari masyarakat dan merasa tidak menjadi bagian dari suatu komunitas.

"Manusia adalah makhluk sosial yang berjuang untuk penegasan dan pengakuan terhadap diri mereka di lingkungannya," kata Christian Osthold kepada DW.

Dia mengatakan bahwa ketika orang merasa mereka bukan milik komunitas tertentu, mereka cenderung berpaling dari masyarakat. Inilah saatnya mereka menjadi "rentan terhadap pengaruh para pengkhotbah Salafi, yang mengatakan: 'Bukan kamu yang menjadi masalah karena kamu adalah seorang Muslim, tetapi orang-orang non-Islam, masyarakat tak bertuhan‘.

Mereka masih tidak bisa ikut pemilu

Golesorkh mengatakan bahwa cara terbaik untuk memerangi radikalisasi adalah dengan menciptakan ruang bagi orang-orang muda di Jerman, agar mereka merasa menjadi bagian dari masyarakat ini.

"Beberapa anak muda melihat bahwa orang tua dan kakek-nenek mereka telah tinggal di sini selama 20 tahun tetapi masih tidak dapat ikut pemilu, misalnya," kata Golesorkh. "Mereka tidak hanya berhadapan dengan pengucilan dan rasisme dalam kehidupan sehari-hari mereka sendiri."

Wolfgang Beus, juru bicara Kementerian Dalam Negeri NRW, mengatakan kepada DW bahwa kementerian akan menilai bagaimana proyek video di YouTube itu berjalan dan jumlah interaksinya sebelum memutuskan untuk memperpanjang inisiatif tersebut untuk satu tahun lagi.

Menanamkan Kembali Semangat Multikulturalisme