1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

NoMeansNo

Naomi Conrad / js7 Juli 2016

Hukum Jerman memperkuat perlindungan terhadap korban pelecehan seksual dan perkosaan. Definisi perkosaan diperluas, yakni siapapun dianggap memperkosa jika aktivitas seksual tak dikehendaki pihak lain.

https://p.dw.com/p/1JKzC
Symbolbild Sexismus Debatte
Foto: dapd

Hukum Jerman sebelumnya terkait kekerasan seksual amat lemah. Sebuah kasus dianggap pemerkosaan hanya jika sang korban secara fisik mencoba melawan pelaku. Aturan hukum tersebut kini diubah jadi lebih keras. Jika korban mengatakan 'tidak' atau menolak aktivitas seksual sementara pihak lain tetap memaksa, maka kasus itu bisa diproses secara hukum.

Christina Clemm, seorang pengacara hukum pidana Jerman menyadari bahwa banyak perempuan yang membawa kasus mereka kepadanya tidak memiliki peluang menang di pengadilan.

Kasus-kasus itu di antaranya: perempuan-perempuan yang melapor mengalami pelecehan seksual di kereta atau trem, misalnya sseorang menyentuh sengaja payudara atau menempelkan badan ke pantat mereka.

Contoh lainya, perempuan yang membolehkan kawan pria menginap di rumahnya setelah pesta karena kemalaman. Namun kemudian perempuan itu menceritakan pada Clemm "Ia meraba-raba tubuh saya, dan meletakkan jarinya di vagina saya, meski saya sudah menyatakan keberatan."

Kasus-kasus semacam itu kandas di pengadilan, karena hakim menilai para perempuan itu "tidak melakukan perlawanan."

Hukum Jerman saat ini melihat perkosaan hanya terjadi ketika korban secara fisik protes atau melawan dan pelaku mengancam, atau ditemukannya penggunaan kekerasan untuk memaksa berhubungan seks.

Lemahnya hukum dalam kasus pelecehan seksual

Hukum Jerman menetapkan bahwa suatu kasus dianggap bukan perkosaan, jika korban hanya memohon dihentikannya aktivitas seksual atau hanya menangis. Meraba-raba, meremas payudara, memegang selangkangan atau pantat seseorang, sejauh ini di Jerman sulit untuk bisa dijerat hukum.

Padahal bagi perempuan, menurut Clemm, pengalaman serangan pelecehan semacam itu sangat mengerikan dan menimbulkan trauma. Perempuan-perempuan yang datang padanya sering mempertanyakan bagaimana serangan seksual yang tidak diinginkan seperti itu bisa dibiarkan begitu saja. Mayoritas warga Jerman kini menginginkan hukuman tegas dan berat atas pelanggaran seksual semacam itu.

Kristina Lunz, aktivis yang mengkampanyekan NoMeansNO menganggap hukum Jerman atas kekerasan seksual saat ini masih terbelakang.
Kristina Lunz, aktivis yang mengkampanyekan NoMeansNoFoto: privat

Itulah sebabnya para aktivis hak-hak perempuan telah lama berjuang bagi dilakukannya reformasi hukum yang mengatur masalah pelanggaran dan pelecehan seksual di Jerman. Sebab banyak korban serangan seksual seringkali mengalami syok, tidak bisa secara fisik membela diri karena mereka takut ancaman kekerasan atau takut bahwa perlawanan mereka hanya akan membuat situasinya makin lebih buruk.

Kristina Lunz, seorang aktivis internet dan salah satu inisiator kampanye "No Means No", menceritakan, ada teman-teman yang diperkosa akhirnya tak mengajukan gugatan: "Mereka menganggap tidak ada gunanya, karena akan selalu dihadapkan dengan pertanyaan: Kenapa kamu tidak membela diri atau melawan,“ ungkapnya.

Kasus pelecehan seksual malam tahun baru di Köln jadi titik balik

Tahun lalu, Kementerian Kehakiman Jerman menyusun rancangan undang-undang tersebut, tetapi menurut Eva Högl, wakil ketua fraksi SPD di parlemen Jerman, rancangan itu terhambat oleh sikap ngotot beberapa anggota parlemen.

Tapi kemudian terjadilah insiden malam tahun baru di kota Köln. Akhirnya perlawanan dari anggota parlemen Jerman-Bundestag yang kebanyakannya adalah kaum pria, mencair.

Di kota Köln, sejumlah besar saksi mata mengatakan melihat peristiwa pelecehan seksual massal terjadi dan dibiarkan oleh aparat keamanan. Ratusan pelaku yang digambarkan "bertampang Arab" meraba-raba organ vital ratusan perempuan yang merayakan malam pergantian tahun dan merampok mereka. Selain itu ada dua gugatan yang diajukan dengan tuduhan perkosaan.

Setelah kejadian itu, mencuat perdebatan panas tentang agama, negara asal pelaku dan rasisme. Hukum tentang pelanggaran seksual yang selama ini dikritik terlalu lemah dan merugikan kaum perempuan yang jadi korban, juga kemudian menjadi sorotan tajam.

Akhirnya hal yang berkaitan dengan isu itu mulai bergerak sangat cepat: RUU dari Kementerian Kehakiman sampai ke kabinet pada bulan Maret 2016. Usulan bahwa UU itu harus secara eksplisit menetapkan prinsip “No means No“ atau “Tidak berarti Tidak” diterima parlemen .

Sebuah loncatan dan pergeseran paradigma

Begitu undang-undang baru disahkan, setiap orang yang mengabaikan "kehendak yang jelas" dari korban pelecehan seksual bisa menghadapi ancaman hukuman hingga lima tahun penjara.

Selain itu, tindakan meraba-raba atau serangan seksual yang diprakarsai oleh kelompok tertentu seperti insiden di Köln - akan didefinisikan sebagai kejahatan pidana seksual.

Semua perubahan ini dengan antusias disambut oleh kelompok yang telah berjuang untuk reformasi hukum, seperti kelompok advokasi korban Weisser Ring dan Asosiasi Pengacara Wanita Jerman (DJB).

Meski demikian, Dagmar Freudenberg tak yakin bahwa "pergeseran paradigma" dalam peradilan pidana itu akan otomatis dapat menyeret pelakunya ke meja hijau.

Freudenberg, yang telah lama bekerja sebagai jaksa menangani kekerasan seksual dan sekarang bekerja untuk perlindungan korban menjelaskan, "Hal ini akan tergantung juga pada kemauan korban, yang sering takut untuk pergi ke pengadilan, untuk melaporkan pelanggaran hukum tersebut."

Menurut organisasi Weisser Ring, hanya sekitar 6 persen dari semua kejahatan seksual yang dilaporkan. Penyebabnya banyak korban merasa malu mebicarakan serangan pelecehan seksual tersebut. Atau korban tidak mau harus menghidupkan kembali pengalaman traumatis itu di ruang sidang.

Namun paling tidak "pergeseran paradigma" hukum ini memberi harapan baru. Christina Clemm akan segera bisa menyampaikan kepada para kliennya bahwa mereka kini mungkin memiliki pelung menang di pengadilan.