1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jokowi dalam Bayangan Dinasti

Ayu Utami14 April 2014

Tantangan berat bagi Jokowi -- tak hanya berada di luar, tapi di dalam, tepat di jantung partai pendukungnya yang masih kuat dilingkupi politik dinasti. Tulisan terbaru Ayu Utami di blog DW.

https://p.dw.com/p/1BhUr
Foto: Reuters

Ia adalah aktor senior. Keluarga besarnya sejak Orde Baru memilih Golkar. Ia ingin Joko Widodo jadi presiden. Tapi dalam pemilu legislatif 2014 ia malah mencoblos Gerindra. Ia tak ingin namanya disebut, sebab tak enak pada keluarga besarnya yang pendukung pohon beringin.

Kenapa tidak tusuk PDIP? Jawabnya, “Ah, semua orang bakal pilih PDIP. Jadi biar ada keseimbangan kekuatan, aku coblos Gerindra.” Ia tahu ketua partai muda itu terlibat kasus pelanggaran hak asasi manusia. Baginya itu isu penting. Tapi ia juga yakin Prabowo tidak akan jadi presiden.

Suara yang didapat banteng tidak mencapai target ataupun prediksi lembaga survei. Bahkan tak sampai 20% agar PDIP bisa mencalonkan presiden sendiri. Efek Jokowi ternyata tak sehebat yang ditabuh, begitu kata lawan maupun elemen dalam partai itu. Tapi, asumsi linear mengenai Efek Jokowi itulah yang mungkin harus ditinjau. Rangkaian pemilu tahun ini mungkin akan menunjukkan bahwa orang tidak berpikir satu aras.

Aktor senior di awal tulisan ini membuktikan bahwa bahkan orang yang ingin Jokowi RI-1 ternyata tidak ingin PDIP jadi dominan. Justru karena kemenangan PDIP sudah diprediksi, ia malah bertindak sebaliknya. Kita boleh berkerut dahi tentang argumennya bahwa Prabowo tidak akan terpilih jadi presiden sekalipun partainya besar. Di sini kita melihat orang membuat perhitungan berdasarkan asumsi yang beragam bahkan bertentangan.

Yang jelas, PDIP belum berhasil peroleh kepercayaan rakyat seperti yang didapatnya begitu Soeharto turun. Itu tentu karena kinerjanya selama 15 tahun Reformasi tidak memuaskan harapan yang dulu demikian besar. Sebetulnya, hal ini tak pada PDIP saja. Orang tampaknya kecewa pada partai-partai yang telah mendapat kesempatan. Harapan baru pun diarahkan pada yang belum betul-betul membuktikan pengalaman berkuasa: Gerindra dan PKB. Mirip konsumen pindah ke merk baru.

Tapi PDIP khas karena satu hal: adanya dinasti. Tak ada pada partai lain. Partai Demokrat nyaris memulainya tapi kini sedang gembos. Dinasti Sukarno adalah kekuatan sekaligus kelemahan PDIP. Tanpa bayang-bayang sang proklamator, banteng bagai tanpa roh. Sayangnya, Megawati dan Puan Maharani sama sekali tidak menimbulkan sentimen positif publik. Mega telah membuat orang kapok memilihnya lagi dalam dua pemilu. Puan dicurigai terlalu ingin berkuasa. Sebagian orang, seperti sang aktor senior, mau Jokowi sekaligus ingin menjegal Puan dari kemungkinan calon wakil presiden. Kita bisa membayangkan Aburizal Bakrie digulingkan dari Golkar atau Suryadarma Ali dari PPP, tapi kita tak bisa membayangkan Mega disingkirkan dari PDIP.

Titik keseimbangan apa yang bisa dicapai PDIP ke depan? Tak semua dinasti menjadi despot atau gagal mereformasi diri dalam iklim demokrasi. Beberapa monarki di Eropa Barat bertahan dengan kekuasaan yang terbatas: Inggris, Belanda, Belgia, Norwegia, dll. Dalam demokrasi, para dinasti ini berubah dari penguasa menjadi pemelihara simbol.

Ayu Utami
Ayu Utami: Pemikiran Sukarno harus dipelihara secara rasional dan terbuka.Foto: Ayu Utami

Dinasti Sukarno bisa mengambil peran sebagai pemelihara “ajaran” Sukarno—lebih baik disebut “pemikiran” Sukarno agar bisa dipelihara secara rasional dan terbuka. Dengan segala kekurangannya di masa tua, Sukarno adalah Bapak Bangsa yang mengartikulasikan kesadaran bangsa dengan sangat visioner. Dinasti dalam PDIP bukan tanpa modal pemikiran (ini tak dimiliki PD seandainya SBY berhasil membangun dinasti.)

Jika dinasti Sukarno bisa menahan nafsu berkuasa, tak memelihara penjilat, membiarkan proses demokratis dalam organisasi, PDIP berpotensi menjadi partai istimewa. Semua partai bisa korup ataupun membersihkan diri dari korupsi, tapi tak semua punya ikatan yang demikian erat dengan awal berdirinya bangsa ini. Lagipula, pemikiran Sukarno jugalah yang dulu menginspirasi Jokowi muda.

Di sebuah TPS di Depok, Ari, seorang arsitek yang keluarganya pernah mendukung PKS, kini juga ingin Jokowi4President. Untuk itu, ia memilih PDIP. Sebagai pernyataan bahwa ia sebetulnya bukan pendukung banteng, ia coblos calon perempuan yang ada di urutan bontot. “Yang suaranya pasti kecil,” katanya.