1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Pendidikan

Kewajiban Sekolah 8 Jam Dihapus

6 September 2017

Presiden Joko Widodo akhirnya mencabut kebijakan sekolah 8 jam setelah mendapat protes dari berbagai organisasi. Peraturan Mendikbud itu dianggap mengancam model pendidikan di pesantren.

https://p.dw.com/p/2jPxM
Gefährliche Schulwege in Indonesien
Foto: picture alliance/AA/A. Rudianto

Dalam waktu dekat, anak sekolah di Indonesia tidak perlu lagi memenuhi kewajiban untuk menghabiskan waktu selama 8 jam di sekolah. Presiden Joko Widodo pada Rabu (06/09) resmi menggantikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tersebut. 

"Jadi baru saja saya tanda tangani mengenai Perpres Penguatan Pendidikan Karakter didampingi oleh para kiai dan pimpinan ormas. Dan saya sangat berbahagia sekali bahwa semuanya memberikan dukungan penuh terhadap Perpres Penguatan Pendidikan Karakter ini," kata Joko Widodo di Istana Merdeka saat didampingi para pimpinan ormas. 

Presiden Joko Widodo menata ulang kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter yang digagas Menteri Pendidikan Kebudayaan Muhadjir Effendy, tersebut karena merespons aspirasi masyarakat dan ormas Islam yang tidak setuju dengan aturan "Full Day School".

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy enggan mengomentari Peraturan Presiden baru yang diteken Presiden Joko Widodo tersebut. "Jadi sifatnya opsional. Jadi ada lima hari, ada enam hari," ungkapnya singkat. Mendikbud juga tidak berada di sebelah Presiden Joko Widodo saat mengumumkan penghapusan Peraturan Menteri tersebut.

Nahdatul Ulama, salah satu ormas yang hadir di Istana Merdeka menyatakan kepuasannya atas peraturan presiden tersebut.  “PBNU mendukung dan mengapresiasi terbitnya Perpres nomor 87 tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karakter," kata Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU. 

Sebelumnya, NU termasuk yang getol menolak Peraturan Menteri yang mengatur waktu sekolah selama 5 hari dalam seminggu atau 8 jam dalam sehari. NU beralasan kewajiban sekolah 8 jam tidak sejalan dengan jam belajar sekolah Madrasah Diniyah yang  dimulai siang hari. Pertengahan Agustus lalu, santri dan guru madin menolak kebijakan “Full Day School“ karena mengancam eksistensi pendidikan pesantren yang selama ini dianggap menjadi kebutuhan orangtua selain pendidikan formal. 

ts/rn (kompas.com)