1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Jokowi Janji Dukung Baiq Nuril Jika Tak Temukan Keadilan

19 November 2018

Presiden Joko Widodo berjanji akan menggunakan kekuasaannya jika Baiq Nuril Maknun tidak menemukan keadilan lewat peninjauan kembali (PK) putusan MA yang menjebloskannya ke penjara.

https://p.dw.com/p/38VrA
Presiden RI, Joko Widodo
Presiden RI, Joko WidodoFoto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres

Presiden Joko Widodo mengaku siap "mendukung" korban pelecehan seksual Bauq Nuril Maknun dalam mencari keadilan. Guru honorer sebuah sekolah menengah atas itu dijebloskan ke penjara oleh Mahkamah Agung lantaran menyebarkan konten asusila saat melaporkan rekaman pelecehan verbal oleh kepala sekolah kepada Dinas Pendidikan.

Oleh MA Baiq Nuril dinilai melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE dan sebabnya divonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp. 500 juta subsider 3 bulan hukuman kurungan. Terpidana kini sedang mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan tersebut.

Baca juga: Vonis Penjara buat Baiq Nuril Adalah "Diskriminasi Gender"

Jokowi mengatakan dirinya harus menghormati putusan kasasi MA. "Sebagai kepala pemerintahan, saya tidak mungkin, tidak bisa intervensi putusan tersebut,” kata Presiden Jokowi. "Kita berharap nantinya melalui PK, Mahkamah Agung dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya. Saya sangat mendukung Ibu Baiq Nuril mencari keadilan," ujarnya di Lamongan, Jawa Timur, Senin (19/11).

Namun apabila masih belum mendapatkan keadilan, Presiden mengatakan akan mendukung Baiq Nuril masih dengan memberikan pengampunan. "Seandainya nanti PK-nya masih belum mendapatkan keadilan, bisa mengajukan grasi ke presiden. Memang tahapannya seperti itu. Kalau sudah mengajukan grasi ke presiden, nah nanti itu bagian saya," ucapnya.

Para pegiat HAM sebelumnya menekan Istana Negara agar bertindak. Southeast Asia of Freedom Expression Network (SAFEnet) misalnya menuntut agar presiden memberikan "amnesti sebagai langkah terakhir ketidakadilan ini," kata Jurubicara SAFEnet Ika Ningtyas dalam keterang persnya, Minggu (18/11) seperti dikutip Jakarta Post.

Desakan serupa dilayangkan Nahdlatul Ulama dan Komisi Nasional Perempuan yang meminta kejaksaan agar menunda eksekusi putusan Mahkamah Agung, setelah Baiq Nuril diperintahkan bertemu dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ida Ayu Putu Camundi Dewi, pada 21 November mendatang. Dalam pernyataannya lembaga advokasi itu berdalih putusan MA belum berkekuatan hukum tetap selama belum ada salinan putusan.

Hal itu pula yang sejauh ini menghalangi pengajuan PK terhadap putusan MA.

Sementara itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengatakan bakal mempercepat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Saat ini sebuah petisi yang diunggah di situs change.org agar DPR segera mengesahkan RUU tersebut sudah ditandatangani oleh hampir 95.000 orang.

"Seusai masa reses berakhir dan Dewan kembali bersidang pada 21 November 2017, DPR RI bersama pemerintah akan mengebut penyelesaian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)," kata Ketua DPR Bambang Soesatyo seperti dikutip Kompas.

Undang-undang tersebut diharapkan mampu mengisi kekosongan hukum dalam kasus pelecehan seksual. Saat ini Indonesia hanya memiliki dua produk hukum bisa digunakan untuk menjerat pelaku. Ironisnya kedua Undang-undang tidak berurusan secara langsung dengan pelecehan seksual, yakni UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan Anak

Baca juga:Bagaimana Skor Indonesia di Indeks Kesetaraan Gender 2018? 

Dalam RUU PKS pemerintah mencantumkan sembilan jenis delik kekerasan seksual, yakni perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pembudakan seksual dan penyiksaan seksual

Menurut pemerintah hampir sepertiga perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Komisioner Komnas HAM, Indriyati Suparno, mengkahwatirkan putusan MA dalam kasus Baiq Nuril akan membuat korban lain gentar membawa kasusnya ke ranah hukum.

rzn/hp (dari berbagai sumber)