1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jurnalis Menjadi Sasaran Pembunuhan

2 Mei 2011

Dalam 20 tahun terakhir lebih dari 2000 jurnalis dan pekerja media tewas. Sebagian besar dibunuh secara kejam.

https://p.dw.com/p/117mz
Foto: DW/T.Bougaada

Maria Salazar Ferro dari Kolumbia menyelidiki setiap kasus kematian jurnalis bagi Komisi Perlindungan Jurnalis. Dunia internasional baru mempedulikannya, jika yang menjadi korban adalah jurnalis asing dari media terkenal. Seperti dalam kasus fotograf Tim Hetherington dan Chris Hondros yang tewas 20 April lalu di Misrata melalui serangan granat. Namun, 90 persen dari jurnalis yang menjadi korban adalah wartawan lokal. "Mayoritas jurnalis, setidaknya 70 persen, menjadi papan sasaran agar suara kritis mereka bisa dibungkam atau untuk balas dendam atas berita yang mereka keluarkan." Demikian penegasan Maria Salazar Ferro.

Komisi Perlindungan Jurnalis telah menyelidiki dan menilai 861 kasus kematian. Berdasarkan penyelidikan tersebut, 39 persen jurnalis yang tewas tengah menulis tentang tema politik. 34 persen melaporkan perang dan konflik. 21 persen tentang korupsi. Dan 14 persen melaporkan tentang kejahatan dan pelanggaran HAM. Salazar Ferro mengatakan, "Sebagian besar pembunuh jurnalis lolos dari hukuman, karena pemerintah tidak tertarik untuk mengungkapnya. Baik karena mereka sendiri terlibat atau karena bagi mereka terbunuhnya seorang jurnalis bukanlah hal yang penting."

Mereka yang khususnya terancam adalah para pelaku media di Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin. Lima negara yang paling mematikan bagi jurnalis dalam 10 tahun terakhir adalah Irak, Filipina, Aljazair, Rusia dan Kolumbia. 90 persen kasus pembunuhan jurnalis tidak terungkap. Kembali Salazar Ferro : "Jika seorang jurnalis dibunuh dan pembunuhnya bebas dari hukuman, lalu penyelidikan dihentikan, maka ini akan memberikan sinyal yang mengerikan bagi semua koleganya. Ketakutan dan usaha menyensor sendiri bisa terjadi. Jika reporter menyensor dirinya sendiri, maka ini adalah pelanggaran berat bagi kebebasan pers. Dan tanpa media bebas tidak ada demokrasi."

Jurnalis kini lebih sering diangap sebagai musuh dibandingkan di masa lalu. Internet memperkuat tren ini. Demikian menurut Rodney Pinder, direktur institut internasional bagi keamanan berita. Pinder kerja selama puluhan tahun bagi kantor berita Reuters sebagai koresponden luar negeri dan pimpinan berita. "Dulu jurnalis disambut dalam situasi konflik yang berbeda-beda. Semua protagonis membutuhkan jurnalis. Tetapi sekarang setiap orang bisa memasang beritanya di internet dan melakukan propaganda dengan video dan wawancara. Jurnalis yang berargumen dan memberikan bukti hanya akan mengganggu. Dalam konflik sekarang ini kita punya lebih dari satu musuh."

Lima tahun yang lalu, dalam Resolusi 1738 Dewan Keamanan PBB menyerukan untuk melindungi jurnalis di wilayah konflik dan memperlakukan mereka sebagai warga sipil. Namun, tidak ada yang berubah sejak pernyataan tersebut. Badan tertinggi PBB ini belum pernah menjatuhkan sanksi atas pelanggaran terhadap perlindungan jurnalis. Organisasi seperti institut internasional bagi keamanan berita menuntut agar jurnalis dilatih secara profesional, mendapat pelatihan keamanan dan hanya diberangkatkan ke situasi yang berbahaya dengan peralatan yang sesuai.

Sandra Petersmann / Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Hendra Pasuhuk