1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kafe Fasis

Ayu Utami5 Agustus 2013

Seberapa berbahaya bermain-main dengan pelaku kejahatan kemanusiaan? Penulis beken Ayu Utami memberikan pandangannya tentang sikap abai kita melihat sejarah dalam kasus kafe Nazi di Bandung.

https://p.dw.com/p/19Joy
Foto: Getty Images/AFP/Adek Berry

Ada sebuah kafe. Namanya Soldatenkaffee. Bukan di Jerman melainkan di kota yang dulu disebut “Paris van Java”. Kota itu, Bandung, baru mendapat walikota baru: seorang arsitek muda yang didukung partai agama. Sang walikota segera mengumumkan rencana untuk menjadikan Bandung kota wisata syariah. Itu menjadi lumayan kontroversial. Maklumlah, contoh daerah syariah adalah Aceh. Dan di sana berlaku hukum cambuk, kewajiban busana muslim, dan penutupan banyak gereja. Tak terlalu menyenangkan bagi orang yang tak ingin dicambuk, tak ingin berbusana muslim, dan tak sefaham dengan penguasa daerah.

Sementara itu Soldatenkaffe sudah ada sejak 2011 di jalan Pasir Kaliki, tapi baru dihebohkan menjelang tengah 2013. Media internasional meliput kafe yang mengkhaskan diri dengan gaya Nazi dan Hitler. Fasadnya berlambang SS. Interiornya dominan merah. Penuh dengan foto, poster, memorabilia dan pelayannya pakai seragam pasukan fasis Jerman itu. Untunglah tidak terlihat alat-alat penyiksa di sana. Dan tentu tidak ada foto korban kamp konsentrasi.

Indonesien Nazi-Symbolik
Kafe Fasis Soldaten akhirnya berganti tema menjadi kafe Perang Dunia II. Tapi tetap ada poster Hitler dan lambang Nazi di sana.Foto: Getty Images/AFP/Adek Berry

Yang punya kafe sama sekali tidak melihat ada masalah. Kira-kira argumennya: genosida itu kan masih kontroversi, jadi belum pasti. (Kalaupun pasti) dalam perang selalu ada kejahatan terhadap kemanusiaan. Mendengar ini, yang biasa hidup di Eropa akan mengelus dada. Hitler adalah penjahat terbesar dalam kesadaran Eropa modern. Tapi, serius, kita perlu mencermati ini sejenak. Ada yang lebih dalam daripada sekadar kitsch tentang militerisme dan fasisme.

Bertahun lalu saya bertemu duta besar RI untuk satu negara Eropa berbahasa Jerman. Dia orangnya lucu. Tapi kali itu kata-katanya tidak membuat teman bule saya tertawa; sebab dia bilang: “Oh! Presiden pertama kami, Sukarno, mengagumi Hitler!” Sumpah, buat kawan Eropa tadi itu adalah kalimat yang sangat mengerikan. Dan itu diucapkan oleh diplomat utama.

Ada yang lebih dalam dari sekadar nostalgia kegagahan militer Jerman. Kita tahu, rezim fasis dan komunis sekitar Perang Dunia memang jago membuat citraan visual yang gagah dan keren membius―sebab mereka memang mau mencuci otak orang. Jadi, memorabilia kaum fasis memang secara estetik-visual seru. Lagipula, dari dulu Bandung juga penuh dengan industri rumah untuk aparel gaya militer. Para pemuda dan pecinta alam menyukainya. Harus diakui, kegagahan memiliki pengikut.

Pertanyaannya: seberapa berbahaya sesungguhnya memuja kegagahan atau bermain-main membikin glamorisasi terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan? Pendiri dan pelanggan kafe bisa bilang: ah, Soldatenkaffee ini kan cuma lucu-lucuan persaingan bisnis F&B di perkotaan. Semua memang palsu. Semua sekadar gaya. Semua “KW”. Kenapa sih serius banget?

Saya sebetulnya bukan orang yang suka terlalu tegang. Tapi memang ada yang perlu dicermati, yang lebih dalam dari sekadar lucu-lucuan:

Ayu Utami
Ayu Utami: Kafe fasis menunjukkan sikap menghalalkan kejahatan atas kemanusiaan.Foto: Ayu Utami

1) Bahkan pernah ada diplomat kita yang tidak punya kepekaan tentang arti pembunuhan etnik yang dilakukan Hitler bagi Eropa.

2) Di balik semua yang “KW” ada “Ori” yang dirindukan. “KW” adalah istilah pasar untuk barang palsu berkwalitas (KW). Ada KW super: kualitas super. Ada KW 1: kualitas wahid. Dan “Ori” adalah barang original. Nah, di balik semua tiruan ada kerinduan akan yang asli. Jadi, di balik kitsch atas pasukan Hitler (bisa) ada kerinduan akan “Hitler dan pasukannya” yang sesungguhnya. Betulkah?

3) Penghargaan akan Hitler bukannya tidak ada. Lihat poin 1 tadi. Dan bukan cuma itu. Berselancarlah sedikit di internet dan temukanlah beberapa laman berisi spekulasi tentang Hitler mati di Indonesia. Anehnya, teori tentang Hitler mati di Sumbawa itu justru bernada positif. Sebab, dikabarkan ia telah masuk Islam dan telah menikah dengan seorang wanita setempat yang memanggil dia “Adolf”. Silakan cari dengan kata kunci Hitler Indonesia. Sebuah buku juga ditulis tentang ini.

4) Belum lagi jika kita hitung sentimen anti Yahudi. Perlu dicatat: kampanye anti Yahudi yang pertama di Indonesia bukan dilakukan oleh pembela Palestina melainkan oleh Jepang (yang bersekutu dengan Hitler) di masa penjajahan.

Jadi, seberapa berbahaya? Jawabannya bagi saya: seberbahaya ketidakpedulian kita pada pemujaan militerisme yang diam-diam ataupun terang-terangan menghalalkan kejahatan terhadap kemanusiaan (biasanya korban berwujud manusia yang dianggap berbeda).

Pernah ada sebuah kafe fasis.