1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

140710 Megacitys Kairo LANG

21 Oktober 2010

Kairo terkenal sebagai kota dengan seribu wajah. Belal Fadl adalah seorang di antara penulis muda Mesir. Benci tapi cinta, itulah gambaran perasaan Bela Fadl tentang Kairo.

https://p.dw.com/p/Pk3E
Jurang antara miskin dan kaya sangat lebar di kota KairoFoto: DW

Salah satu kafe paling terkenal di Kairo, Café Riche namanya. Biasanya kaum intelektual Kairo senang berkumpul di sini. Di tahun 60-an, Umm Kalsoum, penyanyi Mesir dan diva dunia Arab sering berkonser di sini. Juga Najib Machfuz pemenang hadiah Nobel Sastra adalah langganan tetap. Begitu cerita Belal Fadl, seorang penulis muda Kairo. Ia baru saja memesan dua teh hitam, yang segera datang, mengepul panas dalam gelas-gelas kecil yang bening.

“Bagiku Kairo itu sebuah aquarium. Aku cuma perlu menyelam untuk masuk ke aquarium itu. Dan di situ akan kutemukan karaker dan tema-tema untuk bukuku sendiri. Misalnya, tokoh penjual koran yang diceritaku itu, dia benar-benar ada. Kios korannya tak jauh dari rumahku. Dan sikapnya terhadap semua koran yang dia jual itu sama, baik itu koran yang mengritik maupun yang memuji pemerintah. Buat dia semua koran itu berbohong. Padahal mata pencaharian dia adalah dengan menjual koran-koran itu. Bagi aku itu betul-betul menarik,” cerita Belal Fadl mengenai keseharian kotanya, Kairo.

Bertahan Hidup

Belal Fadl merinci lebih jauh kehidupan di rakyat di megacity Kairo. Bagaimana kehidupan masyarakat kota, masalah apa saja yang dihadapi dan bagaimana upaya mereka agar bisa bertahan hidup di kota besar itu. Bagi Fadl yang menarik adalah kehidupan para warga kota yang miskin, yang tidak punya apa-apa. Dalam bukunya, “Al Sukkan Al Assleyan le Masr” yang bisa diterjemahkan sebagai “masyarakat asli Mesir”, ia membedakan antara kaum asli yang miskin dan kalangan atas Mesir yang hidup dari kekayaan negara itu. Di Kairo, Belal Fadl dijuluki “Khattib el Ghalabah” atau penulis miskin.

“Aku merenungkan, sejauh apa… maksudku, jarak pemerintah Mesir ini dari pengertian tentang apa yang betul-betul dibutuhkan oleh rakyatnya. Di satu pihak, orang-orang seperti si penjual koran itu harus membereskan persoalan sehari-harinya. Di pihak lain, pemerintah sibuk dengan urusan lain. Menurutku, seorang penulis sangat beruntung bila lahir di kota-kota seperti Kairo atau Istanbul. Penulis di kota-kota lain musti kerja keras dan sangat kreatif untuk menciptakan tokoh dan tema untuk bukunya. Tapi untuk mencari inspirasi di Kairo dan Istanbul, seorang penulis hanya harus keluar ke jalan saja.“

Megacity Kairo Bild 20
Timbunan sampah banyak ditemukan di penjuru kotaFoto: DW

Kota Yang Mendatangkan Inspirasi

Kairo memang dikenal sebagai kota dengan seribu wajah. Resminya ada 16 juta orang yang tinggal di ibukota Mesir ini, tapi para penduduk yakin bahwa sebenarnya jumlah penduduk lebih banyak daripada itu. Buktinya, jalan-jalan selalu padat, bahkan bisa dibilang lebih dari penuh. Juga penuh dengan cerita, dan karena itu juga Kairo kerap menjadi inspirasi bagi banyak sekali penulis muda Mesir.

Dalam sepuluh tahun terakhir, di Kairo berkembang komunitas sastra yang sangat kuat. Penulis-penulis muda mulai menulis tentang kotanya. Sebuah kota yang dicinta tapi juga dibenci. Mereka tak hanya menggambarkan sisi kelamnya, tapi juga sisi yang cerah dan bidang abu-abu luas yang mengisi bagian kehidupan rakyat. Bahwasanya pemerintah Mesir tidak memenuhi harapan rakyat kebanyakan, tak tampak memperhatikan kepentingan negara dan berusaha melarikan diri dari persoalan.

Para penulis menggambarkan infrastruktur kota yang hampir semua tak berfungsi, seperti sistim pembuangan sampah. Bau busuk sampah hampir selalu tercium ketika berjalan-jalan di Kairo, terutama di kawasan kumuh yang penuh sesak dengan orang-orang yang terpaksa hidup tanpa persediaan air bersih, meskipun sungai Nil yang begitu besar dan panjang melintasi wilayah Mesir.

Himbauan kepada Pemerintah

Menurut Belal Fadl, banyak borok yang dapat diungkit melalui tulisan. Ia mengeluarkan bukunya dari tas. Salah satu judul cerpennya berjudul: "Tuan Presiden, saya ingin menggaruk". Sebuah cerita mengenai unjuk rasa pada tanggal 6 April 2008, yang digelar orang-orang muda di Kairo untuk memrotes tingginya inflasi dan upah yang kelewat rendah. Banyak demonstran yang ditangkap ketika itu. Namun dari aksi itu malah tumbuh sebuah gerakan politik yang diberi nama Shabab 6 April, atau Gerakan Pemuda 6 April.

“Saya akui Tuan Presiden, saya turut berdemonstrasi. Saya tak akan berbohong tentang itu. Mungkin memang saya telah melakukan kesalahan dengan ikut dalam demonstrasi itu. Tapi apa lagi yang bisa saya perbuat? Saya sudah muak, seperti juga yang lainnya, muak terhadap situasi di Mesir. Kami turun ke jalan dan berunjuk rasa dengan harapan, bahwa Anda akhirnya akan mengerti bagaimana keadaan kami sebenarnya. Dengan harapan, bahwa Anda menghindarkan kami dari harga-harga yang terus melejit. Kami berdemonstrasi agar Anda mengatakan kepada kami, bagaimana orang tua kami bisa menjamin kehidupan yang baik untuk kami meskipun penghasilan mereka sangat rendah. Bagaimana kami bisa mengimpikan masa depan, ketika di sekolah maupun di perguruan tinggi kami tidak mendapatkan pelajaran yang baik? Ya Tuan Presiden, saya berada di demonstrasi itu, seperti yang lainnya. Tapi tak satupun di antara kami yang melakukan kerusuhan. Saya mendengar, bahwa pada demonstrasi itu sebuah sekolah dibakar. Saya sangat sedih, karena itu sekolah saya. Dan meskipun dari segi ilmu, saya tidak mendapat banyak dari sekolah itu, saya memiliki banyak kenangan manis tentang sekolah itu. Saya sangat sedih, bahwa saat demonstrasi terjadi banyak kerusuhan. Tapi, apakah Anda pikir bahwa kami akan setiap hari berdemonstrasi, seandainya puas dengan kehidupan kami?“

Kritik politik yang tegas. Ada banyak bentuk tulisan serupa ini. Tulisan yang diwarnai sarkasme dan humor juga sangat populer. Humor sebagai kritik terdengar di banyak tempat, terutama dalam lelucon-lelucon tentang Presiden Mubarrak dan pemerintahannya.

Flash-Galerie Megacity Kairo Bild 609
Foto: DW

Dari jendela Cafe Riche terlihat jalanan macet yang penuh dengan orang. Tua, muda, perempuan berjilbab maupun yang rambutnya terurai bebas. Turis asing dari Asia dan negara Barat. Persis seperti latar belakang film pedagang asong maupun tukang sapu jalan tampak sibuk melakukan tugasnya. Lambat laun Café Riche semakin penuh, kini dengan para turis asing yang mencari bir dingin atau minuman beralkohol lainnya.

Belal Fadl mulai gelisah. Iapun menyalakan kembali telepon genggamnya dan mohon diri. Ia masih harus menyelesaikan sebuah naskah film yang bersifat kritik sosial. Saat ia membuka pintu cafe, telepon genggamnya berdering. Dan Belal Fadl bergegas hilang diantara hilir-mudik orang yang memenuhi akuarium yang bernama Kairo.

Megacities Ägypten Autor Belal Fadl
Belal FadlFoto: DW/Hafez

Hebatallah Ismail/Edith Koesoemawiria
Editor: Rizky Nugraha