1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kala Indonesia Jadi Surga Pembuangan Sampah

Rizki Akbar Putra
17 Juni 2019

Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara hadapi kenyataan pahit menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah negara-negara maju, setelah Cina tolak impor limbah sejak Januari 2018. 

https://p.dw.com/p/3KZee
Indonesien USA Rücksendung von Müll
Foto: Indonesian Environment and Forestry Ministry

Namun tidak tinggal diam, sejumlah negara kini mulai mengembalikan kontainer berisi limbah dari negara maju. Menyusul Malaysia dan Filipina, kini Indonesia juga ikut mengembalikan kiriman sampah asal Amerika Serikat.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK) berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk mengembalikan lima kontainer berisi sampah milik PT. Adiprima Suraprinta dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya ke negara asalnya, AS.

“Ternyata ditemukan impuritas atau limbah lainnya, atau sampah, antara lain sepatu, kayu, pampers, kain, kemasan makanan dan minuman dalam jumlah cukup besar,” ujar Djati Witjaksono Hadi, Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat dihubungi DW Indonesia, Senin (17/06) di Jakarta.

Djati lebih lanjut menjelaskan bahwa sedikitnya ada dua pelanggaran yang dilakukan PT. Adiprima Suraprinta, selaku importir produsen limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berupa kertas.

Perusahaan yang memiliki izin dari Kementerian Perdagangan ini seharusnya hanya boleh mengimpor sisa-sisa limbah kertas dengan kondisi bersih dan tidak tercampur sampah lainnya. Namun kemudian ditemukan bahan-bahan lain yang juga ada dalam kontainer itu.

Teridentifikasinya kelima kontainer berisi sampah tersebut berawal dari kecurigaan pihak Ditjen Bea dan Cukai saat melihat sebuah kapal yang berlayar dari Seattle, Amerika, masuk ke pelabuhan akhir Maret lalu.

Indonesien USA Rücksendung von Müll
Kontainer sampah yang diimpor berisi bahan lain selain kertas.Foto: Indonesian Environment and Forestry Ministry

Selain itu, KLHK juga tengah mengecek temuan 65 kontainer berisi sampah yang diimpor oleh empat perusahaan berbeda di Pelabuhan Bongkar Muat, Batu Ampar, Batam.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbacun Berbahaya KLHK pun berencana menerjunkan tim gabungan guna mendalami temuan impor sampah dan limbah bahan beracun tersebut.

Pertanyakan manajemen sampah di negara maju

Archie Satya Nugroho dari PT. Guna Olah Limbah, sebuah perusahaan teknologi pengolah limbah berbasis riset, menilai fenomena impor sampah ini terjadi karena adanya penawaran dan permintaan  dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Sampah memang bisa menjadi ladang bisnis yang menjanjikan jika diolah secara tepat. Ini lah yang menjadi salah satu alasan impor sampah dari negara-negara maju.

“Kalau di sana (negara maju) untuk membuang sampah, mengolah sampah tidak murah. Tipping fee di luar negeri jelas berbeda dengan kita di Indonesia. Kalau di sini kadang sampah itu ada nilainya, ada harganya. Kalau di sana harus bayar, di sini dibayar. Para oknum melihat peluang itu,” ujar Archie saat diwawancarai DW Indonesia secara terpisah, Senin (17/06).

Ia juga mempertanyakan kemampuan negara-negara maju dalam mengolah sampah dan menilai teknologi mereka pun tidak mampu menyelesaikan isu sampah secara komprehensif.

Ini membuktikan bahwa negara-negara maju di Eropa dan Amerika juga mempunyai masalah kompleks dalam mengolah sampah mereka sendiri. 

“Saya ga ngerti keputusan mengimpor sampah plastik. Memang kita sudah punya skala industri (besar) yang bisa mengolah sampah? Saya juga ga ngerti, nanti diapakan (sampah impor tersebut). Sedangkan sampah kita  di sini diolah, diekspor ke Cina dulu. Demand di sini ga akan besar untuk mengolah sampah dari luar negeri dan saya lihat jatuhnya akan ke TPA-TPA atau numpuk di TPA baru,” terang Archie.

Lebih lanjut Archie berpendapat Indonesia seharusnya mencontoh Cina sebagai negara pengimpor sampah terbesar. Di Cina, sampah diterima dalam kondisi yang sudah tercacah dan tersortir bebas dari kontaminasi limbah B3.

Ga perlu impor, sampah kita sudah cukup banyak ga habis-habis kalau mau diolah sendiri,” lulusan Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung ini menambahkan. 

Indonesia diklaim sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina. Maka dari itu, Archie menghimbau masyarakat untuk melakukan gerakan antipenggunaan plastik sekali pakai untuk menekan angka tersebut.

Dalam berbelanja misalnya, masyarakat dapat menggunakan tas sendiri untuk membawa barang belanjaan alih-alih menggunakan plastik sekali pakai.

Selain itu membawa botol minum sendiri dibandingkan membeli air minum kemasan juga dapat mengurangi produksi sampah plastik. Namun menurutnya gerakan ini menuntut konsistensi yang tinggi.

Revisi peraturan impor limbah

Sebelumnya Menteri Lingkuhan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, meminta Menteri Perdagangan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun guna mencegah masuknya impor sampah plastik ilegal. 

Menurutnya revisi ini penting untuk menyortir secara spesifik barang-barang yang bisa masuk ke Indonesia berdasarkan HS (Harmonized System) Code-nya.

“Permendag tersebut harus lebih spesifik, mengingat definisi sampah, plastik, maupun kertas juga menjadi perdebatan panjang dengan perindustrian dan perdagangan. Yang penting spesifikasi HS Code-nya harus jelas,” ujar Siti Nurbaya dilansir dari Antara.

“Izin itu keluar dari Kemendag, rekomendasi dari KLHK. Makanya kalau dari kita ketahan, mereka rewel. Dan kalau rekomendasi dijalankan, biasanya oleh KLHK diperiksa di lapangan. Jadi KLHK agak rewel memang,” tambah mantan Sekjen DPD RI tersebut.

Saat ini negara-negara di Asia Tenggara dibanjiri kiriman limbah dari negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Hal ini terjadi setelah Cina secara tegas menutup keran impor sampah pada Januari 2018 silam. Imbasnya pada Mei lalu, Malaysia  menerima 3.300 ton sampah plastik dari Eropa, Amerika Utara, dan Australia.

ae/hp (afp, Kompas, Antara)