1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kala yang Terkasih Kehilangan Kenangannya

29 Mei 2021

Bagaimana menangani pasien demensia? Seorang perawat untuk mereka yang lanjut usia di Jerman berbagi pengalaman tips bagi keluarga yang anggotanya mengalami demensia.

https://p.dw.com/p/3tzOD
Membantu pasien demensia
Gambar ilustrasi pengidap demensia.Foto: picture-alliance/dpa/D. Hecker

Alia terbelalak matanya, ketika neneknya yang orang Jerman bertanya siapa dirinya, saat ia menelpon sang nenek di pinggiran ibu kota Berlin. Gadis berusia 21 tahun yang tinggal di Kota Köln, Jerman itu bergegas memesan tiket kereta untuk mengunjunginya. Neneknya yang berusia 68 tahun itu tinggal sendirian. Rumah orang tua dan paman-bibinya tak jauh dari nenek Alia.

"Mereka bercerita, sindrom demensia yang diderita nenek sudah lebih dari dua tahun, namun makin lama nenek makin menurun kondisinya, seperti tidak ingat banyak hal, kembali ke masa lalu. Jadi mereka memutuskan untuk memindahkan nenek ke rumah jompo yang bagus perawatannya untuk penderita sindrom demensia," ungkap Alia.

Kakek Alia sudah meninggal sepuluh tahun sebelumnya. Namun menurut cerita orang tua dan paman bibinya, si nenek kadang sering berpikir suaminya masih hidup. "Kadang dia mencari suaminya di ruangan-ruangan rumah lalu marah-marah karena dipikir suami ‘kelayapan' terus, padahal sudah malam. Ibu saya sampai menangis, tak tahu harus menjawab apa,” papar Alia.

Cara menangani pasien demensia

Keluarga Alia tidak sendirian. Dalam beberapa kasus anggota keluarga membutuhkan tips dalam menangani anggota keluarga mereka yang mengalami demensia. Perawat lansia di rumah-rumah jompo di Jerman, rata-rata mendapatkan pendidikan khusus dalam menangani pasien demensia.

Brigita Saputra salah satunya. Perempuan yang tinggal di Kota Karlsruhe, Jerman ini bercerita, pernah terjadi, seorang ibu berusia 80 tahun di panti jompo tempatnya bekerja tiba-tiba menengok ke arah jendela saat mentari tebenam. "Dan dalam keadaan panik, beliau berkata: Hari sudah gelap. Saya harus pulang ke rumah, karena suami saya akan pulang dari kantornya dan anak-anak saya butuh makan, saya harus memasak. Faktanya, suami ibu ini sudah meninggal.”

Brigita Saputra, perawat.
Brigita, menempuh pendidikan di Jerman, membatu manula.Foto: Privat

Situasi seperti itu sering ia jumpai di panti jompo. Menurutnya situasi ini merupakan tantangan yang bukan hanya untuk bagi perawat, namun juga para anggota keluarganya. "Menurut saya ini cukup menyedihkan, ketika orang yang kita kasihi sudah tidak dapat mengingat memorinya lagi,” ungkapnya.

Dari yang Brigita pelajari, memori itu seperti rak yang besar dengan begitu banyak ‘laci-laci', di mana ‘laci-laci' itu merupakan memori. Bagi penderita demensia, ada beberapa ‘laci‘ mereka yang hilang atau menyusut, sehingga tidak dapat lagi mengingat memori secara sempurna.Penderita demensiacenderung akan kembali pada memori masa lalu, termasuk ada juga kembali ke masa mereka masih kanak-kanak. Namun kadang kala ada anggota keluarga yang justru memperlakukan mereka seperti anak kecil. "Hal yang seharusnya dilakukan oleh anggota keluarga adalah, memperlakukan penderita demensia sesuai dengan usianya. Tidak dengan seolah-olah berbicara ke anak-anak," tandas Brigita.

Martin Prince, profesor epidemiologi psikiatri di King's College London mengatakan semua sistem dalam tubuh akan mengalami degenerasi dalam spektrum luas, seiring bertambahnya usia. "Dari umur 25 tahun ke atas, sejumlah sel saraf yang memainkan fungsi tertentu dalam otak akan berkurang secara bertahap. Juga terjadi beberapa perubahan dalam performa kejiwaan," ujar Prince. Prince menjelaskan, penyakit otak yang paling sering menyebabkan demensia adalah alzheimer. 70 persen penderita demensia adalah pengidap alzheimer.

Yang terpenting pahami perasaan mereka

Perawat lansia Brigita Saputra menjelaskan, bila ada anggota keluarga yang mengalami demensia, keluarga bisa membantu dengan melakukan stimulasi memori dengan memperlihatkan foto-foto saat penderita masih muda, foto kerabat atau anak-anak mereka, atau bisa juga dengan cerita mengenai kehidupan mereka dulu.

Sebagian penderita demensia itu masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Namun tidak dipungkiri ada beberapa kendala, seperti di antaranya dalam hal kebersihan personal, atau aktivitas makan dan minum. Brigita berbagi tips merawat pasien demensia: "Kita pun juga harus memberikan kepercayaan kepada mereka, dengan tetap mengawasi mereka. Terkadang memang ada situasi sulit saat merawat penderita demensia. Namun, jangan ragu untuk menghubungi bantuan profesional."

Bagi anggota keluarga demensia, sisi emosional mereka pun berperan, termasuk beban mental. Sehingga ada baiknya anggota keluarga pun mendapat pendampingan psikologis.

Brigita memaparkan ada empat hal yang perlu dilakukan dalam menangani pasien demensia: respek, empati, dan kongruen atau integritas. "Respek dalam komunikasi artinya, kita perlu menerima mereka apa adanya. Lalu, kita juga perlu memahami perasaan mereka dan juga mencari tahu, apa yang seharusnya kita perbincangkan dengan mereka. Seperti contoh, dalam situasi makan ada penderita demensia mengatakan: Ah, spagetti saya berantakan, saya akan menjawab: Bapak atau Ibu sedang merasa cemas atau pikirannya saat ini sedang kacau, bukan begitu?" demikian tips yang dibagikan Brigita.

"Bicara dengan hati pastinya akan lebih mudah bagi mereka untuk mengerti. Jangan justru berbohong. Seperti contoh dengan ibu yang lupa bahwa ia tinggal di panti jompo, sebenarnya saya bisa saja mengatakan: Tenang saja, jangan panik, anak Anda akan pulang-- untuk menenangkan beliau, tapi kebohongan itu akan memicu dia untuk tidak lagi percaya sama saya dan juga bisa melukai perasaannya," tambah Brigita lebih lanjut.

Yang terpenting, mereka yang menangani pasien demensia mencoba memahami perasaan mereka, bahwa mereka sedang cemas dan ada ingatan yang mengusik pikirannya. "Jangan juga langsung mengonfrontasikan beliau dengan kenyataan bahwa suaminya telah meninggal dunia, misalnya" papar Brigita. Sebaiknya ajak mereka berbicara mengenai apa yang sedang dirasakan sekarang, kesedihan atau kecemasan, contohnya. Lalu, membuat mereka nyaman untuk mengutarakan kesedihan dan kecemasannya.

Kini ada teknologi "Machine Learning" untuk mengenali demensia. Data dalam jumlah besar dihubungkan oleh sebuah algoritme. Komputer yang dilengkapi inteligensia artifisial ini belajar mengenali sklerosis multipel atau MS, dan serangan demensia pada otak. Semakin besar dan terperinci datanya, semakin tepat pula hasilnya.