1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kamerun: Kayu Hilang, Duit Melayang

3 April 2007

Kamerun yang terletak di barat Afrika kini sedang berkutat memerangi pembalakan liar. Selain merusak hutan, pembalakan liar juga merugikan perekonomian negara.

https://p.dw.com/p/CTBQ
Foto: Carine Debrabandère

Siapa yang tak kenal fungsi hutan buat kelangsungan kehidupan di bumi. Selain paru-paru dunia, hutan juga menjadi rumah bagi jutaan hewan. Tapi lihatlah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, setiap tahunnya sekitar dua juta hektar hutan menghilang dari muka bumi. Artinya, setiap hari manusia menerabas hutan seukuran 55 lapangan bola.

Celakanya cuma sedikit saja yang tahu, bahwa pengrusakan hutan akhirnya akan berdampak juga pada Manusia. Pasalnya hutan yang mampu menyimpan zat karbondioksida dalam jumlah banyak, bisa mempertahankan keseimbangan iklim di bumi.

Tidak ada negara di Afrika yang kehilangan hutan sebanyak Kamerun. Saat ini Kamerun adalah pengeksüpor kayu terbesar di Afrika. Organisasi lingkungan hidup Internasional WWF sempat mewanti-wanti, kalau pembalakan liar terus marak dilakukan seperti sekarang ini, maka lima puluh tahun kedepan duapertiga hutan di tepi sungai Kongo akan menghilang.

Di atas kertas tren yang mengkhawatirkan itu sebenarnya bisa dihentikan. Dengan mengacu kepada pertemuan puncak di Rio de Janeiro, Brazil, setiap negara penandatangan wajib menjaga kekayaan biologis negerinya, termasuk hutan. Dalam hal ini Bank Dunia yang ditunjuk sebagai pemantau terus mendesak pemerintah di Yaounde untuk menghentikan pembalakan liar yang semakin marak. Bayangkan saja, setengah dari hasil penebangan hutan di Kamerun berasal dari pembalakan liar. Denis Koutou Koulagna, pejabat di kementrian Lingkungan Hidup untuk urusan pembalakan liar:

"Sejak lebih dari enam tahun kami menggandeng bank dunia dan beberapa partner internasional lainnya untuk merumuskan program penebangan hutan yang sejalan dengan penghijauan. Kami juga berusaha membebaskan penggunaan hutan tapi juga mendesak semua pihak untuk menghormati hak tradisional suku penghuni hutan. Kami ingin merumuskan kebijakan tentang bagaimana seharusnya hutan itu digunakan. Dan itu semua akan dikontrol oleh pemantau independen. Dengan cara itu kami bisa menekan angka pembalakan liar serendah mungkin tahun lalu. Kekeliruan yang dibuat dalam konsesi lima tahun lalu, kini tidak lagi mungkin dilakukan. Masalah kini terdapat di komunitas hutan adat. Di sanalah terdapat celah untuk pembalakan liar. Kami akan menghentikan pendirian komunitas-komunitas semacam itu nantinya."

Komunitas hutan adat di Kamerun biasanya tak lebih luas ketimbang 5000 hektar dan digunakan oleh beberapa desa atau keluarga yang tinggal disekitarnya. Hutan adat itu sebenarnya milik negara, tapi oleh komunitas adat setempat hutan-hutan itu disewa untuk jangka waktu 25 tahun.

Celakanya, belakangan semakin banyak cukong kayu yang menyogok komunitas adat setempat untuk memperoleh akses ke hutan keramat tersebut. Tak pelak, ribuan hektar amblas ditelan mesin-mesin penggergaji kayu. Menyaksikan hal tersebut komunitas adat setempat juga tidak bisa berbuat apa apa, hak mereka untuk ikut menentukan area mana saja yang boleh ditebang tak dihiraukan sama sekali. Pemerintah di Yaounde bukannya tak tahu sepak terjang cukong-cukong kayu nakal di wilayahnya itu.

Jutaan dollar duit yang sejatinya bisa dipungut sebagai pajak penebangan hutan hilang begitu saja tanpa jejak. Masalahnya apa lagi kalau bukan korupsi. Bukan rahasia lagi kalau banyak perusahaan kayu yang menyempal mulut petinggi-petinggi Kamerun dengan duit jutaan dolar supaya tidak diusik. Dirk Thies, pengamat masalah kehutanan dari GTZ atau lembaga bantuan teknik Jerman mengungkapkan:

"Sejak sepuluh sampai lima belas tahun lalu, jadi sejak devaluasi mata uang Franc CFA dan ditambah resturkturisasi, gaji para pegawai negeri di Kamerun menurun sebanyak 75 persen. Tentu saja sejak saat itu pula harga bahan kebutuhan pokok menjadi mahal. Jadi sangat sulit memang. Apa lagi tanda tangan seorang pejabat menengah atau bahkan yang lebih rendah pangkatnya dihargai 5000 kali lipat dari gaji tahunan mereka oleh perusahaan kayu yang membutuhkan tanda tangan itu. Jadi, godaannya sangat besar."

Dirk Thies terlibat dalam pengembangan proyek FLEGT dengan Kementrian hutan dan Lingkungan Hidup di Yaounde. Proyek FLEGT atau dalam bahasa Indonesianya kependekan dari Hutan, Hukum, Pemerintah, dan Perdagangan itu pertama kali diusulkan oleh Uni Eropa dan pemerintah Jerman. Rencananya, dengan proyek tersebut Uni Eropa mengharapkan bisa mendesak pemerintah Kamerun untuk menggandeng perusahaan kayu swasta agar bersama-sama memerangi pembalakan liar.

Uni Eropa juga bakal mengontrol sumber kayu dengan lebih ketat. Tak heran, karena 80 persen kayu hasil penebangan hutan di kamerun diekspor ke Eropa. Tapi sejak seruan boikot terhadap produk kayu di Eropa tahun 80-an, para pelanggan mulai berhati-hati dalam memilih kayu.

Dirk Thies: "Pasar kayu di Eropa dan Amerika sudah berubah sejak berbagai LSM lingkungan rajin mengkampanyekan kayu legal. Sama juga seperti barang-barang yang dibuat oleh buruh anak, maka di sini orang lebih barhati-hati, mereka menanyakan dulu asal muasal kayu itu sebelum dibeli. Ini dilakukan supaya kerusakan hutan di Amazon, sungai Kongo juga di Rusia dapat dihentikan. Penting adalah supaya pendebangan hutan juga diiringi dengan penghijauan kembali supaya tidak lantas menjadi kering dan tidak subur. Tidak hanya itu, standar sosial suku yang mendiami hutan-hutan itu juga harus dijamin, sehingga ruang hidup mereka tidak terancam. Itu permasalahan yang ada saat ini. Bahkan di Eropa saja, setiap tender yang ada harus menggunakan kayu legal. Bahkan di beberapa perusahaan swasta seperti perusahaan mebel IKEA, merka cuma mau menggunakan kayu bersertifikat. Dan kalau perusahaan-perusahaan itu tidak peduli terhadap permasalahan kayu ilegal, maka mereka akan bangkrut, karena tekanan dari semua pihak sangat besar."

Bahwa kecendrungan pasar di barat mulai berubah tidak mungkin dilewatkan begitu saja oleh Guillermo Bonnelli. Bonnelli adalah cukong kayu yang kini berbisnis di Kamerun. Perusahaannya SEFAC adalah perusahaan kayu terbesar di Afrika. Di bagian Tenggara Kamerun, SEFAC menguasai 400.000 hektar hutan. Dengan bangga Bonneli menunjukkan pabrik pemotong kayunya yang setiap tahunnya bisa menghasilkan 40.000 kubik meter kayu.

Guillermo Bonnelli: "Kami harus bisa menjual produk yang mau diterima oleh pelanggan. Kesadaran ekologis, pelestarian hutan, semua otu istilah yang mau tak mau kami integrasikan ke dalam produksi kami. Kami ingin para pelanggan di Eropa sana mengerti, bahwa kayu yang kami jual berasal dari hutan-hutan, di mana hak suku setempat dan alam dihormati."

Bonnelli bukan pemain baru dalam bisnis kayu di benua hitam itu. Ia mulai merintis bisnisnya di tenggara Kamerun sejak tiga puluh tahun lalu. Hubungannya dengan para LSM pecinta lingkungan boleh dibilang pasang surut. Beberapa kali Bonnelli harus berhadapan dengan gerombolan anggota LSM yang menghalangi kerja anak buahnya. Tapi kini Bonnelli sedikitnya bisa bernafas lega. Perusahaannya, SEFAC kini sedang merintis penjualan kayu dengan sertifikat FSC, kependekan dari Forest Stewardship Council, atau Dewan Hutan Dunia.

FSC adalah inisiatif bentukan sejumlah LSM lingkungan hidup seperti Greenpeace, WWF dan perwakilan dari serikat buruh dan suku-suku yang mendiami hutan. Ide yang menyertai inisiatif tersebut sebenarnya menggiurkan, siapapun yang melakukan penghijauan kembali setelah menerabas hutan, boleh menjual kayunya dengan embel-embel FSC. Dengan sertifikat itu si perusaahan kayu bisa menjual dengan harga yang lebih tinggi. Tapi untuk memperoleh sertifikat FSC, setiap perusahaan kayu harus jungkir balik memenuhi berbagai kriteria untuk penghijauan hutan dan sumbangan sosial bagi masyarakat setempat.

Pembalakan hutan memang salah satu penyumbang devisa terbesar Kamerun. Tapi saat ini pemerintah di Yaounbe lebih suka melihat hutannya lebat kembali ketimbang nantinya harus membayar mahal untuk menghijaukan hutan-hutannya.