1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kampanye Pemilu di AS

8 Februari 2007

Belum pernah kampanye itu dilakukan jauh-jauh hari seperti sekarang ini, tepatnya sejak bulan November tahun lalu. Padahal pemilunya sendiri baru dilaksanakan tanggal 4 November 2008.

https://p.dw.com/p/CP90

Untuk itu ada tiga alasan. Pertama, Bush dan Cheney tidak mencalonkan diri, dan ini untuk pertama kalinya terulang lagi sejak tahun 1928. Kedua, Bush sudah menjadi sedemikian lemah akibat politiknya di Irak, sehingga arena terbuka penuh bagi para calon. Ketiga, baik Partai Demokrat maupun Partai Republik tidak memiliki favorit utama. Oleh sebab itu semua calon berkepentingan untuk secepatnya dikenal oleh para pemilih.

Partai Demokrat menumpu harapan besar, dan yang berminat memperoleh jabatan itu adalah Hillary Clinton, Senator New York, Barack Obama, Senator Illinois dan John Edwards, mantan Senator dari North Carolina. Di kubu Republik saat ini terdapat tiga peminat. Mula-mula John McCain, Senator dari Arizona, Rudy Giuliani, mantan gubernur New York dan Sam Brownback, Senator asal Kansas. Tentu sulit untuk mengatakan dari sekarang, siapa yang punya peluang paling besar. Yang jelas, ini akan menjadi kampanye pemilu yang termahal.

Angka nol dalam kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat terus bertambah. Ini tidak ada kaitannya dengan mutu para calon, tetapi dengan apa yang di AS disebut sebagai "kas perang", di mana dana jutaan Dollar terus ditumpuk.

Sebenarnya itu berlebihan, karena ada UU yang membatasi pengeluaran untuk kampanye pemilu, bila calon yang bersangkutan memanfaatkan penggantian dana kampanye dari negara. Tetapi sejak tahun 2004, sistem itu menjadi kadaluwarsa. Baik John Kerry maupun George W. Bush ketika itu tidak memanfaatkan dana dari negara, sehingga bebas dari belenggu keuangan. Ketika itu Kerry dan Bush masing-masing mengeluarkan 250 juta Dollar.

Tetapi rekor itu hanya ditanggapi dengan senyuman oleh para peminat yang ingin masuk ke Gedung Putih. John McCain, John Edwards dan juga Hillary Clinton siap-siap untuk memasuki kampanye pemilu termahal di segala jaman: "Sistem pembiayaan kampanye pemilu oleh negara sayangnya tidak berfungsi. Sistem itu tidak mendapatkan kepercayaan dari pembayar pajak. Jadi saya tidak menggunakannya."

Bagi Hillary Clinton sendiri, itu memang mudah saja. Konon ia masih punya dana 20 juta Dollar dari kampanye pemilihan senat tahun 2006 dan ia punya peluang terbaik untuk menjadikannya lima kali lipat dalam bulan bulan mendatang. Menurut Bill Schneider, pakar kampanye pemilu pada pemancar CNN, dana itu harus dipunyai oleh mereka yang ingin memiliki peluang untuk menang: "Kandidat yang ingin dianggap serius harus dapat mengumpulkan sumbangan paling tidak 100 juta dollar. Hillary Clinton mungkin butuh 500 juta dollar kalau hendak menjadi calon unggulan Partai Demokrat. Juga saingannya dari Partai Republik. Jumlah itu jauh lebih besar dari sekitar 100 juta dollar yang bisa diperoleh dari kas negara."

Ini berarti sistem pembiayaan kampanye pemilu dari tahun 70-an sudah tamat riwayatnya, sekaligus lenyap pula impian akan persamaan peluang bagi semua calon. Pada akhirnya, faktor penentu adalah siapa yang berhasil mengumpulkan uang paling banyak.

Seandainya pun ada orang yang punya potensi istimewa tetapi kurang dikenal, semakin sulit baginya untuk menghadapi calon-calon ternama yang tidak perlu memperjuangkan tempat dalam siaran berita dan berbagai talkshow. Kenderungan ini tidak mengherankan Lawrence Noble, seorang pakar hukum soal pembiayaan kampanye pemilu: "George Bush merupakan orang pertama yang tidak menggunakan dana dari negara. Dulu tidak ada orang yang memprotesnya dan sekarang pun akan sama saja."

Benarkah begitu? Dalam siaran Radio "NPR", sebuah pemancar publik, setidaknya sesekali terdengar protes pemilih seperti dikatakan seorang pendengar: "Sistem ini punya kesalahan besar. Yang penting sekarang hanyalah uang, dan bukan lagi politik atau apakah seseorang itu akan menjadi seorang presiden yang baik."