1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan HukumAmerika Serikat

Dua Terpidana Pembunuhan Malcolm X Dibebaskan dari Vonis

19 November 2021

Mereka telah mendekam di penjara sekitar 20 tahun. Kini setelah lebih dari 55 tahun, dua terpidana pembunuh Malcolm X dinyatakan tidak bersalah. Pengadilan akui mereka korban kesalahan sistem.

https://p.dw.com/p/43Du5
Foto Malcolm X tahun 1964
Malcolm mengubah nama belakangnya menjadi X tahun 1950, menggantikan apa yang disebutnya nama budak pemberian tuan kulit putihFoto: AP

Lebih dari setengah abad setelah pembunuhan Malcolm X, dua terpidana pembunuhnya pada hari Kamis (18/11) dibebaskan dari segala tuduhan telah bertanggung jawab atas kematian pemimpin hak-hak sipil di Amerika Serikat (AS) ini.

Hakim di Manhattan Ellen Biben secara resmi membatalkan putusan pidana atas Muhammad Aziz dan mendiang Khalil Islam, setelah jaksa dan pengacara keduanya mengatakan bahwa dalam penyelidikan terbaru, mereka menemukan bukti baru yang melemahkan kasus terhadap kedua pria tersebut.

Jaksa dan pengacara juga mengatakan bahwa pihak berwenang tidak mengungkap sebagian dari informasi yang mereka ketahui yang dapat meringankan hukuman keduanya.

Pengacara Distrik New York, Cyrus Vance, mengumumkan pada hari Rabu (17/11) bahwa kantornya membatalkan vonis atas dua orang yang telah dinyatakan bersalah atas pembunuhan pemimpin hak-hak sipil Malcolm X tahun 1965. Vance mengatakan bahwa Muhammad A. Aziz dan Khalil Islam telah menjadi korban dari kesalahan sistem peradilan.

"Orang-orang ini tidak mendapatkan keadilan yang layak mereka dapatkan," kata Vance dalam wawancara dengan The New York Times. "Yang bisa kita lakukan adalah mengakui kesalahan ini, tingkat keparahan dari kesalahan ini."

Menurut The New York Times, investigasi selama 22 bulan yang dilakukan bersama oleh kantor kejaksaan Manhattan dan pengacara menemukan bahwa jaksa, FBI, dan Departemen Kepolisian New York saat itu tidak mengungkapkan bukti-bukti yang dapat membebaskan kedua pria tersebut.

Dijebloskan ke penjara selama 20 tahun

''Peristiwa yang membawa kita ke pengadilan pada hari ini seharusnya tidak pernah terjadi,'' kata Aziz kepada pengadilan. ''Saya seorang pria berusia 83 tahun yang menjadi korban sistem peradilan pidana.''

Sementara anak laki-laki mendiang Khalil Islam, Ameen Johnson dan Shahid Johnson, menyatakan kesedihan mereka bahwa orang tua mereka meninggal sebelum mendengar pengakuan ini. Namun, Ameen Johnson mengatakan ayahnya akan sangat senang atas pemulihan nama baiknya. 

Aziz, 83, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di tahun 1966 tetapi dibebaskan tahun 1985. Islam juga dijatuhi hukuman seumur hidup, tapi dibebaskan tahun 1987 dan meninggal pada tahun 2009. Keduanya secara konsisten berkeras bahwa mereka tidak bersalah dalam pembunuhan pemimpin kulit hitam yang berpengaruh itu.

"Meskipun saya tidak butuh pengadilan, jaksa, atau selembar kertas untuk menyatakan bahwa saya tidak bersalah, saya senang bahwa keluarga, teman-teman, dan pengacara yang telah bekerja dan mendukung saya selama ini akhirnya melihat kebenaran yang sudah kita ketahui ini secara resmi diakui," ujar Aziz.

Apa yang terjadi kepada Malcolm X?

Malcolm X lahir dengan nama Malcolm Little tahun 1925. Ia memutuskan untuk mengganti nama belakangnya dengan X karena menganggap nama "Little" adalah pemberian tuan kulit putih kepada budaknya. Sekitar setahun sebelum kematiannya, Malcolm X secara terbuka menyatakan berpisah jalan dengan organisasi politik dan keagamaan Nation of Islam karena merasa kecewa dengan organisasi itu.

Setelah perjalanan ke Mekah, pejuang hak-hak sipil kulit hitam ini mulai berbicara tentang potensi persatuan ras di AS. Ide ini membuat marah beberapa orang di Nation of Islam yang menganggapnya sebagai pengkhianat.

Pada bulan-bulan berikutnya, Nation of Islam meningkatkan ancaman terhadap Malcolm X. Beberapa minggu sebelum dibunuh, Malcolm X sempat menyatakan kepada beberapa orang bahwa dia yakin kepemimpinan di Nation of Islam ingin membunuhnya.

Pada 21 Februari 1965, Malcolm X tengah bersiap untuk memberikan pidato saat kemudian dia ditembak mati oleh sekelompok pria bersenjata. Saat itu usianya 39 tahun. Oleh beberapa saksi, mereka diidentifikasi sebagai Aziz, Islam, dan Mujahid Abdul Halim, meskipun Aziz dan Islam memberikan alibi.

Halim mengakui penembakan itu, tetapi ia bersikeras bahwa tertuduh lainnya tidak bersalah. Dia tidak pernah akan memberi tahu polisi nama-nama kaki tangannya yang sebenarnya.

"Ini adalah contoh klasik penegakan hukum yang terlibat dalam bias konfirmasi," kata Gene Rossi, seorang pengacara di Washington D.C. yang sebelumnya bekerja untuk Departemen Kehakiman AS.

Rossi mengatakan kepada DW bahwa "mereka punya tiga subjek: Halim, Aziz, dan Islam, dan mereka fokus pada tiga orang ini seperti sinar laser dan mengabaikan adanya konspirator lain bernama William Bradley. Jadi itu adalah kesalahan getir yang dihasilkan dari kurangnya budaya untuk memberikan bukti yang meringankan."

Terlepas dari ketidakadilan terhadap kedua orang ini, Rossi tidak berpikir petugas yang terlibat akan menghadapi konsekuensi apa pun. "Saya tidak berpikir pada tahap ini, kejadiannya sudah bertahun-tahun lalu, ada yang akan dihukum," kata Rossi. "Namun, akan ada pelajaran yang kuat dari parodi keadilan ini bahwa dua orang tak bersalah telah dijebloskan ke penjara selama 20 tahun."

ae/yf (AP, Reuters, AFP)