1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kaum Muda Tionghoa Maju dan Berkembang

24 Februari 2007

Pembuat film, Indonesian Idol, model dan petinju. Inilah wajah-wajah segar komunitas muda Tionghoa.

https://p.dw.com/p/CTBZ
Perayaan Imlek di Jakarta
Perayaan Imlek di JakartaFoto: AP

Kaum peranakan muda ini memanfaatkan kebebasan politik yang tercipta begitu rezim Soeharto jatuh. Bagi orangtua mereka yang mesti hidup di bawah tekanan, situasi sekarang sungguh luar biasa, meski mereka juga tetap khawatir. Charlotte Setiadi melakukan studi mengenai generasi muda Tionghoa.

Charlotte Setiadi: “Saya dalah peneliti dari La Trobe University. Minat saya adalah untuk meriset mengenai generasi muda Tionghoa yang ada di masa pasca Soeharto ini. Generasi muda Tionghoa yang ada punya banyak kesempatan untuk lakukan banyak hal yang generasi sebelumnya tidak bisa lakukan. Mereka sekarang bisa ekspresikan diri lebih dari yang generasi sebelumnya.“

Selain Charlotte ada lagi Arianna Dharmawan atau Rani, bagian dari generasi muda Thionghoa. Ia menelusuri minat barunya soal identitas budaya lewat film. Rani adalah penggagas kelompok VideoBabes di Bandung, Jawa Barat sekaligus pembuat film independen yang sukses.

Di sebuah kafe di salah satu mal Jakarta yang penuh hiasan Tahun Baru Imlek, Rani bercerita, dia pernah tidak bahagia dengan jati dirinya.

Rani: “Dulu saya benci dengan kenyataan. Saya gak suka, malah saya malu dengan kenyataan saya orang Tionghoa. Mungkin karena keluarga saya peranakan, lebih merasa Indonesia dibandingkan Cina, tidak pernah merayakan tahun baru Cina, tidak punya nama Cina. Saya menjadi memalukan lah jadi orang Cina. Itu cukup lama saya merasa seperti itu. Hingga saya mengubah energi saya, dari marah ke dendam, menjadi bangga. Karena.. untuk apa kita dendam pada diri kita sendiri? Lebih baik kita mengubah itu jadi sebuah justru kebanggaan.“

Setiap film yang dibuat, kata Rani, adalah upaya mengobati diri sendiri.

Sebuah musik menginspirasi Rani membuat dokumenter berjudul ‘Anak Naga Beranak Naga’.

Rani: Itu adalah sebuah dokumenter yang bercerita tentang musik gambang kromong. Yang diangkat adalah akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi. Ini penting, lihat, mereka bisa bersatu, bisa berbaur, bahkan membuat kebudayaan baru yang luar biasa.

Kata Rani, dokumenternya bisa meruntuhkan cap tentang komunitas Tionghoa yang tinggal di daerah kumuh dan tidak berbaur dengan warga lainnya.

Di era baru kebebasan budaya seperti sekarang, banyak peranakan yang berusaha menghidupkan kembali budaya nenek moyang mereka. Goenawan berasal dari Bina Nusantara Mandarin Club, BNMC, yang didirikan tahun 2000.

Goenawan:Untuk tertarik bahasa Mandarin sih udah dari kecil. Perekonomian. Di dunia itu kan hampir dikuasai Cina. Setelah zaman Pak Soeharto itu, banyak minat anak muda Tionghoa itu bersikeras untuk bangun kembali kebudayaannya yang hilang. Contohnya BNMC, ingin kebmalikan tradisi Tionghoa. Kebudayaan Tionghoa kan tiba-tiba hilang. Kan aneh gitu. Jadi pas datang, ini kesempatan kita untuk membangun kembali.“

Tapi tidak semua anak muda di komunitas itu merasa hal yang sama. Seperti disampaikan Irvan Wibowo dari Jaringan Tionghoa Muda.

Irvan Wibowo: „Beberapa generasi di atas saya tidak bisa berbahasa Mandarin, segala bahasa Cina. Hanya bisa bahasa Jawa. Keluarga-keluarga yang tingkatan Oma segala memang pakai kebaya, kira-kira gitu.”

Irvan sering mendapat pertanyaan, apakah dia merasa sebagai orang Indonesia atau Tionghoa? Bagi Irvan, pertanyaan itu tak penting. Bahkan tak usah ditanyakan. Ia percaya, yang lebih penting adalah penghargaan terhadap hak asasi manusia.

Banyak peranakan di Tionghoa usia 20-30-an tahun asyik mengeksplorasi kebebasan budaya yang kini mereka nikmati setelah runtuhnya rezim Soeharto. Para orangtua punya pendapat yang berbeda-beda seputar kebebasan baru ini. Mereka kerap mewanti, ‘hati-hati’, ‘jangan keterlaluan’. Kembali Charlotte.

Charlotte Setiadi: “Itu menurut saya representatif sekali. Bahwa masyarakat Tionghoa punya pendapat beragam. Ini bagus sekali dan ini yang perlu dketahui. Gak semua masyarakat Tionghoa itu, ayo kita bergandengan tangan menuju ke satu titik. Enggak. Dan semua orang punya cara yang beda-beda. Ekspresi diri itu kan pribadi, beda-beda. Apakah itu lewat bahasa, mendengarkan lagu Mandarin, apakah itu lewat nonton Meteor Garden, punya potongan rambut F4, itu kan sesuatu yang relatif pada setiap orang.”

Tersembunyi di sebuah jalan yang sempit terletak Klenteng Petak Sembilan, di tengah keramaian Glodok, Jakarta Pusat. Lentera merah tampak berderet-deret, wangi hio menyambut pengunjung yang datang.

Di salah satu pojokan, seorang laki-laki tua membaca doa demi hal-hal baik di Tahun Babi ini. Dia sangat senang, komunitasnya bisa bebas merayakan Tahun Baru Imlek.

Yongkwan Pow: “Saya namanya Yong Kwan Pow. Asal dari Banda Aceh. Sekarang tahun 18 tahun masuk Jakarta. Sekarang sudah umur 71. Dulu tidak bebas. Imlek tidak boleh pesta. Presiden Gus Dur yang terhormat jadi presiden, jadi bebas sampai sekarang. Jadi boleh ada Mandarin, dulu tidak bisa. Dulu seperti apa bisa cerita sedikit di tahun 60-an, 90-an? Itu tidak boleh bicara. Jangan. Jangan. Bahaya.“

Binar kecemasan masih tampak di wajah laki-laki tua itu ketika wawancara dilakuan. Ia terlihat gelisah dan menengok kiri-kanan, mencari tahu apakah ada yang mendengar percakapan tersebut.

Di bagian lain klenteng ini, ada Sharma Nuriadi. Dia bercerita soal diskriminasi dan kekerasan yang dihadapi komunitas Tionghoa.

Sharma Nuriadi: "Waktu G30S, ya itu ada juga. Kita juga ada. Itu banyak, kan takut ada kejadian, pergolakan. Seperti toko-toko dibakar, diambil. Banyak, kita gak boleh cerita habis-habisan, ntar gak enak. Saya rasa wartawan di Australi lebih mengerti daripada wartawan di sini. Banyak orang diperkosa."

Meski ia sangat senang akan hilangnya pembatasan-pembatasan terhadap komunitas Tionghoa, ia mewanti generasi muda.

Sharma Nuriadi: „Tapi sekarang udah kebuka gini kita udah enak lagi. Tapi kita sebagai warga negara harus hati-hati lah. Jangan sepserti sekarang sudah bebas, kita berlebihan. Kalau bisa jangan. Itu jangan kalo bisa. Jangan terlalu meliwati batas. Sekarang sudah boleh, tradisi sudah boleh, jadi jangan terlalu berlebihan, misalnya begini begitu.“

Selalu ada ketakutan, kata dia, bahwa mereka bakal kembali menjadi target. Charlotte Setiadi dan Rani paham juga soal itu.

Charlotte Setiadi: "Kamu udah lah yang aman-aman aja. Ngapain sih balik-balik ke Indonesia neliti ginian."

Rani: "Dia bangga, itu terlihat bahwa dia bangga. Di lain pihak, dia juga.. jangan terlaul.. dia juga ada rasa takut. Apalagi ibu saya, dia suka takut. Apa-apa takut. Ati-ati kamu jangan terlalu menonjol.. nanti kamu dimacem-macemin. Mungkin itu terjadi juga pada mereka pada tahun 60. Mereka selalu berusaha di bawah radar. Kalau saya sendiri, saya merasa saya ada batasnya juga. Karena saya gak mau seperti film saya dibikin seperti propaganda. Bahwa “ini adalah milik Tionghoa”. Yang saya inginkan adalah milik bersama dan pembaurannya, gimana mereka bercampur, justru itu yang ingin saya tunjukkan."

Rani berpendapat, soal diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa akan terus menjadi perdebatan hangat. Juga soal identitas dan minat-minat baru akan kebudayaan kuno Cina. Semua memberi inspirasi bagi film-film yang digarap Rani.

Rani: "Mungkin ini jadi inspirasi karena saya merasa masih dibedakan. Kadang benar, ktia ingin jadi orang Indonesia. Tapi bagaimana pun juga, tidak bisa dihilangkan kalau kita orang Tionghoa. Keturunan Tionghoa. Yang sebetulnya, yang kami inginkan, kami dianggap memiliki kewarganegaraan yang sama. Ada suku Jawa, ada suku Batak, tentu saja itu menjadi sebuah pride, sebuah kebanggaan."