1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kawasan Arab Berbahaya bagi Wartawan

27 Januari 2012

Upaya rejim yang berkuasa untuk menekan kebebasan informasi selama revolusi Arab menyebabkan meningkatnya kekerasan terhadap wartawan.

https://p.dw.com/p/13rwW
Rejim penguasa di Arab mengontrol isi media massaFoto: AP

Peneliti Reporters sans Frontiers RSF kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, Soazig Dollet mengatakan ”Pada awal periode musim semi Arab, kontrol atas arus informasi adalah prioritas kunci bagi para penguasa”. Ia menambahkan “Pemerintah mencoba menghilangkan pemberitaan mengenai intimidasi yang dilakukan pasukan keamanan terhadap pada demonstran dengan cara memutus akses telepon genggam dan internet dan pada saat bersamaan juga menyerang wartawan lokal dan internasional”.

Kerusuhan di Tunisia pada Januari 2011, yang menggulingkan Presiden Zine al-Abidin Ben Ali telah melahirkan gelombang protes yang dengan cepat menyebar di sepanjang dunia Arab. Pada 25 Januari, gelombang itu menjalar ke Mesir, saat orang-orang turun ke jalan meminta Presiden Hosni Mubarak yang telah 30 tahun berkuasa agar mundur dari jabatannya.

Setelah Mesir dan Tunisia sukses menggulingkan diktator, negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika Utara seperti Bahrain, Maroko, Libya, Yaman dan Suriah juga ikut melancarkan revolusi mereka sendiri.

Para jurnalis memainkan peran penting dalam melaporkan peristiwa demonstrasi serta represi yang dilakukan penguasa. Namun mereka harus berhadapan dengan rejim yang berusaha menghalangi menyebarnya arus informasi.

Menurut RSF, paling tidak 20 wartawan terbunuh dan 533 lainnya diserang atau diancam, sehingga menjadikan Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai wilayah paling berbahaya bagi para pekerja media.

Rejim di semua negara yang mengalami gelombang demonstrasi mencoba membungkam arus informasi, kata Direktur Eksekutif Yayasan Samir Kassir, Ayman Mhanna. “Mereka mulai menghalangi akses ke jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, tapi kemudian mereka sadar bahwa mereka harus tetap membuka situs jejaring sosial agar bisa memantau siapa menulis tentang apa. Lalu mereka melarang akses bagi wartawan asing dan independen, kecuali jika para wartawan itu betul-betul berada di bawah kontrol mereka.

Di Suriah, wartawan asing hanya bisa meliput dengan diam-diam, kecuali jika mereka setuju bekerja di bawah kontrol penguasa, yang juga sebetulnya tidak bisa menjamin keselamatan mereka.

Ayman Mhanna mengatakan, di Bahrain situasinya sangat sulit. Organisasi Kerjasama Negara-Negara Teluk punya kepentingan bersama untuk memblokir revolusi di Bahrain. Semua media yang kritis disensor sementara yang pro pemerintah betul-betul melakukan penyesatan informasi.

Para pembela hak asasi manusia sejak lama mengkategorikan Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai satu wilayah yang paling banyak melakukan sensor terhadap media. Sejumlah aturan represif diberlakukan, juga penganiayaan dan penahanan terhadap wartawan. Tak hanya itu, rejim penguasa di sana juga melakukan pengintaian dan pengawasan dan bahkan larangan fisik bagi jurnalis untuk melakukan liputan.

Sejumlah produk hukum yang terkait pers, undang-undang keadaan darurat, hukum pidana, hukum internet dan dekrit soal telekomunikasi dipakai sebagai alasan untuk memenjarakan wartawan dengan tuduhan menjelek-jelekkan pemerintah.

Di Bahrain, penguasa menggunakan Hukum Pers yang diberlakukan sejak tahun 2002 yang memperbolehkan pemerintah melakukan sensor. Hukum Pidana Suriah memperbolehkan kriminalisasi atas pemberitaan yang menyebar di luar negeri. Sebagai tambahan, baik Suriah maupun Bahrain masih mempertahankan Undang-Undang Keadaan Darurat yang memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk mencari dan menangkap wartawan, pekerja media dan para aktivis politik tanpa melalui proses hukum.

“Selama masa pemerintahan Mubarak, banyak bentuk sensor yang dilakukan pemerintah. Misalnya dengan menelepon kepala redaksi, melarang edisi tertentu dari media cetak untuk terbit, menganiya wartawan dan menyita barang milik mereka“ kata Ramy Raoof, pimpinan media online untuk organisasi Inisiatif Mesir untuk Hak-hak Indivisu. “Hal-hal seperti ini masih terjadi sekarang, tapi dilakukan oleh pejabat yang berbeda. Bukan lagi dari Kementerian Dalam Negeri seperti pada masa lalu, tapi itu dilakukan oleh militer”. Ia memberi contoh bahwa pada tanggal 22 Februari 2011 sebuah surat dari Angkatan Darat Mesir dikirim ke kantor media cetak. Surat itu berisi pesan singkat: jangan menulis berita apapun soal militer.

Undang-undang Pers di sebagian besar negara Arab, pura-pura menghormati kebebasan pers tapi kenyataannya justru memberi jalan yang luas bagi rejim untuk melakukan pelanggaran terhadap kebebasan pers. Beberapa pasal seperti “melemahkan semangat kebangsaan” hingga kini masih luas dipakai di Suriah. Menuduh aktivis berkhianat dan bekerjasama dengan musuh asing adalah tuduhan lain yang sering dipakai penguasa, kata Ayman Mhanna.

Menulis atau menyampaikan pendapat dengan bebas, kata Ayman Mhanna kini lebih berbahaya bagi wartawan di negara-negara Arab yang masih bergolak atau di negara-negara yang kelompok ekstrimis agamanya sedang bangkit.

(ips/ ab/ as)