1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Meluas

31 Juli 2019

Sepanjang 2019 sudah ada lebih dari 42.000 hektare lahan dan hutan terbakar. Jumlah titik panas di seluruh wilayah Indonesia pun melonjak sebesar 70 persen bila dibandingkan periode yang sama pada 2018.

https://p.dw.com/p/3N3OE
Indonesien Torffeuer in der Riau Provinz
Foto: picture-alliance/NurPhoto/A. Silalahi

Kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah di Indonesia kian meluas. Hal ini diperkirakan akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Namun pengamat menilai aktivitas pembukaan lahan gambut adalah penyebab utama.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), jumlah titik panas tahun ini lebih banyak dibandingkan periode yang sama tahun 2018. 

"Sampai dengan akhir bulan Juli ini, titik panas sudah ditemukan 70 persen lebih dibanding tahun 2018. Karena memang kemarau sekarang ini akan melebihi kemarau tahun lalu," ujar Deputi Bidang Koordinasi Kerawanan Sosial dan Dampak Bencana Kemenko PMK, Dody Usodo, saat jumpa pers di kantornya, Selasa (30/07).

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak bulan Januari 2019 menunjukkan total daerah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mencapai 42.740 hektare.

Daerah yang mengalami kebakaran terluas adalah Riau dengan luas lahan 27.683 hektare, disusul Kalimantan Timur dengan luas 5.153 hektare dan Kepulauan Riau seluas 4.969 hektare.

DW Indonesia memantau situs SiPongi Karhutla Monitoring Sistem milik KLHK. Sepanjang bulan Juli ini diketahui terdapat total 380 titik panas di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah ini meningkat drastis dari bulan sebelumnya yang hanya terdapat 61 titik panas.

Bahkan data per hari Selasa (30/07), dengan menggunakan satelit NOOA (ASMC) yang memiliki tingkat kepercayaan di atas 80 persen, SiPongi Karhutla Monitoring Sistem mencatat terdapat 47 titik panas tersebar di Indonesia di hari itu. Titik panas paling banyak ditemukan di Provinsi Kalimantan Barat dengan 11 titik disusul Provinsi Riau dengan 9 titik.  

Akibatnya delapan wilayah di Indonesia pun telah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan. Delapan wilayah tersebut terdiri dari lima provinsi dan tiga kabupaten/kota.

Lima provinsi di antaranya adalah Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Sementara untuk tiga kabupaten/kota yakni Kota Dumai, Kabupaten Sambas, dan Ogan Komering Ilir (OKI). 

Lemahnya penegakkan hukum

Kepada DW Indonesia, Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, tidak menampik musim kemarau sebagai salah satu pemicu meluasnya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Namun menurutnya pembukaan lahan gambut di sejumlah wilayah tetap menjadi penyebab utama kebakaran.

“Kalau misalnya di Kalimantan itu ada proyek PLG yang kemudian mengeringkan wilayah-wilayah gambut, dan di wilayah Riau dan Sumatera Selatan wilayah-wilayah gambut yang seharusnya basah kemudian dibuka untuk perkebunan sawit dan proyek-proyek lain. Itulah yang menjadi penyebab utama gambut mengering dan mudah terbakar, apinya jadi sampai sekarang,” kata Arie, Rabu (31/07) di Jakarta.

Menurutnya, masyarakat adat kerap disalahkan atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indoneisa. Mereka sering ditunding membakar lahan gambut dalam rangka membuka lahan pertanian maupun perkebunan. 

Indonesien Torffeuer in der Riau Provinz
Personel TNI yang tergabung dalam tim gabungan berusaha memadamkan api pada kebakaran di Riau, 20 Juli 2019.Foto: picture-alliance/Photoshot/H. Vavaldi

Arie menegaskan penegakkan hukum menjadi aspek penting dalam upaya penanangan kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah dinilai abai dalam menegakkan hukum kasus karhutla, padahal penegakkan hukum yang efektif akan memberikan efek jera bagi para pelaku.

Lebih lanjut ia mencontohkan bahwa penegakkan hukum terhadap temuan pembukaan lahan dan hutan oleh perusahaan berskala besar yang bermasalah tidak pernah dijalankan. "Yang justru ditangkap dan jadi kambing hitam selalu masyarakat. Ini juga jadi problem penegakkan hukum, ketidakadilan dalam memposisikan masyarakat adat itu sangat penting,” jelas Arie.

Setidaknya ada lima perusahaan perkebunan dan kehutanan di Riau yang mendapat surat teguran Satgas Udara Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan Provinsi Riau. Hasil temuan satgas menunjukkan terdapat titik api di bawah radius lima kilometer di wilayah batas perusahaan. Titik api diduga masuk ke dalam area lima perusahaan tersebut.

Jika titik api berada dalam kawasan konsesi perusahaan, pemadaman api mutlak menjadi tanggung jawab perusahaan, bukan negara. Bila kemudian nanti ditemukan ada kelalaian dari kelima perusahaan yang menimbulkan kebakaran, kepolisian Riau harus melakukan penindakan, ujar Arie.

Lima perusahaan yang sudah dikirimkan surat teguran dan pemberitahuan yaitu PT. Priatama Rupat (Surya Dumai Group), PT. Jatim Jaya Perkasa Teluk Bano II, PT. WSSI Koto Gasib Siak, PT. Seraya Sumber Lestari Koto Gasib, dan PT. Langgam Inti Hibrindo Langgam.

“Mereka buka lahan untuk kepentingan bisnis. Tentu mereka juga punya prasyarat-prasyarat yang harus mereka lakukan. Pertama patuh terhadap peraturan, kedua harus mengalokasikan khusus untuk upaya-upaya pemadaman kebakaran,” terang Arie saat diwawancarai DW Indonesia.

“Temuan kami, penegakkan hukum tidak dilakukan dengan benar. Kami menemukan ada 10 dari 11 perusahaan yang sudah diputus oleh pemerintah tapi kemudian dendanya tidak dibayarkan sejumlah Rp 18,9 triliun. Perusahaan sawit, HTI, dan kasus logging,” Arie menambahkan.

Upaya pemadaman

Arie pun menilai upaya terintegrasi bisa menjadi solusi dalam mengatasi kasus karhutla. “Bagaimana upaya ini terintegratif semua. Selama ini (setelah) ada kebakaran hutan baru (dilakukan) pemadaman. Harusnya terintegratif antara pencegahan, penegakkan, dan rehabilitasi, karena lahan-lahan yang rusak di wilayah gambut itu jika tidak dipulihkan akan terus terjadi kebakaran,” pungkas Arie.

Sebanyak 5.929 personel gabungan diterjunkan dalam upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan di lima provinsi. Personel gabungan ini terdiri atas unsur TNI, Polri, BPBD, Manggala Agni, Masyarakat Peduli Api, dan lembaga-lembaga terkait.

"Total personel gabungan ini tersebar di 5 provinsi, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah masing-masing berjumlah 1.512 personel, sedangkan Kalimantan Barat berjumlah 1.395 personel," kata Agus Wibowo, Plh. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, dikutip dari Detiknews.

Selain itu sejumlah armada udara seperti helikopter dan pesawat fixed wing dioperasikan untuk pemadaman, pendinginan, patroli, serta survei wilayah. Total terdapat 33 helikopter yang disiagakan di empat provinsi, yakni Riau (17), Sumatera Selatan (3), Kalimantan Barat (6), dan Kalimantan Tengah (7). Sebanyak 61.066.300 liter air juga digunakan untuk melakukan pemadaman serta pendinginan.

Sementara itu operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC), cloud seeding atau semai awan juga menjadi upaya lain pemerintah dalam menangani karhutla. Operasi ini bertujuan memicu terjadinya hujan di wilayah-wilayah titik panas dengan menebarkan garam di bibit awan hujan.

rap/ae (dari berbagai sumber)