1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Reformasi Agraria Bergantung Pada Masyarakat Adat

26 September 2018

Meski disambut, reformasi agraria yang dicanangkan Presiden Joko Widodo diklaim tidak akan berhasil selama pemerintah belum mengakui hak masyarakat adat. Sebab itu UU Masyarakat Adat harus diprioritaskan.

https://p.dw.com/p/35Wv3
Suku anak dalam di Batang Hari, Jambi, Sumatera.
Suku anak dalam di Batang Hari, Jambi, Sumatera.Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin

Ketika pemerintah Indonesia mencanangkan reformasi agraria lewat distribusi lahan, aktivis Hak Azasi Manusia mewanti-wanti rencana tersebut tidak akan berhasil tanpa pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat.

Presiden Joko Widodo pekan ini menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Reformasi Agraria yang antara lain mencakup pembagian sertifikat tanah. Dengan cara itu pemerintah berambisi menuntaskan sertifikasi semua lahan di Indonesia hingga 2025.

"Presiden sudah dengan jelas mengatakan redistribusi tanah untuk penduduk miskin dan masyarakat adat mendapat prioritas," kata Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan Indonesia. "Kami ingin mempercepat reformasi agraria," ucapnya saat menghadiri sebuah konferensi di Bandung.

Baca Juga: Jalan Panjang Masyarakat Adat untuk Berkontribusi Aktif dalam Aksi Perubahan Iklim

Tahun lalu pemerintah telah membagi-bagikan lebih dari lima juta sertifikat tanah, klaim Moeldoko. Tahun ini target pembagian sertifikat yang ditetapkan pemerintah sebanyak tujuh juta sertifikat dan sembilan juta sertifikat pada 2019.

Meski menilai pembagian sertifikat tanah bisa mengurangi angka kemiskinan, aktivis HAM meyakini keberhasilan reformasi agraria bergantung pada masyarakat adat.

"Mereka harusnya menerbitkan UU Masyarakat Adat yang mengakui hak adat dan hak kolektif suku asli terhadap tanah dan sumber daya alam yang ada di dalamnya," kata Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, AMAN.

Jokowi sebelumnya berjanji akan mengembalikan lahan seluas 12,7 juta hektar kepada masyarakat adat. Namun hingga 2017 silam, baru 1,9 juta hektar lahan hutan yang telah diserahkan.

Baca Juga: Pemerintahan Jokowi Didesak Segera Atasi Pelanggaran Hak Masyarakat Adat

Selama ini redistribusi tanah masih dibatasi oleh sikap pemerintah yang hanya ingin membagikan lahan yang kepemilikannya "bersih dan jelas," serta bebas dari sengketa. Menurut Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), untuk mengatasi masalah ini pemerintah harus lebih banyak bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat.

Menurutnya UU Masyarakat Adat akan menjadi instrumen hukum untuk menuntaskan kasus sengketa lahan yang melibatkan tanah ulayat. "Perpres ini adalah langkah penting, tapi pemerintah harus melegalisasi hak masyarakat adat atas lahan sengketa untuk mencapai sasaran diterbitkannya Perpres tersebut," kata Nurdin kepada Thomson Reuters Foundation.

"Karena kalau tidak UU ini tidak akan menghasilkan reformasi yang diinginkan," pungkasnya.

rzn/hp (Reuters)