1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kecerdasan Buatan Bisa Jadi Penyelamat Nyawa Saat Pandemi

27 Maret 2020

Kecerdasan buatan ternyata sudah melacak potensi pandemi pada 30 Desember lalu. Penyisiran sistem lewat media dan platform media sosial deteksi penyebaran penyakit tak dikenal mirip flu di Wuhan Cina. 

https://p.dw.com/p/3a6OM
Layar monitor dan keyboard komputer dengan kode-kode program komputer
Foto simbol kecerdasan buatanFoto: picture-alliance/K. Ohlenschläger

Para peneliti kecerdasan buatan dari sejumlah perusahaan teknologi yang menyisir platform media dan media sosial pada 30 Desember lalu, mendeteksi penyebaran penyakit tak dikenal mirip flu di Wuhan Cina. Indikasi ini beberapa hari mendahului rilis asesmenrisiko virus corona dari Organisasi Kesehatan Dunia-WHO. 

Apakah sistem kecerdasan buatan bisa digunakan mendeteksi pecahnya wabah? Clark Freifeld pakar komputer dari Northeastern University yang juga bekerja untuk platform monitoring penyakit global HealthMap mengatakan: “Pertanyaan ini sulit dijawab. Kami mampu mengidentifikasi sinyal awal, dan kami mendeteksi penyakit infeksi saluran pernafasan yang tidak dikenal, akan tetapi  realitasnya amat sulit menegaskan, apakah situasinya benar-benar serius.” 

Dataminr, sebuah perusahaan teknologi deteksi risiko secara real time menyebutkan, pihaknya juga mengirimkan peringatan dini terkait COVID-19 pada tanggal30 Desember lalu. Basisnya adalah akun para saksi mata dari dalam rumah sakit di Wuhan, foto-foto penyemprotan desinfektan di pasar ikan di  Wuhan darimana virus berasal serta peringatan dari seorang dokter Cina via media sosial. Dokter ini juga meninggal akibat infeksi virus corona. 

Kendala sikap reaktif  

“Salah satu tantangaan terbesar bagi para ilmuwan adah, kami cenderung bersikap reaktif dalam situasi seperti ini“, papar Kamran Khan pendiri sekaligus CEO perusahaan pelacak penyakit BlueDot yang bermarkas Di Toronto, Kanada. Perusahaan ini juga salah satu yang pertama kali melontarkan peringatan dini terkait kemungkinan epidemi pada Desember lalu. 

Khan yang juga profesor kedokteran dan kesehatan publik di universitas Toronto mengatakan lebih jauh; “kapanpun jika kita berhadapan dengan munculnya penyakit baru, kita pasti tidak punya seluruh jawabannya“. Waktu adalah sumber daya kami yang paling berharga, dan kita tidak bisa mendapatkannya kembali jika itu sudah lewat. 

Khan mengatakan kepada kantor berita AFP lewat telefon, “data menunjukkan ada kemiripan dengan wabah SARS sekitar 17 tahun lalu, namun kami tidak mengetahui, seberapa mematikan penyakit tersebut.“ 

Tapi paling tidak, sistem kecerdasan buatan membuktikan sangat berharga, dalam melacak sumber epidemi, dengan menyisir semua sumber data, mencakup pemesanan penerbangan, pesan twitter maupun Weibo hingga laporan pemberitaan serta sensor pada peralatan yang terkoneksi. 

Manusia tetap jadi penentu kebijakan 

Selain punya berbagai keunggulan sistem, kecerdasan buatan juga punya keterbatasan, ujar pakar komputer Freifeld. “Keputusan terakhir yang menentukan tetap harus dilakukan oleh manusia. Kami punya sistem kecerdasan buatan sebagai kekuatan multiplikasi, tapi kami juga memasukkan manusia ke dalam sistemnya“, katanya menambahkan.  

Sistem kecerdasan buatan, juga bisa membantu menangani perang melawan wabah dalam berbagai cara. Mulai dari melacak sumber maupun penyebaran wabah, hingga mempercepat uji coba obat-obatan. “Kami bisa membuat simulasi yang belum pernah ada sebelumnya. Kami juga memahami proses biologisnya berkat bantuan kecerdasan buatan,“ ujar Michael Greeley dari perusahaan penyedia modal Flare Capital Partners, yang menanam investasi di sejumah perusahaan startups kecerdasan buatan. 

Sistem kecerdasan buatan juga bisa menyisir ribuan hasil riset untuk menemukan cara pengobatan paling efektif. Para peneliti pada pekan lalu bergabung dengan upaya pemerintah AS, untuk membuka akses pada 29.000 artikel riset virus corona yang bisa dipindai untuk menganalisa data yang ada. Amat sulit bagi manusia untuk memilah lebih dari 29.000 artikel dan membuat sintesa temuannya. Tapi dengan sistem kecerdasan buatan dan bantuan komunitas empat juta ilmuwan pengolah data, diharapkan dalam waktu dekat bisa menemukan jawaban jawaban kunci untuk melawan COVID-19. 

as/vlz (afp)